Monday, March 30, 2015

AL BARUDIY DAN SYAIRNYA (PELOPOR ALIRAN NEOKLASIK - SASTRA ARAB)



AL BARUDIY

Untuk memenuhi tugas “paper” mata kuliah Tarikh Adab Al Arabiy III

Pengampu :
Ahmad Kholil, M. Fil.



Oleh :
Himatul Istiqomah 12310079

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

KATA PENGANTAR

Lantunan bacaan hamdallah tiada hentinya kami sanjungkan sebagai ungkapan syukur atas karunia yang Allah Swt sajikan untuk kita semua selaku hamba-Nya. Shalawat salam semoga tak terjedakan mengalun untuk Nabiyullah Muhammad Saw sebagai penerang alam bak cahaya.

Dalam paper ini, kami menyuguhkan bahasan mengenai  “Al Barudiy,” profil dan karyanya, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tarikh Adab Al Arabiy III” yang diampu oleh Ustadz Kholil Rahimahullohu ta’ala. 

Tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula dalam penyajian paper ini, kurangnya pemahaman penulis perihal materi ini menyebabkan beberapa kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk itu, segala kritik akan kami terima demi perbaikan penugasan selanjutnya. Semoga paper ini bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 29 Maret 2015




BAB II
PEMBAHASAN
AL BARUDIY DAN SYAIRNYA

1.      Profil Al Barudiy

Nama aslinya adalah Jarkasiy.[1] Sedangkan nama panjangnya Mahmud Sami Ibnu Husni Al Barudiy.[2] Dia merupakan salah satu tokoh revolusi Arab dan penyair tersohor di Mesir serta pelopor berdirinya aliran neoklasik (الكلاسيكيون الجدد) dalam dunia kesusastraan Arab.[3] Dia memiliki beragam sebutan, di antaranya: “رب السيف والقلم” (Si Raja Pedang dan Pena), “أمير الشعراء” (rajanya penyair) dan “شاعر الأمراء” (penyairnya para raja).[4] Di sini penulis mengartikan ketiga sebutan di atas sebagai julukan atau gelar yang dia dapati akibat kepiawaiannya di bidang militer dan kepenulisan serta mahir dalam bersyair.

Dia dilahirkan pada tahun 1255 H[5]/1839[6] M di kawasan Bakhirah tepatnya di desa Itay Al-Barud, Sudan.[7] Namun dalam literatur lain[8] disebutkan bahwasannya Al Barudiy dilahirkan di bumi Kairo. Dari namanya yang panjang, dia hanya dipanggil Al Barudiy, yang dinisbahkan pada tempat kelahirannya. Dalam bahasa kamus,[9] kata Al Barudiy dinisbatkan pada “bedil” yang menjadi salah satu senjata di kancah pertempuran. Dia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya “Hasan Husni Bik”[10] sampai usia 7 tahun. Karena ayahnya wafat, dia diasuh oleh keluarganya, sampai usia 11 tahun,[11] kemudian pada usia 12 tahun dimasukkan ke Akademi Militer Mesir.[12] Dia berhasil menjadi salah seorang perwira militer pada tahun 1855 M.[13] Dia kemudian mempelajari bahasa Turki dan Persi di Qustantiniah,[14] ketika diutus membantu Turki melawan Rusia.[15] Pangkatnya terus menanjak dengan menjadi pemimpin pasukan Mesir yang diperbantukan kepada Daulah Usmaniyah, ketika terjadi pemberontakan Balqan dan Iqrithis.[16] Dia cukup ternama di berbagai kancah pertempuran karena strategi penyerangannya selalu membawa pulang kemenangan.

Sekembalinya ke Kairo-Mesir, dia menduduki banyak jabatan kemiliteran, kemudian diangkat oleh Taufiq Pasya[17] sebagai pengawas urusan peperangan dan waqaf pada usianya yang ke 26 tahun. Dia mengundurkan diri dari kedua jabatan itu, namun diangkat kembali sebagai kepala pengawas, menjelang revolusi Arab.[18] Dia pun berhasil menumpas kobaran api revolusi tersebut. Namun, usai revolusi, dia tertangkap dan dibuang ke pulau Sarandib (Seilon)[19] selama 17 tahun. Di tempat pengasingannya itu, dia mempelajari bahasa Inggris.[20] Dia banyak merenung dan  mereflesikan diri tentang kehidupannya sehingga tertumpahkan dalam bait-bait syair. Dia kemudian terkena penyakit yang berujung pada kebutaan, sehingga diizinkan untuk kembali ke Mesir, pada tahun 1900 M.[21] Dia kembali ke kediamannya dalam kedaan buta. Dia mengisi waktunya dengan menulis karya sastra, hingga akhirnya wafat pada tahun 1322 H/1904 M dalam usia kurang lebih 67 tahun (karena perbedaan tahun di beberapa referensi).

