Saturday, May 3, 2014

QIYAS, IJMA’, ISTISHAB AL HAL DALAM USHUL NAHWU



MAKALAH
QIYAS, IJMA’, ISTISHAB AL HAL DALAM USHUL  NAHWU
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Semester Empat
Oleh:
Himatul Istiqomah      12310079
Tirawati           12310080
Tiar Rahma Ramdhani            12310084
Fauzia              12310092
Dosen Pengampu:
Tamim Mulloh, M. Pd.
Description: F:\DATA VISUAL\ARSIP GAMBAR\Logo Maulana\LOGO UIN MMI trans .png
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
APRIL 2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah Swt. atas segala karunia-Nya yang terdapat di antara langit dan bumi yang tak pernah surut. Selawat dan salam senantiasa tersiratkan untuk Baginda Rasul Muhammad Saw. yang telah dijadikan cahaya oleh Allah sebelum alam semesta diciptakan, kemudian dijadikan khalifah di bumi dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ushul al Nahwu merupakan satu disiplin ilmu baru bagi kami, yang membahas perihal Ilmu Nahwu; Sejarah Kemunculan dan Perkembangan; Ushul Nahwu; Madrasah-madrasah Nahwu dan yang berhubungan dengan hal serupa.
Dalam makalah ini, kami memaparkan bahasan mengenai Ushul Nahwu yang terdiri dari Qiyas, Ijma’, Istishab al Hal. Sebagaimana kita tahu, penggunaan ketiga istilah tersebut sama dengan istilah dalam Ushul Fiqh, bahkan dalam maknanya. Hanya saja dalam pembahasan kali ini, perbedaan konteks juga menjadikan perbedaan penerapan ketiga istilah tersebut. Jika dalam Ushul Fiqh, ketiganya digunakan dalam menentukan hukum islam, maka dalam Ushul Nahwu juga digunakan dalam menentukan hukum, bukan hukum islam tetapi hukum-hukum dalam kaidah Ilmu Nahwu.
Tak ada gading yang tak retak. Sebab itu pula dalam penyusunan makalah ini kami masih menggoreskan beberapa kekeliruan yang perlu dibenahi. Kritik dan saran akan terima demi perbaikan tugas selanjutnya.
Penulis



DATAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….      i
KATA PENGANTAR…………………………………………………... .    ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………..     iii
BAB I PEMBUKAAN
A.    Latar Belakang…………………………………………………….     1
B.     Tujuan Pembahasan……………………………………………….      1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Bab Qiyas………………………………………………………….     2
B.     Bab Ijma’…………………………………………………………..     7
C.     Bab Istishab al Hal……………………………………………..….      9
BAB III PENUTUP
      Kesimpulan…………………………………………………..………..     12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………...…………..     13
LAMPIRAN




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah diketahui bahwasannya mata kuliah ushul nahwu merupakan satu disiplin ilmu yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi terlebih bagi mahasiswa pemula.
Disamping itu, kesamaan istilah-istilah dalam Ushul Nahwu dengan Ushul Fiqh juga memerlukan penjelasan yang cukup untuk membedakan keduanya. Karena pada hakikatnya anatara Ushul Nahwu dengan Ushul Fiqh adalah dua disiplin ilmu yang berbeda dalam praktiknya.
Untuk itulah kami menyusun makalah ini. Karena selain sebagai pemenuhan tugas kelompok juga sebagai bentuk upaya pemahaman terhadap bagian dari pembahasan Ushul Nahwu yang berkaitan dengan qiyas, ijma’, dan istishab al haal.
