MAKALAH
QIYAS, IJMA’, ISTISHAB AL HAL
DALAM USHUL NAHWU
Untuk Memenuhi
Tugas Kelompok Semester Empat
Oleh:
Himatul
Istiqomah 12310079
Tirawati 12310080
Tiar
Rahma Ramdhani 12310084
Fauzia 12310092
Dosen Pengampu:
Tamim Mulloh, M.
Pd.
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
APRIL 2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah Swt. atas
segala karunia-Nya yang terdapat di antara langit dan bumi yang tak pernah
surut. Selawat dan salam senantiasa tersiratkan untuk Baginda Rasul Muhammad
Saw. yang telah dijadikan cahaya oleh Allah sebelum alam semesta diciptakan,
kemudian dijadikan khalifah di bumi dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ushul al Nahwu merupakan satu disiplin
ilmu baru bagi kami, yang membahas perihal Ilmu Nahwu; Sejarah Kemunculan dan
Perkembangan; Ushul Nahwu; Madrasah-madrasah Nahwu dan yang berhubungan dengan
hal serupa.
Dalam makalah ini, kami memaparkan
bahasan mengenai Ushul Nahwu yang terdiri dari Qiyas, Ijma’, Istishab al Hal.
Sebagaimana kita tahu, penggunaan ketiga istilah tersebut sama dengan istilah
dalam Ushul Fiqh, bahkan dalam maknanya. Hanya saja dalam pembahasan kali ini,
perbedaan konteks juga menjadikan perbedaan penerapan ketiga istilah tersebut.
Jika dalam Ushul Fiqh, ketiganya digunakan dalam menentukan hukum islam, maka
dalam Ushul Nahwu juga digunakan dalam menentukan hukum, bukan hukum islam
tetapi hukum-hukum dalam kaidah Ilmu Nahwu.
Tak ada gading yang tak retak. Sebab
itu pula dalam penyusunan makalah ini kami masih menggoreskan beberapa
kekeliruan yang perlu dibenahi. Kritik dan saran akan terima demi perbaikan
tugas selanjutnya.
Penulis
DATAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………... . ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. iii
BAB I PEMBUKAAN
A.
Latar
Belakang……………………………………………………. 1
B.
Tujuan
Pembahasan………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Bab
Qiyas…………………………………………………………. 2
B.
Bab
Ijma’………………………………………………………….. 7
C.
Bab
Istishab al Hal……………………………………………..…. 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………..……….. 12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………...………….. 13
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah diketahui bahwasannya mata kuliah ushul nahwu merupakan satu
disiplin ilmu yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi terlebih bagi
mahasiswa pemula.
Disamping itu, kesamaan istilah-istilah dalam Ushul Nahwu dengan
Ushul Fiqh juga memerlukan penjelasan yang cukup untuk membedakan keduanya.
Karena pada hakikatnya anatara Ushul Nahwu dengan Ushul Fiqh adalah dua
disiplin ilmu yang berbeda dalam praktiknya.
Untuk itulah kami menyusun makalah ini. Karena selain sebagai
pemenuhan tugas kelompok juga sebagai bentuk upaya pemahaman terhadap bagian
dari pembahasan Ushul Nahwu yang berkaitan dengan qiyas, ijma’, dan istishab
al haal.
B.
Tujuan pembahasan
1.
Mengetahui
pengertian qiyas dan penerapannya
2.
Mengetahui
pengertian ijma’ dan penerapannya
3.