2.      Syair Al Barudiy dan Analisisnya

Selain Al Barudiy terkenal sebagai raja pedang di bidang kemiliteran, dia juga tersohor di bidang sastra, sebagai raja pena pelopor aliran neoklasik.[22] Wafatnya Sang ayah di masa kecilnya tidak sekedar membekaskan kepedihan, melainkan juga terdapat banyak hikmah di sana. Di tengah kesunyiannya, dia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca banyak buku. Saat itu Al Barudiy sangat gemar menelaah buku-buku sastra klasik terutama yang berkaitan dengan tema peperangan, patriotisme dan kepahlawanan.[23] Dia menulis syair sejak kecil tanpa guru dan tanpa belajar Ilmu Al ‘Arudh Wa Al Qawafi, Nahwu, Sharf dan Balaghah. Dia belajar mengenai syair-syair secara otodidak, dengan menirukan dan mengritik syair-syair milik penyair terdahulu. Dia banyak menghafalkan syair-syair itu kemudian mringkasnya, sehingga tampak keterpengaruhan Al Barudiy oleh para penyair pujaannya seperti Umrul Qais dan Ibnu Mutaz. Karenanya, tidak heran jika syair-syairnya yang awal senada dan senilai dengan milik penyair-penyair abad -3 dan -4 M.  Bahasanya mengalun begitu indah dengan kata-kata manis dan makna yang agung serta gaya bahasa yang kuat.[24]

Disebutkan bahwasannya syair-syair Al Barudiy terkenal karena syairnya yang hidup dan kritis (في إحيائهِ وتجديدهِ). Beberapa keistimewaan syair-syairnya, yaitu: bagus diksi dan maknanya (حُسْنُ اللفظ والمعنى), dan strukturnya murni (قُحُّ المبنى). Dia mengikuti syair-syair karya Ibnu Mu’taz, Abi Faras, Ar Radli dan At Taghraiy, dengan luapan emosi yang penuh (شُعُوْرًا فَيَاضًا سَلِيْمًا), gaya bahasanya jernih dan beragam (الراَّئِقُ والفَخْم), sehingga mengundang para pembacanya untuk bisa berlayar menjiwai setiap isi bait syairnya.[25] Karya-karyanya yang terbaik, adalah yang ditulis ketika masa mudanya dan selama pengasingannya. Karena menjelang wafatnya, dia semakin melemah dan payah.[26]
 
Pada masa Turki Ustmani, model puisinya sangat dangkal dan artifisial. Mungkin dikarenakan bahasa Arab bercampur dengan dialek Ustmani yang sempit.  Ditambah lagi pada masa itu, pemerintah disibukkan dengan mengawasi hegemoni daerah taklukan Turki yang sangat luas. Apalagi pada masa Al Barudiy, banyak daerah Arab yang diduduki Turki memberontak, sehingga perhatian penguasa sangat kurang dalam memajukan keilmuaan dan peradaban khususnya sastra dan syair Arab.[27] 

Melihat realitas kejumudan dan kerusakan bahasa itulah Al Barudiy menggagas suatu pembaharuan dalam dunia sastra Arab. Pembaharuan Al Barudiy bisa dilihat dari perluasan tema-tema lama dalam pembuatan syair, sehingga khazanah keilmuaannya menjadi beragam, terutama tema-tema lama yang meluas seperti ghazal (puisi cinta) yang di tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin (kerinduan yang mendalam) dan fakhr (berbangga-bangga) serta mengusung tema-tema baru sebagai hasil transformasi dengan keilmuan barat, seperti tema nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan tema sosial ke dalam sastra arab.[28] Demikianlah bukti Al Barudiy sebagai penggagas aliran neoklasik dalam karya sastra Arab.