B.     Tujuan pembahasan
1.      Mengetahui pengertian qiyas dan penerapannya
2.      Mengetahui pengertian ijma’ dan penerapannya
3.      Mengetahui pengertian istishab al hal dan penerapannya






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bab Qiyas
Qiyas secara bahasa yaitu at taqdiir (التقدير) artinya mengira-ngirakan. Dalam kamus disebutkanقاس – يقيس – قَيسا – وقِياسا – اقتاس – قيّس  artinya sama dengan قدّر (menyamakan)[1]. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengira-ngirakan atau menyamakan adalah [2]مقياس. Ada pula penyebutannya قاس dengan arti قارن، قابل dan اقتاس (membandingkan, mempersamakan)[3]. Dapat juga dikatakan bahwasannya secara etimologi qiyas adalah  membandingkan kata dengan kata, bentuk dengan bentuk dengan  menjaga konteks aslinya. [4]
Sedangkan secara terminologi, qiyas diartikan dengan membawa fara’ kepada ashal dengan suatu alasan sehingga hukum yang berlaku pada ashal juga diberlakukan pada fara’. Atau menyamakan fara’ dengan ashal secara keseluruhan. Atau bisa dikatakan juga bahwasannya qiyas itu menyamakan sesuatu yang belum diketahui terhadap yang sudah diketahui, sesuatu yang belum jelas terhadap sesuatu yang sudah jelas, sesuatu yang belum didengar terhadap sesuatu yang sudah didengar mengenai satu dari beberapa hukum yang berlaku dengan menyertakan alasan yang tepat mengenai keduanya. [5]
Sedangkan qiyas dalam Usul Fiqh, sebagaimana dikatakan Imam asy Syairazi dalam kitab “Al Luma’[6]” yaitu membawa fara’ terhadap ashal dalam pemberlakuan hukumnya, atau memberlakukan hukum ashal terhadap fara’ dikarenakan alasan-alasan yang didapati dalam fara’. [7]
Ibnu al Anbari berpendapat dalam kitabnya جدل الإعرب bahwa qiyas dalam Ilmu Nahwu adalah membawa sesuatu yang belum jelas terhadap yang sudah jelas dalam pemberlakuan hukumnya  yang sesuai dengan kaidah. [8]Dan dalam  kitab Luma’ Al Adillah beliau menegaskan mengenai pengertian qiyas yaitu membawa fara’ terhadap ashal dengan alasan tertentu sehingga hukum yang berlaku pada ashal diberlakukan pula pada fara’. [9]
Adapun rukun qiyas ada empat: ashal (المقيس عليه), fara’ (المقيس), alasan (علّة), dan hukum. Untuk menerapkan qiyas, keempat rukun tersebut harus terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi maka qiyas dianggap batal[10]. Keberadaan qiyas dalam Ushul Nahwu sangatlah diakui. Karena hampir semua pembahasan dalam Ilmu Nahwu menggunakan qiyas. Sebagaimana yang dinadhamkan Al Kisai[11]:
إنّما النحو قياس يتّبع   #   و به في كلّ علم ينتفع
Berikut bebrapa permasalahan qiyas untuk melengkapi pemahaman kita:
1.      Hukum mendahulukan mustatsna (مستثنى) atas mustatsna minhu (مستثنى منه) [12]
Dalam permasalahan ini terdapat dua argumen:
·         Madhab Bashrah:
Ulama’ Bashrah tidak membolehkan hal tersebut. Misalnya pada kalimat: إلا زيدا ضربني القوم dan إلا طعامك ما أكل زيد Madhab Bashrah memeberikan alasannya, di antaranya:
ü  Mustatsna (مستثنى) disamakan dengan badal (بدل) dan mustatsna minhu (مستثنى منه) disamakan dengan mubdal minhu (مبدل منه). Karena badal tidak ada yang mendahului mubdal minhu, maka mustatsna pun tidak boleh mendahului mustatsna minhu.
ü  Pada contoh yang ke dua, maa nafi (ما نفي)[13] yang diiringi oleh isim dan fi’il disamakan dengan kedudukan maa istifham (ما استفهام)[14], yaitu sebagai shadar jumlah atau terletak di awal kalimat. Sehingga peletakan maa setelah illa istitsna’[15] tidak diperbolehkan.
ü  Huruf illa istitsna’ disamakan dengan la huruf athaf, sehingga penempatannya tidak boleh diawal kalimat.