Mengetahui
pengertian istishab al hal dan penerapannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bab Qiyas
Qiyas secara bahasa yaitu at taqdiir (التقدير) artinya
mengira-ngirakan. Dalam kamus disebutkanقاس – يقيس – قَيسا – وقِياسا – اقتاس – قيّس artinya sama dengan قدّر (menyamakan)[1]. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengira-ngirakan atau
menyamakan adalah [2]مقياس. Ada pula penyebutannya قاس
dengan arti قارن، قابل dan اقتاس
(membandingkan, mempersamakan)[3]. Dapat juga dikatakan bahwasannya secara etimologi qiyas
adalah membandingkan kata dengan kata,
bentuk dengan bentuk dengan menjaga
konteks aslinya. [4]
Sedangkan secara terminologi, qiyas
diartikan dengan membawa fara’ kepada ashal dengan suatu alasan
sehingga hukum yang berlaku pada ashal juga diberlakukan pada fara’.
Atau menyamakan fara’ dengan ashal secara keseluruhan. Atau bisa
dikatakan juga bahwasannya qiyas itu menyamakan sesuatu yang belum diketahui
terhadap yang sudah diketahui, sesuatu yang belum jelas terhadap sesuatu yang
sudah jelas, sesuatu yang belum didengar terhadap sesuatu yang sudah didengar
mengenai satu dari beberapa hukum yang berlaku dengan menyertakan alasan yang
tepat mengenai keduanya. [5]
Sedangkan qiyas dalam Usul Fiqh,
sebagaimana dikatakan Imam asy Syairazi dalam kitab “Al Luma’[6]”
yaitu membawa fara’ terhadap ashal dalam pemberlakuan
hukumnya, atau memberlakukan hukum ashal terhadap fara’ dikarenakan
alasan-alasan yang didapati dalam fara’. [7]
Ibnu al Anbari berpendapat dalam
kitabnya جدل الإعرب bahwa qiyas dalam
Ilmu Nahwu adalah membawa sesuatu yang belum jelas terhadap yang sudah jelas
dalam pemberlakuan hukumnya yang sesuai dengan kaidah. [8]Dan
dalam kitab Luma’ Al Adillah
beliau menegaskan mengenai pengertian qiyas yaitu membawa fara’
terhadap ashal dengan alasan tertentu sehingga hukum yang berlaku pada ashal
diberlakukan pula pada fara’. [9]
Adapun rukun qiyas ada empat:
ashal (المقيس عليه), fara’ (المقيس), alasan (علّة),
dan hukum. Untuk menerapkan qiyas, keempat rukun tersebut harus
terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi maka qiyas dianggap batal[10].
Keberadaan qiyas dalam Ushul Nahwu sangatlah diakui. Karena hampir semua
pembahasan dalam Ilmu Nahwu menggunakan qiyas. Sebagaimana yang
dinadhamkan Al Kisai[11]:
إنّما النحو قياس يتّبع
# و به في كلّ علم ينتفع
Berikut bebrapa permasalahan qiyas
untuk melengkapi pemahaman kita:
1.
Hukum
mendahulukan mustatsna (مستثنى)
atas mustatsna minhu (مستثنى منه) [12]
Dalam permasalahan ini terdapat dua
argumen:
·
Madhab
Bashrah:
Ulama’
Bashrah tidak membolehkan hal tersebut. Misalnya pada kalimat: إلا زيدا ضربني القوم dan إلا طعامك ما أكل زيد Madhab Bashrah
memeberikan alasannya, di antaranya:
ü Mustatsna (مستثنى) disamakan dengan badal
(بدل) dan mustatsna minhu (مستثنى منه) disamakan dengan mubdal minhu (مبدل منه). Karena badal tidak ada yang mendahului mubdal
minhu,
maka mustatsna pun tidak boleh mendahului mustatsna minhu.
ü Pada contoh yang ke dua, maa nafi (ما نفي)[13] yang diiringi oleh isim dan fi’il disamakan dengan kedudukan maa
istifham (ما استفهام)[14], yaitu sebagai shadar jumlah atau terletak di awal kalimat.
Sehingga peletakan maa setelah illa istitsna’[15]
tidak diperbolehkan.
ü Huruf illa istitsna’ disamakan dengan la huruf athaf,
sehingga penempatannya tidak boleh diawal kalimat.