Dia mengumpulkan syair-syairnya menjadi sebuah Diwan (antologi). Di antara syairnya adalah sebagai berikut:
من وحي منفي البارودي في جزيرة سرنديب للبارودي[29]
ولكن لأمرٍ أوجبتهُ المفاخرُ
وَما حملَ السَّيْفَ الْكَمِيُّ لِزِينَة ٍ
Tidaklah ksatria membawa pedang hanya untuk perhiasan, melainkan tujuan mulialah yang mewajibkannya.
فكلُّ زهيدٍ يَمسكُ النَّفسَ جابِرُ
إذا لَم يكُنْ إلاَّ المعيشة َ مَطلبٌ
Jika yang di cari hanyalah kehidupan dunia, maka ia harus bersiap dengan bagian yang sedikit saja.
ولا شهرَ السيفَ اليمانى َّ شاهرُ
فَلَوْلاَ الْعُلاَ ما أَرْسَلَ السَّهْم نَازِعٌ
Jika bukan karena tujuan yang luhur, panah takkan kubentangkan dan pedang orang Yaman takkan terkenal
ويَقبلَ مَكذوبَ المُنى وهوَ صاغرُ
منَ العارِ أن يرضى الدنيَّة َ ماجدٌ
Aku termasuk orang yang hina jika rela dengan cela, dan menerima kebohongan juga angan-angan palsu yang hina
ولا ذَنبَ لى إن عارَضتنى المقادِرُ
على َّ طلابُ العزِّ من مُستقرِّهِ
Bagiku yang terpenting adalah niat yang mulia, dan aku tak merasa berdosa jika nasib baik tak berpihak
على َّ، وعِرضى ناصِحُ الجيبِ وافِرُ ؟
فماذا عَسى الأعداءُ أن يتقوَّلوا
Apa gunanya musuh menebar fitnah atas diriku, sedangkan kemuliaanku bersih dan terjaga?
تُعابُ بِهَا، والدَّهْرُ فِيهِ الْمعَايرُ
ولكِنْ أَبَتْ نَفْسِي الْكَرِيمَة ُ سَوْأَة ً
Akan tetapi jiwa muliaku menolak keburukan penyebab aib sampai kapanpun.
نَعِيمٌ، ولاَ تَعْدُو عَلَيْهِ الْمفَاقِرُ
أنا المرءُ لا يثنيهِ عن دركِ العُلا
Aku adalah seorang manusia yang memiliki tujuan mulia, kenikmatan dan kefakiran tak menghalangiku untuk mencapainya
صَئُولٌ وأَفْوَاهُ الْمَنَايَ فَوَاغِرُ
قَئُولٌ وَأَحْلاَمُ الرِّجالِ عَوَازِبٌ
Lisan yang fasih, remaja yang mengigau juga pemberani, semuanya sama menghadapi mulut kematian yang selalu menganga
وَلاَ أَنَا إِنْ أَقْصَانِيَ الْعُدْمُ بَاسِرُ
فَلاَ أَنا إِنْ أَدْنَانِيَ الْوَجْدُ بَاسِمٌ
Aku bukanlah orang yang tersenyum jika dekat dengan cahaya, dan aku bukanlah orang yang cemberut jika ketiadaan membawaku jauh
وَلاَ الْمَالُ إِنْ لَمْ يَشْرُفِ الْمَرْءُ ساتِرُ
فَمَا الْفَقْرإِنْ لَمْ يَدْنَسِ الْعِرْضُ فَاضِحٌ
Tidaklah fakir menjadi aib jika berbuat mulia dan tidaklah harta akan menutupi aib jika tidak berbuat mulia
وكَمْ سَيِّدٍ دارتْ علَيْهِ الدَّوائِرُ
فكَم بطلٍ فَلَّ الزَّمانُ شباتَهُ
Banyak pahlawan yang habis kakuatannya termakan zaman, dan banyak para sayid yang tertimpa bencana
وأى ُّ جوادٍ لم تَخنهُ الحوافِرُ ؟
وأى ُّ حسامٍ لم تُصبهُ كلالَة ٌ ؟
Pedang mana yang tidak akan tumpul? dan kuda mana yang tidak pernah tergelincir?
غيابتُها ، واللهُ من شاءَ ناصِرُ
وَمَا هِيَ إِلاَّ غَمْرَة ٌ، ثُمَّ تَنْجلِي
Itu hanyalah kegelapan yang sementara dan akan segera lenyap, dan Allah akan menolong siapapun yang dikehendaki-Nya
إِلَى غَايَة ٍ تَنْفَتُّ فيهَا الْمَرائرُ
فَمَهْلاً بَنِي الدُّنْيَا عَلَيْنَا، فَإِنَّنَا
Kita sebagai penghuni dunia harus bersabar, karena ia akan segera berakhir dan hancur berkeping-keping
على فَلكة ِ السَّاقينِ فيها المآزِرُ
تطولُ بِها الأنفاسُ بُهراً ، وتلتوِى
Ketika nafas nafas tersengal-sengal dan terasa sesak, jelas terdengar erangan pada tenggorokan yang sekarat
فَما أَوَّلٌ إِلاَّ وَيَتْلُوهُ آخِرُ
وَعَمَّا قَلِيلٍ يَنْتَهِي الأَمْرُ كُلُّهُ
Dalam sekejap berakhirlah segalanya, tidak ada permulaan kecuali aka nada akhirnya