·         Madhab Kufah:
Ulama’ Kufah  memperbolehkan hal tersebut dengan alasan ditemukannya susunan kalimat serupa dalam syair:
و بلدة ليس بها طواري   #  ولا خلا الجنّ بها إنسيّ
Pada bait di atas Madhab Kufah berhujjah mengenai kebolehan mendahulukan mustatsna atas mustatsna minhu sebab pada kalimat ولا خلا الجنّ بها إنسيّ dikira-kirakan dengan kalimat ليس بها طوريّ، و لا بها إنسيّ خلا الجنّ, yang mana الجنّ sebagai mustatsna dan بها إنسيّ sebagai mustatsna minhu.
Dari kedua pendapat di atas, Ar Radhi lebih condong pada pendapat Ulama’ Bashrah karena tidak adanya sama’ atas permasalahan seperti ini, dan menolak adanya qiyas yang menggunakan dalil syair.
2.      ماهية (مهما)[16]
Dalam kasus ini terdapat tiga argumen, yaitu:
·         Madhab Khalil (w. 175 H.) berpendapat bahwasannya [17]مهما asalnya ما (الشرطية)[18] yang disertaiما (الزائدة للتوكيد)  sehingga menjadi ماما, kemudian alifnya ما awal diganti dengan ha (هاء) karena mencegah pengulangan kata yang sama secara berurutan sehingga menjadi مهما. Hal ini disamakan dengan [19]إن ما، أينما, yang maksudnya مهما sebenarnya murakkab (frase).
Sedangkan Imam Sibawaih menambahkan bahwasannya مهما asalnya مه[20] yang ditambahi ما menjadi مهما. Hal ini disamakan dengan إذ ما, dengan maksud مهما juga murakkab.
·         Ar Radhi berpendapat bahwa مهما asalnya مهمى yang mengikuti wazan فعلى, karenanya: 1) ditulis dengan bentuk ya, 2) tidak ditanwin karena alif zaidah, 3) alifnya sebagai tanda muannats, dan 4) bentuk nakirahnya pun tidak ditanwin.
Sedangkan Ibnu ‘Ushfur dan ibnu hisyam berpendapat bahwa مهما asalnya مهمى/مهما mengikuti wazan مفعل. Hal ini berarti مهما adalah bentuk mufrad (tunggal) dan bukan murakkab.
·         Az Zujjaj berpendapat bahwasannya مهما asalnya مه dengan arti كُفَّ[21] dan ditambahi dengan ما (الشرطية). Contoh: مهما تفعل أفعل أي اكفف ما تفعل افعل. Kata مهما di sini digunakan sebagai ungkapan sanggahan atas ejekan yang dilontarkan seorang mutakallim kepada mustami’. Artinya مهما berbentuk murakkab.
Dalam kasus ini pun Ar Radhi selain berpendapat sebagaimana di atas, beliau juga mengunggulkan pendapat  Madhab Khalil karena paling banyak benarnya menurut kesepakatan dalam studi bahasa.
B.     Bab ijma’
Secara etimologi ijma’ memiliki dua pengertian; 1) العزم[22] على الأمر (menyengaja dalam suatu perkara), dalam hal ini memungkinkan terjadinya ijma’ oleh hanya satu orang saja atau satu pendapat saja; 2) الاتفاق (kesepakatan), dalam hal ini kemungkinan terjadi ijma’ jika terdapat dua atau lebih orang ataupun pendapat. Sedangkan secara terminologi, ijma’ yaitu kesepakatan dua Ahli Nahwu antara Ulama’ Bashrah dan Kufah. Dan Imam Sibawaih menambahkan bahwasanya ijma’ itu ada karena adanya perbedaan pendapat atau argumen di antara kedua ulama’ tersebut. [23]
Dalam kasus ini, Ibnu Jinni mengemukakan pendapatnya mengenai kapan ijma’ orang Arab itu bisa dijadikan argumen. Pada hakikatnya ijma’ dalam konteks Ilmu Nahwu berbeda dengan Ilmu Fiqh.[24] Pada Ilmu Fiqh, sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan akan memiliki hukum yang mutlak, karena Ulama’ Fiqh berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits yang tidak mungkin salah. Sehingga yang bisa diterapkan adalah yang sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan ijma’ dalam hal bahasa atau Ilmu Nahwu tidak berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits sehingga kebenarannya pun tidak mutlak dan diperbolehkan meggunakan yang tidak disepakati dalam praktiknya selama memiliki dalil pembenaran. [25]
Contoh masalah yang melibatkan ijma’ yaitu, qaul mengenai perkiraan khabarnya mashdar dari kalimat ضربي زيدا قائما[26].