·
Madhab
Kufah:
Ulama’
Kufah memperbolehkan hal tersebut dengan
alasan ditemukannya susunan kalimat serupa dalam syair:
و بلدة ليس بها طواري # ولا خلا الجنّ بها إنسيّ
Pada
bait di atas Madhab Kufah berhujjah mengenai kebolehan mendahulukan mustatsna
atas mustatsna minhu sebab pada kalimat ولا
خلا الجنّ بها إنسيّ dikira-kirakan dengan kalimat ليس بها طوريّ، و لا بها إنسيّ خلا الجنّ, yang mana الجنّ sebagai mustatsna dan بها إنسيّ sebagai mustatsna minhu.
Dari
kedua pendapat di atas, Ar Radhi lebih condong pada pendapat Ulama’ Bashrah
karena tidak adanya sama’ atas permasalahan seperti ini, dan menolak
adanya qiyas yang menggunakan dalil syair.
2.
ماهية (مهما)[16]
Dalam kasus ini terdapat tiga
argumen, yaitu:
·
Madhab
Khalil (w. 175 H.) berpendapat bahwasannya [17]مهما
asalnya ما (الشرطية)[18]
yang disertaiما (الزائدة للتوكيد) sehingga menjadi ماما,
kemudian alifnya ما awal diganti dengan
ha (هاء) karena mencegah pengulangan kata yang
sama secara berurutan sehingga menjadi مهما.
Hal ini disamakan dengan [19]إن ما، أينما, yang maksudnya مهما
sebenarnya murakkab (frase).
Sedangkan Imam Sibawaih menambahkan bahwasannya مهما asalnya مه[20]
yang ditambahi ما menjadi مهما. Hal ini disamakan dengan إذ ما, dengan maksud مهما
juga murakkab.
·
Ar
Radhi berpendapat bahwa مهما
asalnya مهمى yang mengikuti wazan فعلى, karenanya: 1) ditulis dengan bentuk ya, 2) tidak ditanwin
karena alif zaidah, 3) alifnya sebagai tanda muannats, dan
4) bentuk nakirahnya pun tidak ditanwin.
Sedangkan
Ibnu ‘Ushfur dan ibnu hisyam berpendapat bahwa مهما
asalnya مهمى/مهما mengikuti wazan
مفعل. Hal ini berarti مهما
adalah bentuk mufrad (tunggal) dan bukan murakkab.
·
Az
Zujjaj berpendapat bahwasannya مهما
asalnya مه dengan arti كُفَّ[21] dan ditambahi dengan ما (الشرطية).
Contoh: مهما تفعل أفعل أي اكفف ما تفعل افعل.
Kata مهما
di sini digunakan sebagai ungkapan sanggahan atas ejekan yang dilontarkan
seorang mutakallim kepada mustami’. Artinya مهما berbentuk murakkab.
Dalam kasus ini pun Ar Radhi selain berpendapat
sebagaimana di atas, beliau juga mengunggulkan pendapat Madhab Khalil karena paling banyak benarnya
menurut kesepakatan dalam studi bahasa.
B.