Syair di atas adalah karya Al Barudiy ketika di pengasingan, Sarandib. Dalam renungannya, dia masih memiliki semangat juang yang tinggi dan terus berkobar di dadanya. Dia tidak menyesali pengasingannya, karena baginya membela negara adalah sebuah kewajiban. Peristiwa ini semakin membuatnya bersabar dan mengerti arti kehidupan yang fana ini.

وَإِنَّمَا صَفُوْهُ بَيْنَ الْوَرَى لُمَع
وَالدَّهْرِ كَالْبَحْرِ لَا ينفك ذَا كَدِر
Tapi beningnya menyilaukan manusia
Demi masa, laksana lautan yang tak lepas dari kekeruhan
مَا شَانَ أَخْلَاقَهُ حِرْصٌ وَلَا طَمَع
لَوْ كَانَ لِلْمَرْءِ فِكْرٌ فِيْ عَوَاقِبِهِ
Tentu rakus dan tamak takkan menodai akhlaknya
Manakala orang berfikir akan kesudahannya
مَنْ لَمْ يَزَلْ بِغُرُوْرِ الْعَيْشِ يَنْخَدِع
وَكَيْفَ يُدْرِكُ مَا فِيْ الْغَيْبِ مِنْ حدث
Siapapun yang masih terpedaya tipuan-tipuan dunia
Bagaimana akan tahu perihal yang tak kasat mata
وَأَعْمَارٌ تَمُرُّ وَأَيَّامٌ لَهَا خُدَع
دَهْرٌ يَغُرُّ وَآثَارٌ تَسُرُّ
Umur berlalu dan hari-hari pun dusta
Zaman menipu dan angan-angan pun menggoda
وَ لَيْسَ يَعْلَمُ مَا يَأْتِيْ وَمَا يَدْع
يَسْعَى الْفَتَى لِأُمُوْرِ قَدْ تَضَرَّبُه
Tanpa tahu yang akan datang dan sirna
Seorang pemuda menapaki urusan-urusan dunia
مَهْلًا فَإِنَّكَ بِالْأَيَّامِ مُنْخَدِع
يَآيُّهَأ السَّادِرُ الْمُزَوِّرُ مَنْ صَلِف
Perlahan hari-harimu sekedar tipuan belaka
Wahai pengurai kepalsuan makhluk yang congkak
لَعَلَّ قَلْبَكَ بِالْإِيْمَأنِ يَنْتَفِع
دَعْ مَا يَرِيْبُ وَخُذْ فِيْمَا خَلَقْتَ لَه
Kelak Engkau bermanfaat dengan hati beralaskan Iman
Tinggalkanlah keraguan dan raihlah yang Engkau impikan
وَكُلُّ ثَوْبٍ إِذَا مَا رَثَّ يَنْخَلِع
إِنَّ الْحَيَأةَ لَثَوْبٌ سَوْفَ تَخْلَعَه
Semua pakaian akan ditanggalkan ketika usang
Kehidupan ini laksana pakaian yang akan Kau tanggalkan
Syair itu[30] berisi sindiran dan nasehat agar selalu memperhatikan betapa waktu sangat berharga. Ia tak akan pernah kembali ketika sudah berpacu dan tidak pula bersedia sejenak menunggu, hingga orang-orang tersadar dari sandiwara dunia. Kehidupan yang fana ini bagaikan pakaian, yang apabila telah usang, segera ditanggalkan. Karena itu, langkah untuk menggapai impian jangan dibiarkan tersedak oleh ketidak-percayadirian dan keputus-asaan. Agar kelak menjadi insan yang bermanfaat dan senantiasa diselimuti keimanan.
Dan ini adalah karya syairnya yang terakhir:[31]
بَيْنَ الْمُحَاضِر وَالْنَوَادِي
أَنَا مَصْدَرُ الْكَلِم الْبَوَادِيْ
Aku, sumber perkataan yang dalam antara pembicara dan audiens
فِيْ كُلِّ مَلْحَمَة وَنَادى
أَنَا فَارسٌ أَنَا شَاعِرٌ
Aku, penunggang kuda dan penyair setiap epos[32] dan jeritan
زَيْدُ الْفَوَارِسِ فِيْ الْجِلَاد
فَإِذَا رَكِبْتُ فَإِنَّنِيْ
Manakala aku menunggang, sesungguhnya aku selalu mencambuki tungganganku
قسُّ بْنُ سَاعِدَةِ الْإِيَّادِيَ
وَإِذَا نَطَقْتُ فَإِنَّنِيْ
Manakala aku berucap, sesungguhnya aku adalah dorongan Qass Ibnu Sa’idah
Syair itu berisi fakhr terhadap dirinya sendiri sebagai seorang panglima perang yang piawai menunggangi kuda. Dia pun penyair yang kritis terhadap syair-syair terdahulu. Sehingga cambukan-cambukan pada kuda yang ditungganginya sangat cocok untuk menggambarkan betapa kritisnya Al Barudiy terhadap syair-syair terdahulu yang dijumpainya, dan dia pun mampu mencetuskan aliran neoklasik dalam kesusastraan Arab.
Adapun Qass Ibnu Sa’idah adalah seorang penyair pada masa awal kerasulan Nabi Muhammad Saw yang selalu dikenang oleh beliau dengan lantunan katanya yang terekam dalam penggalan kisah berikut:[33]
 