Dalam kasus ini, terdapat empat argumen:
Ø  Madhab Kufah berpendapat bahwasannya قائما pada kalimat ضربي زيدا قائما itu menjadi حال[27] dengan ma’mul mashdarnya secara lafadh maupun makna yaitu زيدا,  sedangkan amilnya adalah mashdar (ضربي) yang berlaku sebagai mubtada’, dan khabarnya mubtada’ jatuh sesudah haal yang wajib dikira-kirakan, sebagaimana kalimat ضربي زيدا قائما حاصل[28].
Ø  Madhab bashrah kecuali Imam Akhfasy berpendapat bahwasannya bahwasannya قائما pada kalimat ضربي زيدا قائما itu menjadi حال dengan ma’mul mashdarnya secara makna bukan lafadh, sedangkan amilnya hal terbuang, sehingga dikira-kirakan dengan kalimat ضربي زيدا حاصل إذا كان قائما. Jadi حاصل adalah khabarnya ضربي selaku mubtada’ dan dharf إذا adalah pengganti dari khabar yang dibuang, sehingga hal menempati tempatnya dharf karena haal memiliki makna dharfiyah.
Ø  Madhab Akhfasy berpendapat bahwasannya khabar yang menggantikan kedudukan hal itu mudhaf kepada shahibul haal, dengan dikira-kirakan ضربي زيدا ضربه قائما, hal ini disetujui Imam Malik karena lebih sedikit adanya pembuangan kata.
Ø  Madhab Ibnu Darastawaih dan Ibnu بابشاذ (w. 469 H.) berpendapat bahwasannya tidak ada khabar yang berupa mashdar, karena menempati tempatnya fi’il, dengan dikira-kirakan ضربي زيداقائما أضربه قائما.
C.    Bab istishab al hal
Istishab[29] secara etimologi yaitu tetapnya sesuatu tanpa adanya perubahan. Sedangkan secara terminologi istishabul haal yaitu tetapnya suatu keadaan lafadh sebagaimana ashalnya selagi tidak ada dalil naqli
 yang merubahnya. Dapat disimpulkan bahwasannya setiap lafadh atau perkara dalam ushul nahwu itu memiliki hukum ashal yang berlaku tetap kecuali jika ada dalil yang jelas sehingga menyebabkan perubahan lafadh atau perkara tersebut. [30]
Misalnnya hukum ashal semua fi’il itu mabni, sedangkan fara’nya adalah mu’rab. Dan hukum ashal semua isim itu mu’rab sedangkan fara’nya adalah mabni. Dan untuk fiil mudhari’ hukum ashalnya adalah dibaca rafa’ selama tidak ada amil yang menyebabkan perubahannya baik amil jazim maupun nashab[31]. Misalnya jika didahului amil nawashib, maka hukum fi’il mudhari’ yang semula rafa’ pun berubah menjadi nashab, dan seterusnya.
Adapun hukum ashal bina’ itu adalah sukun kecuali jika ada yang mewajibkannya berharakat.[32]
Berikut adalah sampel permasalahan yang didapati dalam istishabul haal:
·         Ma’rifat dan nakirahnya tamyiz[33]
Terdapat dua argumen dalam kasus ini:
§  Madhab Kufah berpendapat bahwasanya  tamyiz itu boleh berupa isim ma’rifat. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Tharawah (w. 528 H.) dan Imam Zamahsyari dengan menunjukkan dalil ditemukannya kasus ini dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 130 (ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا من سفه نفسه), نفسه dibaca nashab sebagai tamyiz dan berupa isim ma'rifat sebab idhafah. Dan satu dalil berasal dari syair:
 رأيتك لما أن عرفت وجوهنا # صددت وطبت النفس يا قيس عن عمرِو
النفس dibaca nashab sebagai tamyiz dan berupa isim ma’rifat sebab al (أل).