Bab ijma’
Secara etimologi ijma’ memiliki dua pengertian; 1) العزم[22]
على الأمر
(menyengaja dalam suatu perkara), dalam hal ini memungkinkan terjadinya ijma’
oleh hanya satu orang saja atau satu pendapat
saja; 2) الاتفاق (kesepakatan), dalam
hal ini kemungkinan terjadi ijma’ jika terdapat dua atau lebih orang ataupun
pendapat. Sedangkan secara terminologi, ijma’ yaitu kesepakatan dua Ahli
Nahwu antara Ulama’ Bashrah dan Kufah. Dan Imam Sibawaih menambahkan bahwasanya
ijma’ itu ada karena adanya perbedaan pendapat atau argumen di antara
kedua ulama’ tersebut. [23]
Dalam kasus ini, Ibnu Jinni mengemukakan pendapatnya
mengenai kapan ijma’ orang Arab itu bisa dijadikan argumen. Pada
hakikatnya ijma’ dalam konteks Ilmu Nahwu berbeda dengan Ilmu Fiqh.[24] Pada Ilmu
Fiqh, sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan akan memiliki hukum yang mutlak,
karena Ulama’ Fiqh berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits yang tidak mungkin
salah. Sehingga yang bisa diterapkan adalah yang sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan ijma’ dalam hal bahasa atau Ilmu
Nahwu tidak berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits sehingga kebenarannya pun
tidak mutlak dan diperbolehkan meggunakan yang tidak disepakati dalam
praktiknya selama memiliki dalil pembenaran. [25]
Contoh masalah yang melibatkan ijma’ yaitu, qaul mengenai perkiraan
khabarnya mashdar dari kalimat ضربي زيدا قائما[26].
Dalam kasus ini, terdapat empat argumen:
Ø Madhab Kufah berpendapat bahwasannya قائما
pada kalimat ضربي زيدا قائما itu menjadi حال[27]
dengan ma’mul mashdarnya secara lafadh maupun makna yaitu زيدا, sedangkan amilnya adalah mashdar
(ضربي) yang berlaku sebagai mubtada’, dan
khabarnya mubtada’ jatuh sesudah haal yang wajib dikira-kirakan, sebagaimana kalimat ضربي زيدا قائما حاصل[28].
Ø Madhab bashrah kecuali Imam Akhfasy
berpendapat bahwasannya bahwasannya قائما
pada kalimat ضربي زيدا قائما itu menjadi حال dengan ma’mul mashdarnya
secara makna bukan lafadh, sedangkan amilnya hal terbuang,
sehingga dikira-kirakan dengan kalimat ضربي زيدا حاصل
إذا كان قائما. Jadi حاصل adalah khabarnya
ضربي selaku mubtada’ dan dharf إذا adalah pengganti dari khabar yang
dibuang, sehingga hal menempati tempatnya dharf karena haal memiliki makna dharfiyah.
Ø Madhab Akhfasy berpendapat bahwasannya khabar
yang menggantikan kedudukan hal itu mudhaf kepada shahibul haal, dengan dikira-kirakan ضربي
زيدا ضربه قائما, hal ini disetujui Imam Malik karena lebih sedikit adanya
pembuangan kata.
Ø Madhab Ibnu Darastawaih dan Ibnu بابشاذ (w. 469 H.) berpendapat bahwasannya tidak
ada khabar yang berupa mashdar, karena menempati tempatnya fi’il,
dengan dikira-kirakan ضربي زيداقائما أضربه قائما.
C.
Bab istishab al hal
Istishab[29] secara etimologi yaitu tetapnya sesuatu tanpa adanya perubahan.
Sedangkan secara terminologi istishabul haal yaitu tetapnya suatu keadaan lafadh sebagaimana ashalnya selagi tidak ada dalil naqli
yang merubahnya. Dapat disimpulkan bahwasannya
setiap lafadh atau perkara dalam ushul nahwu itu memiliki hukum ashal
yang berlaku tetap kecuali jika ada dalil yang jelas sehingga menyebabkan
perubahan lafadh atau perkara tersebut. [30]
Misalnnya
hukum ashal semua fi’il itu mabni, sedangkan fara’nya adalah mu’rab.
Dan hukum ashal semua isim itu mu’rab sedangkan fara’nya
adalah mabni. Dan untuk fi’il mudhari’
hukum ashalnya adalah dibaca rafa’ selama tidak ada amil yang
menyebabkan perubahannya baik amil jazim maupun nashab[31]. Misalnya jika didahului amil
nawashib, maka hukum fi’il mudhari’ yang semula rafa’
pun berubah menjadi nashab, dan seterusnya.
