Friday, April 25, 2014

Al Mutanabbiy dan analisis syairnya



MAKALAH
أبو الطَيِّبْ المُتَنَبِّي و شعره
(Abu Thayyib Al Mutanabbiy dan Syairnya)
disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah tarikh adab al arabiy II semester IV
Dosen pembimbing:
Ahmad Kholil, M.Fil
oleh:
Himatul Istiqomah
12310079
Description: F:\DATA VISUAL\ARSIP GAMBAR\Logo Maulana\LOGO UIN MMI trans .png
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS HUMANIORA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Adalah kebutuhan yang sangat urgen bagi para mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab untuk mengetahui dan mengenali Sejarah Sastra Arab. Bagaimana tidak, dalam sejarah terdapat banyak pengetahuan yang akan membawa kita sebagai calon sastrawan untuk mengenali kekhasan sastra Arab serta bisa melestarikannya untuk memenuhi tuntutan kemajuan zaman.
Berangkat dari sejarah ini kita akan mempelajari awal mula munculnya sastra arab, perkembangannya serta sastrawan-sastrawan yang menggelutinya bersama dengan hasil olah cipta, rasa dan karsa mereka yang dituangkan dalam bentuk syair, prosa, orasi dan lain-lain, baik mulai era terdahulu hingga yang modern.
Pada kesempatan ini, kami sekedar memncuatkan beberapa hasil kajian pustaka mengenai sastrawan ternama yang hidup pada masa kejayaan DinastiAbbasiyah yang ke tiga[1] beserta analisis karyanya. Beliau bernama Abu Thayyib Al Mutanabbiy.
Banyak referensi kitab sejarah sastra Aarab yang menyebutkan perihal ini, sehingga banyak pula kami dapati perbedaan mengenai angka tahun, dan istilah-istilah lain seperti halnya nama. Untuk mensiasati kerancuan pemahaman kami menyeragamkan beberapa perbedaan itu untuk saling melengkapi penulisan ini sehingga mudah dicerna oleh pemikiran kita.
B.     Rumusan Masalah
a.       Biografi singkat Abu Thayyib Al Mutanabbiy.
b.      Beberapa hasil karya Abu Thayyib Al Mutanabbiy.
c.       Analisis karya Abu Thayyib Al Mutanabbiy.


C.    Tujuan Pembahasan
a.       Untuk mengenali sastrawan Arab yang berjasa dalam membangun peradaban.
b.      Mengumpulkan beberapa karya sastranya untuk diapresiasi atau dianalisis sebagai bahan tambahan pengetahuan pokok mahasiswa Sastra Arab.

























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Abu ThayyibAl Mutanabbiy
Description: G:\al mutanabbiy\Study Biografi Tokoh Sastra Arab Al-mutanabbi   SASTRA ARAB BLOG_files\almutanabbi1.jpg
Abu Thayyib Al Mutanabbiy adalah seorang sastrawan Arabyang dilahirkan pada tahun 303 H[2]/905 M[3]/915 M[4] dan bernama asli Abu Thayyib Ahmad Bin Al Husain Al Ju’fi Al Kindi Al Kufi Al Mutanabbi,[5] atau Abu Thayyib Ahmad Bin Al Husain Bin Murrah Abdu Al Jabbar Al Ju’fi Al Kindi Al Kufi atau Ahmad Bin Al Husain Bin Al Hasan Bin Abdu Ash Shamad Al Ju’fi Al Kindi Al Kufi. Nama Al Ju’fi merupakan penisbatan terhadap kakeknya, Ju’fi Bin Sa’ad Al ‘Asyirah.[6]Al Kindi merupakan penisbatan atas kelahirannya di tengah-tengah bani kindah[7] di tanah Arab.[8]Al Kufi juga merupakan penisbatan terhadap tempat kelahirannya yaitu tanah Kufah, meski sebagian besar hidupnya dihabiskan di Syam (Syiria).[9]