§  Madhab Basrah berpendapat, menolak tamyiz yang berupa isim ma’rifat. Karena hukum ashal tamyiz adalah berasal dari isim nakirah. [34]
Alasan penolakannya antara lain:
1.   Pada kata نفسه menyimpan huruf jar yang asalnya سفه في نفسه.
2.   نفسه dibaca nashab karena menyerupai maf’ul bih.
3.   نفسه dibaca nashab dikira-kirakan menjadi maf’ul dalam kalimat أهلك نفسه.
Sedangkan pada lafadh النفس yang terdapat dalam syair di atas tidak ada perbedaan pendapat antara Ulama’ Bashrah dan Kufah mengenai i’rabnya, hanya saja dalam ma’rifat dan nakirahnya Bashrah tetap berpendapat bahwa hukum ashal tamyiz itu berasal dari isim nakirah.

·         لكنَّ antara mufrad dan murakkab[35]
Dalam kasus ini terdapat empat argumen:
ü  Madhab Bashrah berpendapat bahwasannya لكنَّ[36] itu mufrad yang terdiri dari lima huruf (lam, alif, kaf, nun, dan nun)[37].
ü  Madhab Kufah berpendapat bahwasannya لكنَّ itu murakkab. لكنَّ tersusun dari لا dan إنّ yang diselai dengan كاف الزائدة menjadi لا كإنَّ kemudian kasrah hamzahnya lafadh إنَّ dipindah ke كاف kemudian diringankan sehingga menjadi لكنَّ. Dan inilah qaul yang benar menurut Ibnu Ya’isy.
ü  Madhab Al Farraa berpendapat bahwasannya لكنَّ itu murakkab, tersusun dari [38]لكنْ dan أنّ kemudian hamzahnya dibuang untuk meringankan pengucapannya, begitu pula dengan nunnya lafadh لكنْ dibuang untuk menghindari bertemunya dua huruf mati secara berurutan sehingga menjadi لكنَّ.
ü  Sebagian Ulama’ Nahwu ada pula yang berpendapat bahwasannya لكنَّ berasal dari لا dan كإنَّ sebagaimana pendapatnya As Suhaili. Sedangkan برجشتراسر berpendapat bahwasannya لكنَّ berasal dari لا dan كن (ken) yang dalam bahasa الآرامية artinya هكذا, sehingga arti لاكن adalah ليس كذا. Dan Dr. Fadhil berpendapat bahwasannya tidak ada perbedaan arti dari lafadh لكنَّ yang ditasydid nunnya maupun لكن yang disukun nunnya.         



BAB III
KESIMPULAN
o   Qiyas adalah mengira-ngirakan hukum sesuatu yang belum jelas dengan sesuatu yang sudah jelas dengan kesesuaian alasan tertentu.
o   Rukun qiyas ada empat: ashal, fara’, alasan dan hukum.
o   Ijma’ merupakan kesepakatan Ahli Nahwu Bashrah dan Kufah.
o   Perbedaan ijma’ dalam konteks Fiqh dengan Nahwu yaitu, keputusan yang ditetapkan ijma’ Ulama’ Fiqh adalah mutlak, sehingga tidak diperbolehkan menjalankan yang diluar kesepakatan. Sebaliknya, sesuatu yang disepakati dalam Nahwu boleh jadi tidak dijalankan dalam arti menjalankan yand diluar kesepakatan dengan syarat tidak menyalahi hakikat.
o   Istishabul haal yaitu tetapnya suatu perkara dengan hukum ashalnya selagi tidak ada sebab yang merubahnya.















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, K.H. Munawar dan Bisyri, K. Adib. 1999. قاموس البشري. Surabaya: Pustaka Progresif.
Al Ghulayini, Musthofa. 1971. جامع الدروس العربية. Libanon: Darul Kutub Al Ilmiyah.