Berikut
adalah sampel permasalahan yang didapati dalam istishabul haal:
·
Ma’rifat
dan nakirahnya tamyiz[33]
Terdapat
dua argumen dalam kasus ini:
§ Madhab Kufah berpendapat bahwasanya
tamyiz itu boleh berupa isim ma’rifat. Pendapat ini
dikuatkan oleh Ibnu Tharawah (w. 528 H.) dan Imam Zamahsyari dengan menunjukkan
dalil ditemukannya kasus ini dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 130 (ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا من سفه نفسه), نفسه dibaca nashab sebagai tamyiz dan berupa isim
ma'rifat sebab idhafah. Dan satu dalil berasal dari syair:
رأيتك لما أن عرفت وجوهنا # صددت وطبت النفس يا قيس عن عمرِو
النفس dibaca nashab
sebagai tamyiz dan berupa isim ma’rifat sebab al (أل).
§ Madhab Basrah berpendapat, menolak tamyiz yang berupa isim
ma’rifat. Karena hukum ashal tamyiz adalah berasal dari isim
nakirah. [34]
Alasan penolakannya antara lain:
1.
Pada kata نفسه menyimpan huruf jar yang asalnya سفه في نفسه.
2.
نفسه dibaca nashab
karena menyerupai maf’ul bih.
3.
نفسه dibaca nashab
dikira-kirakan menjadi maf’ul dalam kalimat أهلك
نفسه.
Sedangkan
pada lafadh النفس yang terdapat dalam
syair di atas tidak ada perbedaan pendapat antara Ulama’ Bashrah dan Kufah
mengenai i’rabnya, hanya saja dalam ma’rifat dan nakirahnya
Bashrah tetap berpendapat bahwa hukum ashal tamyiz itu berasal
dari isim nakirah.
Dalam
kasus ini terdapat empat argumen:
ü Madhab Bashrah berpendapat bahwasannya لكنَّ[36]
itu mufrad yang terdiri dari lima huruf (lam, alif, kaf, nun, dan nun)[37].
ü Madhab Kufah berpendapat bahwasannya لكنَّ
itu murakkab. لكنَّ tersusun dari لا dan إنّ
yang diselai dengan كاف الزائدة menjadi لا كإنَّ kemudian kasrah hamzahnya lafadh
إنَّ dipindah ke كاف
kemudian diringankan sehingga menjadi لكنَّ.
Dan inilah qaul yang benar menurut Ibnu Ya’isy.
ü Madhab Al Farraa berpendapat bahwasannya لكنَّ
itu murakkab, tersusun dari [38]لكنْ dan أنّ
kemudian hamzahnya dibuang untuk meringankan pengucapannya, begitu pula
dengan nunnya lafadh لكنْ dibuang untuk
menghindari bertemunya dua huruf mati secara berurutan sehingga menjadi لكنَّ.
ü Sebagian Ulama’ Nahwu ada pula yang berpendapat bahwasannya لكنَّ berasal dari لا
dan كإنَّ sebagaimana pendapatnya As Suhaili.
Sedangkan برجشتراسر berpendapat
bahwasannya لكنَّ berasal dari لا dan كن
(ken) yang dalam bahasa الآرامية artinya هكذا, sehingga arti لاكن
adalah ليس كذا. Dan Dr. Fadhil
berpendapat bahwasannya tidak ada perbedaan arti dari lafadh لكنَّ yang ditasydid nunnya maupun
لكن yang disukun nunnya.