Adapun untuk gelarnya Al Mutanabbiy, banyak versi yang membahas latar belakangnya,di antaranya: gelar tersebut diperoleh karena dirinya difitnah mengaku sebagai seorang nabi,[10] dia melakukan beberapa hal yang menakjubkan sebagaimana mukjizat seorang nabi,[11]dia masih memiliki garis keturunan yang dekat dengan nabi Muhammad SAW melalui Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun yang paling dianggap sah adalah perolehan gelar Al Mutanabbiy sebab kemahirannya sejak kecil dalam mengkreasikan syair sehingga memukaukan para pendengarnya.[12] Hal ini dibuktikan oleh Ibrahim Al Yajizi, seorang sastrawan Arab yang mengumpulkan syair-syair Al Mutanabbiy menjadi sebuah buku berjudul Diwan Al Mutanabbiy.[13]
Dia berasal dari keluarga yang termasuk dalam golongan fakir. Ayahnya (Al Husain Bin Murrah Abdu Al Jabbar atau Al Husain Bin Al Hasan Bin Abdu Ash Shamad) adalah seorang saqa’[14] yang menjajakan airnya kepada warga sekitar Kufah. Sehingga dijuluki dengan Abdu As Saqa’.[15] sedangkan ibunya tidak terlacak oleh para sejarawan sehingga profilnya pun tidak dituliskan. Namun karena nenek dari ibunya tercatat sebagai seorang Hamdaniyah,[16] maka kemungkinan besar ibu Al Mutanabbiy adalah seorang Hamdaniyah pula.
Al Mutanabbiydibesarkan dalam lingkungan kaum Alawiyyin[17] yang membuatnya memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, kuat dalam menghafal, dan cinta dengan ilmu dan sastra.[18]Perasaan bangga seorang ayah terhadap anaknya membuat Abdu As Saqa’ berusaha keras demi kesuksesan putranya menggeluti hobinya. Dalam belajar Bahasa dan Sastra Arab Al Mutanabbiy memiliki beberapa guru ternama yaitu: Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy, al-Zajjaj, Abu Bakar Muhamad bin Duraid dan Abu Ali al-Farisi.[19]
Dituturkan dalam sejarah bahwasannya Al Mutanabbiy memiliki tiga sikap yang terpuji: tidak pernah berdusta “ما كذب”, tidak pernah berzina “لا زنى” dan tidak pernah lesbi “لا لاط”. di samping itu juga dia memiliki tiga sikap yang tercela: tidak berpuasa “ما صام”, tidak sholat “لا صلى” dan tidak membaca Al Quran “لا قرأ القرأن”.[20]selain itu, Ibnu Furjih mengungkapkan kalau Al Mutanabbiy adalah seorang pemberani atau tangkas “شجاعا”, penghafal sastra “حافظا للأدابأ”, berakhlak selayaknya raja “عارفا بأخلاق الملوك”, berlidah tajam “داهية مر اللسان” tapi juga pelit dan haus dengan harta “إلا بخله و شرهه على المال”.[21]
Sekalipun berasal dari keluarga yang kelas ekonomiannya rendah, Al Mutanabbiy tidaklah malu dengan kehidupannya. Malah kelebihannya dalam bersyair dia jadikan sebagai ladang uang yang bisa diperoleh dengan mudah dengan menjual lantunan syairnya di hadapan para pembesar-pembesar dan khalifah.[22]Hidupnya yang nomaden membuatnya semakin giat dalam menghamparkan lantunan syairnya pada pembesar-pembesar daerah yang sempat disinggahinya demi penghidupan yang layak.[23]Dia pun sering keluar masuk penjara akibat syair hija’nya atau juga karena ulah orang-orang yang iri dengan kelebihannya, pun akibat ketamakannya atas kekuasaan.[24]Dia mencapai puncak kejayaan sebagai penyair resmi istana pada masa Sayf al-Daulah dari dinasti Khamdan di Aleppo, Syiria.[25]Kesuksesan bersyairnya juga terbukukan dalam sebuah diwan yang terkenaldengan “Diwan Al Mutanabbiy”[26] berisi lebih dari empat puluh karangan syair, serta beberapa syarahnya seperti: Syarah Al ‘Akbury Dan Al Wahidiy.[27]
B.     syair karya Abu Thayyib al mutanabbiy