Al Khotib, Thohir Yusuf. المعجم المفصل في الإعراب. Indonesia: Al Haramain.
Ali, Atabiq dan Zuhdi Muhdhor, Ahmad. قاموس العصري عربي – إندونيسي. Yogyakarta: Lembaga Ali Maksum Pesantren Kerapyak.
Anonim. المنجد في اللغة و الأعلام Cetakan Pertama. Birut: Darul Masyriq.
Anonim. المجموعات  Juz 19. (Abu Abdulloh Muhammad Jamaluddin Bin Malik, w. 672 M. الخلاصة الأالفية ).
As Sairozi Al Fair, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf dan Asy Syafii, Imam As Suyuti, Jalaluddin. شرح العلامة ابن عقيل. Surabaya: Darul Ilmi.
Az Zabadi. w. 476. اللمع في أصول الفقه. Indonesia: Al Haramain.
Dahlan, Ahmad Zaini. دحلان ألفية. Indonesia: AL Haramain.
Id, Moh.. 1978. أصول النحو العربي في نظر النحاة و رأي ابن مضاء و ضوء علم اللغة الحديث. Kairo: Alimul Kutub.
Ismaiy, Hasyim. جدول الحرف. Indonesia: AL Haramain.
Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Malang: Dream Litera Geraha Al Farabiy.
Yunus. Prof. Dr. Moh.. 1990. قاموس عربي – اندونيسي. Jakarta: Haida Karya Agung.



Lampiran





[1]  المنجد في اللغة و الأعلامCetakan Pertama. Birut: Darul Masyriq. Hlm. 665
[2] Isim alat, bentuk jamaknya مقاييس  artinya مقدار. Ibid.
[3] Atabiq Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. قاموس العصري عربي – إندونيسي. Yogyakarta: Lembaga Ali Maksum Pesantren Kerapyak. Hlm. 1421
[4] Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Malang: Dream Litera Geraha Al Farabiy. Hlm. 39
[5] Ibid. Hlm. 39-40
[6] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Sairozi Al Fair dan Imam Az Zabadi Asy Syafii, w. 476. اللمع في أصول الفقه. Indonesia: Al Haramain. Hlm. 49
[7] Moh. Id. 1978. أصول النحو العربي في نظر النحاة و رأي ابن مضاء و ضوء علم اللغة الحديث. Kairo: Alimul Kutub. Hlm. 68  
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Batal artinya صار لاغيا (sia-sia, tidak berguna). Op Cit. Atabiq Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. Hlm. 335
[11] Op cit. Tamim Mulloh. Hlm. 40
[12]  Ibid. Hlm. 41
[13] Maa Nafiyah adalah Maa yang tidak beramal meng-i’rabi kalimah lain: ia merupakan kalimah huruf yang menafikan fiil madhi. (Thohor Yusuf Al Khotib. المعجم المفصل في الإعراب. Indonesia: Al Haramain. Hlm. 403
[14] Maa Istifhamiyah adalah isim yang digunakan untuk memperoleh pemahaman (bertanya) akan sesuatu yang belum jelas. Ibid. Hlm. 401
[15] Illa Istitsnaaiyah adalah adat istitsna’ yang mabni sukun dan tidak memiliki kedudukan i’rab. Ibid. Hlm. 56
[16]  Op Cit. Tamim Mulloh. Hlm. 43
[17] Isim Syarat yang digunakan pada sesuatu yang tidak berakal, menjazimkan dua fiil mudhori’ yang mana fiil pertama sebagai syarat sedangkan yang ke dua sebagai jawab, ia mabni sukun dengan I’rabnya mahal nashob sebagai maf’ul bih atau maf’ul mutlaq atau pun i’rab rofa’ sebagai mubtada’. (Op Cit. Thohir Yusuf Al Khotib. Hlm. 436