BAB III
KESIMPULAN
o
Qiyas adalah mengira-ngirakan hukum sesuatu yang belum jelas dengan
sesuatu yang sudah jelas dengan kesesuaian alasan tertentu.
o
Rukun
qiyas ada empat: ashal, fara’, alasan dan hukum.
o
Ijma’ merupakan kesepakatan Ahli Nahwu Bashrah dan Kufah.
o
Perbedaan
ijma’ dalam konteks Fiqh dengan Nahwu yaitu, keputusan yang ditetapkan ijma’
Ulama’ Fiqh adalah mutlak, sehingga tidak diperbolehkan menjalankan yang diluar
kesepakatan. Sebaliknya, sesuatu yang disepakati dalam Nahwu boleh jadi tidak
dijalankan dalam arti menjalankan yand diluar kesepakatan dengan syarat tidak
menyalahi hakikat.
o
Istishabul
haal
yaitu tetapnya suatu perkara dengan hukum ashalnya selagi tidak ada
sebab yang merubahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, K.H. Munawar dan Bisyri, K. Adib. 1999. قاموس البشري. Surabaya: Pustaka Progresif.
Al Ghulayini, Musthofa. 1971. جامع الدروس العربية. Libanon: Darul Kutub Al Ilmiyah.
Al Khotib, Thohir Yusuf. المعجم المفصل في الإعراب. Indonesia: Al Haramain.
Ali, Atabiq dan Zuhdi Muhdhor, Ahmad. قاموس العصري عربي – إندونيسي. Yogyakarta: Lembaga Ali Maksum Pesantren
Kerapyak.
Anonim. المنجد في اللغة و الأعلام Cetakan Pertama. Birut: Darul Masyriq.
Anonim. المجموعات Juz 19. (Abu Abdulloh Muhammad Jamaluddin Bin Malik,
w. 672 M. الخلاصة
الأالفية ).
As Sairozi Al Fair, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin
Yusuf dan Asy Syafii, Imam As Suyuti, Jalaluddin. شرح العلامة ابن عقيل. Surabaya: Darul Ilmi.
Az Zabadi. w. 476. اللمع في أصول الفقه. Indonesia: Al Haramain.
Dahlan, Ahmad Zaini. دحلان ألفية. Indonesia: AL Haramain.
Id, Moh.. 1978. أصول النحو العربي في نظر النحاة و رأي ابن مضاء و ضوء علم اللغة
الحديث. Kairo: Alimul Kutub.
Ismaiy, Hasyim. جدول الحرف. Indonesia: AL Haramain.
Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Malang: Dream Litera Geraha Al Farabiy.
Yunus. Prof. Dr. Moh.. 1990. قاموس عربي – اندونيسي. Jakarta: Haida Karya Agung.
Lampiran
[3] Atabiq Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. قاموس
العصري عربي – إندونيسي. Yogyakarta: Lembaga Ali Maksum Pesantren
Kerapyak. Hlm. 1421
[4] Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو و مدارسه. Malang: Dream Litera Geraha Al Farabiy. Hlm. 39
[5] Ibid. Hlm. 39-40
[6] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Sairozi Al Fair dan Imam Az
Zabadi Asy Syafii, w. 476. اللمع في أصول الفقه. Indonesia: Al Haramain. Hlm. 49
[7] Moh. Id. 1978. أصول النحو العربي في نظر النحاة و رأي ابن مضاء و ضوء علم اللغة
الحديث. Kairo: Alimul Kutub. Hlm. 68
[9] Ibid.