Sebagai penutup para penyair “خاتم ثلاثة الشعراء[28], Al Mutanabbiy memiliki empat ragam syair, yaitu: madh (pujian), hija’ (ejekan/sindiran), fakhr (kebanggaan), dan ratsa’ (ratapan).[29] Terdapat pula dalam syairnya amtsal (perumpamaan) dan hikam (nasehat/kata mutiara) yang semuanya menjadi aset besar dalam pembentukan kualitas serta kuantitas sastra Arab.[30] Namun yang paling banyak dari syair Al Mutanabbiy adalah berupa madah.[31]
Beberapa karakteristik syairnya yaitu: artinya jelas dan mulia (dalam madah), mengandung pemikiran yang mendalam, dan terdapat pemilihan diksi dan penggunaan majas yang tepat.[32] Dalam syairnya juga terpengaruh oleh imajinasinya di suasana peperangan serta ranah filsafat.[33] Mayoritas syairnya mengekspresikan hasil eksplorasinya terhadap alam sehingga gagasannya sangat alamiyah yang diungkap secara jelas dan berulang.[34]
Dari beberapa kriteria di atas, tidak heran jika keberadaan syair-syair Al Mutanabbiy juga digunakan oleh Imam Ar Radli sebagai hujjah dalam penetapan kaidah Ilmu Nahwu. Padahal semestinya syair-syair yang merupakan hasil karya para penyair muwalladun atau modern tidak masuk kategori kalam Arab yang bisa menjadi dalil dalam Ilmu Nahwu dan Ushulnya.[35]
Berikut adalah salah satu syair madah Al Mutanabbiy kepada Saif Ad Daulah[36]:
(1)إذا فاتوا الرّماح تناولتهم             بأرماح من العطش القفار
Jika tombak itu tidak mengenai mereka, maka tanah kosong dan kehausanlah yang akan menjadi tombak bagi mereka.
(2)يرون الموت قداما وخلفا       فيختارون والموت اضطرارا
Mereka melihat kematian yang berada didepan dan belakang, lalu mereka berusaha memilih, sedangkan kematian itu sifatnya memaksa.
(3)إذا سلك السماوة غير هاد       فقتلاهم لعينيه المنار
Jika seorang yang tanpa petunjuk melewati tempat yang tinggi, maka orang yang dibawahnya bagaikan bendera di depan matanya.
(4)ولو لم تبق لم تعش البقايا            وفى الماضى لمن بقي اعتبار
Dan jika kamu tidak menyisakan mereka, maka kamu tidak akan hidup selamanya, dan pada waktu yang lampau bagi orang yang masih hidup itu manjadi sebuah pelajaran.
(5)إذا لم يرع سيّدهم عليهم              فمن يرعى عليهم أو يغار
(6)تفرقهم وإياه السجايا                   ويجمعهم وإياه النجار
Ketika tuan mereka tidak menjaga mereka, maka siapa lagi yang akan menjaga mereka, atau pasukan besar yang akan memecah belah watak mereka dan tuannya. Kemudian tukang kayulah yang mengumpulkan mereka.
(7)ومال بها على أرك وعرض        وأهل الرقتين لها مزار
Dan dia menuju pada daerah Ark dan Ard dengan menggunakan kuda yang cerdik
Dari sampelsyair Al Mutanabbiy di atas, beberapaanalisisnyaadalahsebagaiberikut[37]:
1.     Pada bait pertama tujuan syairnya adalah madh dalam memuji keeolokan para tentara Saif Ad-Daulah yang semangat dalam peperangan. Sebaga inisbahnya adalah ketika mereka semua datang  dengan membawa tombak dan pedang dalam suatu peperangan dengan gigihnya.
2.    Disini terdapat syibih baligh yaitu, yaitu syibih yang tidak menyebutkan adat tasybih dan wajah syibih yang terdapa tpada kata:  الرماح (yang berarti tombak) danعطش ( haus). Haus mengibaratkan sebuah tombak yang keduanya bisa menyebabkan pada kematian.
3.  Pada bait ke dua masih mengandung  tema dan tujuan yang sama, yaitu  memuji keberanian  para tentara Syaif Ad Daulah yang siap mati dalam medan  perang. Adapun sebagai nisbahnya   adalah saat mereka berperang, mereka tidak takut mati walau kematian ada di arah depan dan belakang mereka dan tidak ada pilihan lain. Karena mereka yakin bahwa sebuah kematian bukanlah suatu pilihan, kematian mempunyai jalan sendiri.