[18] Maa Syartiyah adalah Maa yang menjazimkan dua fiil yang mana fiil pertama sebagai syarat sedangkan yang ke dua sebagai jawab. (Ibid. Hlm. 402
[19] Adat Syarat. (Hasyim Ismaiy. جدول الحرف. Indonesia: Al Haramain. Hlm. C
[20] Mah adalah Isi fiil amar yang berarti انكففْ. (Op Cit. Thohir Yusuf Al Khotib. Hlm. 436
[21] كُفَّ aslinya كَفُفَ dengan wazan فَعُلَ, harakat fa’ yang pertama dipindahkan ke huruf sebelumnya untuk meringankan pengucapan sehingga menjadi كُفْفَ, kemudian fa’ yang pertama diidghomkan terhadap fa’ yang ke dua karena sejenis sehingga menjadi كُفَّ. Yang artinya قف. (Kyai Adib Bisri. 1999. . Surabaya: Pustaka progesif. Hlm. 638     
[22] ‘Azm artinya جد في الأمر: sungguh dalam suatu perkara/sengaja.  المنجد في اللغة و الأعلامCetakan Pertama. Hlm. 504. Atau ‘Azm berarti  cita-cita yang tetap. (Prof. Dr. H. Moh. Yunus. 1990. ، قاموس عربي – اندونيسي. Jakarta: Haida Karya Agung. Hlm. 265 
[23]  Op Cit. Tamim Mulloh. Hlm. 51
[24]  Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid. Hlm. 53
[27] Bagian dari Isim-isim yang dibaca nashob. (Moh. Maftuhin Soleh. جدول النحو الثاني في المرفوعات و المنصوبات و الجرورات و المجزومات Untuk Siswa SMA.
[28] ضربي زيدا قائما حاصل: ضربي: Isim marfu’ yang ditandai dengan dhummah muqaddaroh (karena ia bertemu dengan dhamir bariz (ya’) berarti أنا ), sebagai isim mufrod dan ia merupakan mudhof dengan mudhof ilaihnya ya’. Adapun jumlah ضربي sendiri berkedudukan sebagai mubtada’. زيدا: Isim manshub yang ditandai dengan fathah dhohiroh karena isim mufrod dan berkedudukan sebagai maf’ul bih. قائما: Isim manshub yang ditandai dengan fathah dhohiroh karena isim mufrod dan berkedudukan sebagai na’at dari lafadz زيدا. حاصل: Isim marfu’ yang ditandai dengan dhummah karena menjadi isim mufrod dan ia berkedudukan sebagai khobar dari ضربي

[29] Istishab adalah bentuk mashdar dari استصحب – يستصحب yang berarti لازم atau لاين. (المنجد في اللغة و الأعلام Cetakan Pertama. Hlm. 416    
[30]  Op Cit. Tamim Mulloh. Hlm. 56
[31]  رفع مضارعا إذا يجرد # من ناصب و جازم كتسعد(Syeh Jalaluddin As Suyuti. شرح العلامة ابن عقيل على الألفية جمالالدين محمد بن عبد الله بن مالك. Hlm. 154. Dan Syeh Ahmad Zaini Dahlan. دخلان ألفية . Hlm. 150.     
[32]  والأصل في المبني أن يسكن (Nadhom Alfiyah bait -21).
[33]  Op Cit. Tamim Mulloh. Hlm. 57-59
[34] Ashal dari tamyiz itu adalah berupa isim nakiroh. Dan terkadang berupa isim ma’rifat secara lafadhnya saja sedangkan maknanya tetap nakiroh. (Mushtofa Al Ghulayini)
[35]  Op Cit. Tamim Mulloh. Hlm. 60-61
[36] لكنَّ adalah huruf yang menyerupai fiil, yang masuk pada jumlah ismiyah dengan menashobkan mubtada’ sebagai isimnya dan merofa’kan khobarnya mubtada’ sebagai khobarnya. Ia berfaidah للاستدراك dan التوكيد. (Op Cit. Thohir Yusuf Al Khotib. Hlm. 388  
[37] Op Cit. Hasyim Ismaiy. Hlm. 1
[38] لكن: huruf ‘athaf dengan faidah الاستدراك. (Op Cit. Thohir Yusuf Al Khotib. Hlm. 382