 
 











                                                                                                             





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Nama aslinya adalah Jarkasiy. Sedangkan nama panjangnya Mahmud Sami Ibnu Husni Al Barudiy. Dia merupakan salah satu tokoh revolusi Arab dan penyair tersohor di Mesir dan pelopor berdirinya aliran neoklasik (الكلاسيكيون الجدد) dalam dunia kesusastraan Arab. Dia mendapat julukan Si Raja Pena karena kepiawaiannya dalam bersyair, dan Si Raja Pedang karena kemahirannya di bidang militer.

Di antara kelebihannya adalah kemampuannya bersyair tanpa sebelumnya mempelajari ilmu nahwu-shorf, balaghah maupun ‘arudh dan tanpa guru. Dia menekuni ilmu-ilmu itu secara otodidak dengan membaca, menghafal dan mengkritisi syair-syair milik penyair terdahulu. 

Sebagai bapak neoklasik di bidang sastra, pembaharuan Al Barudiy bisa dilihat dari perluasan tema-tema lama dalam pembuatan syair. Di antaranya: ghazal (puisi cinta) yang di tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin (kerinduan yang mendalam) dan fakhr (berbangga-bangga) serta mengusung tema-tema baru sebagai hasil transformasi dengan keilmuan barat, seperti tema nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan tema sosial ke dalam sastra arab.[34]

 




[1] Mustofa Badui. Tanpa tahun. مختارات من الشعر العربي الحديث. Hlm. 19.
[2] A. Al. Iskandi dan Mustofa Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي وتاريخه.Hlm. 347.
[3] Mustofa Badui. Op.Cit.
[4] Ibid. Hlm. 348.
[5] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit.
[6] Mustofa Badui. Op. Cit. dan A. Hasan Az Ziyat. Tanpa tahun. تاريخ الأدب العربي. Hlm. 363.
[7] Mustofa Badui. Op. Cit.
[8] A. Hasan Az Ziyat. Op. Cit.
[9] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. 1998. قاموس "كرابياك" العصر عربي-إندونيسي.Hlm. 292.
[10] Pemimpin Danqalah dan Bar-bar pada masa Sulatan Moh. Ali Pasha.
[11] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit.
[12] Mustofa Badui. Op.Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[16] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit. Dan A. Hasan Az Ziyat. Op. Cit.
[17] Sultan setelah Syarif Pasya. A. Hasan Az Ziyat. Op.Cit. Hlm. 364.
[18] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit
[20] A. Hasan Az Ziyat. Op.Cit.
[21] Ibid.
[22] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit
[24] A. Hasan Az Ziyat. Op.Cit.
[25] Ibid.
[26] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit.
[28] Ibid.
[29] Menggunakan bahr thawil (فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن).
[30] Menggunakan bahr basith (مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن).
[31] Menggunakan bahr madid (فاعلاتن فاعلن فاعلاتن).
[32] Puisi tentang kepahlawanan. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. Op. Cit. Hlm. 1813.
[33] DR. Abdur Rahman Umairah. Tokoh-Tokoh yang Diabadikan Al Qur’an. Hlm. 12-13.
[34] Ibid.