4.   Pada bait ke tiga, tujuan syairnya masih sama, namun ditujukan pada Syaif Ad Daulah. Disini Syaif Ad Daulah sebagai  penunjuk dalam berperang. Karena dalam berperang jika tanpa penunjuk (pemimpin) mereka akan tersesat (tidak tau arah)
5.  Kata المنار diartikan العلم ينصب فى الطريق. Disini diartikan sebagai bendera, jika seseorang tersesat pada hamparan langit,yang membuat tubuh orang itu mati di kuil manar, mereka mendapatkan petunjuk dan mengetahui jalan, seperti yang ditunjukkan oleh manar.
6.   Adapun pada bait ke empat tujuan syairnya lebih pada hikmah yang ditujukan kepada Syaif Ad Daulah agar dia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang yang sudah mati (tentara yang sudah mati). Sebagai nisbahnya adalah jika Syaif tidak menyisakan seorangpun dari para tentaranya maka tak akan ada yang melindunginya.
7.  Pada bait ke lima tujuannya sama dengan bait ke empat yaitu hikmah. Hikmah untuk Syaif Ad Daulah agar ia menjaga para tentaranya, karena tidak akan ada yang bisa menjaga mereka (paratentara) selain Syaif Ad Daulah sendiri. Dan bila tidak dijaga, para musuh yang akan memecah belah mereka.
8. Pada bait ke enam mengandung hikmah yang ditujukan kepada Syaif Ad Daulah. Sebagai  nisbahnya masih terkait dengan bait kelima, yaitu ketika musuh memecah belah mereka maka  hanya tukang kayu lah yang mengumpulkan mereka.
9.      Kata السجايا diartikan  الطباع والاخلاق yang artiny atabi’at  dan akhlak diartikan sebagai watak.
1. Sedangkan dalam bait terakhir, tema dan tujuan kembali pada  madh dalam memuji para tentara  Syaif Ad Daulah. Sebagai nisbahnya  adalah ketika para tentara menuju  daerah Ark dan Ard dengan  mengendarai  kuda yang cerdik.
11.  Kata أرك وعرض berarti dua Negara yaitu ark dan ard.  Sedangkan kata الرقتين  berarti sebuah Negara yang didalamnya terdapat dua buah sungaiالفرات ,  yaituالرقة والرافقة .
12.  Pada bait-bait syair Al Mutanabbiy  di atas tergambar bahwa dia sangat memuji kegigihan para tentara Syaif Ad Daulah dalam berperang. Ini bisa dilihat mulai bait pertama dan selanjutnya yang menggambarkan kegigihan para tentara saat mereka semua datang dengan membawa tombak dan pedang serta kecintaannya para tentara akan peperangan yang rela mati walau kematian ada di depan mata mereka. Begitu pula dengan bait selanjutnya yang masih terkait satu sama lain. Namun pada cuplikan bait keempat dan selanjutnya, al mutanabbi mulai menyisipkan hikmah (menggunakan الوعط yakni menasehati) dari perjalanan tentara tersebut.












BAB III
PENUTUP
Simpulan
Al Mutanabbiy adalah sastrawan Arab di bidang syair yang hidup pada masa keemasan Khilafah Dinasti Abbasiyah. Dia memiliki bakat bersyair sejak kecil dan terus lestari hingga mendapati masa kejayaannya pada saat pemerintahan Saif Ad Daulah di Aleppo. Hidupnya yang nomaden membakar semangatnya bersyair semakin berkobar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terdapat empat ragam syair Al Mutanabbiy yaitu: madh (pujian), hija’ (ejekan), fakhr (kebanggaan), dan ratsa’ (ratapan). Dan yang paling masyhur adalah madh nya.
Beberapakriteria yang terdapatdalamsyair-syair Al Mutanabbiyadalah: artinya jelas dan mulia (dalam madah), mengandung pemikiran yang mendalam, dan terdapat pemilihan diksi dan penggunaan majas yang tepat. Terdapat pengaruh suasana peperangan serta ranah filsafat dalam imajinasinya. Mayoritas mengekspresikan hasil eksplorasinya terhadap alam sehingga gagasannya sangat alamiyah yang diungkap secara jelas dan berulang.







DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman Al Barquqi. شرح ديوان المتنبّي. Libanon: Maktabah Nizar Mustofa.
Abu Haaqoh, d.k.k. المفيد في الأدب العربي الجزء الثاني. Birut.
Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه الطبعة الثامنة عشرة. Mesir: Dar Al Ma’arif.
Ahmad Hasan Az Ziyat.تاريخ الأدب العربيه للمدارس العليا . Mesir: Dar An Nahdhoh Kairo.
Dr. Umar faruq. 1969.المنهاج الجديد في الأدب العربي الجزء الثاني للسنة الثانوية الثانية صف البكالوريا-القسم الأول الطبعة الأولى . Birut.
Jarji Zidan. 1996. تاريخ أداب اللغة العربية الجزء الأول. Dar Al Fikr.
Karel Brugman. تاريخ الأدب العربي الجزء الثاني الطبعة الرابعة. Mesir: Dar Al Ma'arif.
Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Hlm. 28








[1]Jarji Zidan. 1996. تاريخ أداب اللغة العربية الجزء الأول. Dar Al Fikr.
[2]Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه الطبعة الثامنة عشرة. Mesir: Dar Al Ma’arif. Hlm. 272
[3]Karel Brugman. تاريخ الأدب العربي الجزء الثاني الطبعة الرابعة. Mesir: Dar Al Ma'arif. Hlm. 81
[5]Op cit.Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani.
[6] Abdur Rahman Al Barquqi. شرح ديوان المتنبّي. Libanon: Maktabah Nizar Mustofa.Hlm. 19
[7] Salah satu nama kabilah di yaman(Op cit.Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani)
[8]Dr. Umar faruq. 1969.المنهاج الجديد في الأدب العربي الجزء الثاني للسنة الثانوية الثانية صف البكالوريا-القسم الأول الطبعة الأولى . Birut. Hlm. 113
[9]Op cit. Karel Brugman.
[10] Op cit. Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani. Hlm.273
[11]http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/al-mutanabbi-nabi-para-sastrawan.html. 21 april 2014: “Di antara kelebihannya adalah: 1) Berhasil menjinakkan unta betina liar dan mengendarainya. 2) menyembuhkan luka goresan pisau hanya dengan meludahinya dan menekannya dengan kuat. 3) menahan derasnya air hujan agar tidak membasahi tempat berdirinya dengan membaca 114 kalimat dari al quran”.
[12] Op cit. Abdur Rahman Al Barquqi. 20
[14]Penjual airminum
[15] Ahmad Hasan Az Ziyat.تاريخ الأدب العربيه للمدارس العليا . Mesir: Dar An Nahdhoh Kairo. Hlm. 297
[16]Penisbatan terhadap nama suku. Ibid.
[17] Kaum bangsawan, ilmuwan.
[18]Op cit. Abdur Rahman Al Barquqi.
[20]Op cit. Abdur Rahman Al Barquqi. Hlm. 8
[21]ibid.
[22]Op cit. Ahmad Hasan Az Ziyat. hlm. 298
[23]Opcit. Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani.hlm. 274
[26]Karya Ibrahim Al Yajizi
[27]Opcit. Ahmad Al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani.Hlm.276
[28]Ibid. Hlm. 272 (Penutuppenyair yang berarti pada masa Khilafah Dinasti Abbasiyah ke tiga tidak ada penyair lagi yang unggul setelah Al Mutanabbiy.)
[29]Ahmad Abu Haaqoh, d.k.k. المفيد في الأدب العربي الجزء الثاني. Birut. Hlm. 273
[30]Op cit. Ahmad al Iskandi dan Mushtofa ‘Anani.Hlm. 274
[31]Ibid. Hlm. 276
[32]Ibid.
[33]Op cit. Abu Ahmad Haaqoh. hlm. 274
[35]TamimMulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Hlm. 28
[37]“Analisis muatan sastra yang meliputi: tujuan dan perihal syair, analisis kata, pemilihan gaya bahasa dan penggunaan perasaan.” Ibid.