[10] Batal artinya صار لاغيا (sia-sia, tidak berguna). Op Cit. Atabiq Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdhor. Hlm. 335
[11] Op cit. Tamim Mulloh. Hlm. 40
[13] Maa Nafiyah adalah Maa yang tidak beramal meng-i’rabi kalimah lain: ia merupakan
kalimah huruf yang menafikan fiil madhi. (Thohor Yusuf Al Khotib. المعجم المفصل في الإعراب. Indonesia: Al Haramain. Hlm. 403
[14] Maa Istifhamiyah adalah isim yang digunakan untuk memperoleh pemahaman
(bertanya) akan sesuatu yang belum jelas. Ibid. Hlm. 401
[15] Illa Istitsnaaiyah adalah adat istitsna’ yang mabni sukun dan tidak
memiliki kedudukan i’rab. Ibid. Hlm. 56
[17] Isim Syarat yang digunakan pada sesuatu yang tidak berakal, menjazimkan
dua fiil mudhori’ yang mana fiil pertama sebagai syarat sedangkan yang ke dua
sebagai jawab, ia mabni sukun dengan I’rabnya mahal nashob sebagai maf’ul bih
atau maf’ul mutlaq atau pun i’rab rofa’ sebagai mubtada’. (Op Cit. Thohir Yusuf
Al Khotib. Hlm. 436
[18] Maa Syartiyah adalah Maa yang menjazimkan dua fiil yang mana fiil pertama
sebagai syarat sedangkan yang ke dua sebagai jawab. (Ibid. Hlm. 402
[21] كُفَّ
aslinya كَفُفَ
dengan wazan فَعُلَ,
harakat fa’ yang pertama dipindahkan ke huruf sebelumnya untuk meringankan
pengucapan sehingga menjadi كُفْفَ, kemudian fa’ yang pertama diidghomkan terhadap fa’
yang ke dua karena sejenis sehingga menjadi كُفَّ. Yang artinya قف. (Kyai Adib Bisri. 1999.
. Surabaya: Pustaka progesif. Hlm. 638
[22] ‘Azm artinya جد في الأمر: sungguh dalam suatu perkara/sengaja. المنجد
في اللغة و الأعلامCetakan Pertama. Hlm. 504. Atau
‘Azm berarti cita-cita yang tetap.
(Prof. Dr. H. Moh. Yunus. 1990. ، قاموس عربي – اندونيسي. Jakarta: Haida Karya Agung. Hlm. 265
[27] Bagian dari Isim-isim yang dibaca nashob. (Moh. Maftuhin Soleh. جدول النحو
الثاني في المرفوعات و المنصوبات و الجرورات و المجزومات Untuk Siswa SMA.
[28] ضربي زيدا قائما حاصل: ضربي: Isim marfu’ yang ditandai dengan dhummah muqaddaroh
(karena ia bertemu dengan dhamir bariz (ya’) berarti أنا ),
sebagai isim mufrod dan ia merupakan mudhof dengan mudhof ilaihnya ya’. Adapun
jumlah ضربي sendiri berkedudukan sebagai
mubtada’. زيدا: Isim manshub yang ditandai dengan fathah dhohiroh
karena isim mufrod dan berkedudukan sebagai maf’ul bih. قائما: Isim manshub yang ditandai dengan fathah dhohiroh
karena isim mufrod dan berkedudukan sebagai na’at dari lafadz زيدا. حاصل: Isim marfu’ yang ditandai dengan dhummah karena
menjadi isim mufrod dan ia berkedudukan sebagai khobar dari ضربي
[29] Istishab adalah bentuk mashdar dari استصحب
– يستصحب yang berarti لازم atau لاين. (المنجد
في اللغة و الأعلام Cetakan Pertama. Hlm. 416
[31] رفع مضارعا إذا يجرد # من ناصب و جازم كتسعد(Syeh Jalaluddin As
Suyuti. شرح العلامة ابن عقيل على الألفية جمالالدين محمد
بن عبد الله بن مالك.
Hlm. 154. Dan Syeh Ahmad Zaini Dahlan. دخلان ألفية . Hlm. 150.
[34] Ashal dari tamyiz itu adalah berupa isim nakiroh. Dan terkadang berupa
isim ma’rifat secara lafadhnya saja sedangkan maknanya tetap nakiroh. (Mushtofa
Al Ghulayini)
[36] لكنَّ
adalah huruf yang menyerupai fiil, yang masuk pada jumlah ismiyah dengan
menashobkan mubtada’ sebagai isimnya dan merofa’kan khobarnya mubtada’ sebagai
khobarnya. Ia berfaidah للاستدراك dan التوكيد. (Op Cit. Thohir Yusuf Al Khotib. Hlm. 388
[37] Op Cit. Hasyim Ismaiy. Hlm. 1
No comments:
Post a Comment