“De Omnibus
Dubitandum”[1]
Segala sesuatu harus diragukan. Karena
semua yang ada di dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Dunia ini seakan hanya
fatamorgana belaka. Bahkan Matematika pun yang notabene tergolong ilmu pasti
masih ditemukan ketidakpastian di dalamnya. Seperti teori peluang, penaksiran
dan perkiraan hasil pembagian angka berapapun dengan angka nol (0) yang tidak
terdefinisikan.
Pembahasan suhu dalam Fisika pun juga
menemui ketidakpastian dalam siklus hidrologi. Teori Fisika menyebutkan bahwa
titik didih air adalah 1000C. Setelah mencapai derajat itulah air
mulai berubah menjadi uap. Tapi kenyataannya, uap air laut yang membentuk awan
tidak dihasilkan pada derajat itu, melainkan jauh di bawah 1000C.
Itu berarti untuk meghasilkan uap, air tidak pasti berada pada derajat titik
didihnya (1000C).
Seseorang yang disodori makanan,
idealnya dia akan menyantap makanan itu. Tapi karena dia sedang berpuasa atau
alergi maka ia pun tidak makan. Pengobatan terhadap orang sakit pun belum pasti
menyembuhkan. Dan masih banyak kasus lain yang serupa. Intinya, puncak dari
kepastian itu adalah ketidakpastian. Dan ketidakpastian itulah yang menuntuk
kita bersikap ragu dan waspada sehingga mengfungsikan akal guna meraih
pemikiran-pemikiran yang cemerlang, dan tidak sekedar taqlid buta.
Di sinilah peran penting sastra yang
selalu menjadi kajian abstrak, gaib, misteri atau sebutan yang serupa lainnya.
Lebih tepatnya sastra itu lah bagian dari ketidakpastian itu sendiri, yang
menyeret orang untuk terus mengembangkan pemikirannya sehingga bisa
menyampaikan ide-ide yang terlalu lama terkurung dan bahkan hampir membusuk.
(Revisian 27 nov 2014 silam.)
DIBUTUHKAN SEDIKIT KERAGUAN UNTUK WASPADA
Segala yang
tampak nyata di alam semesta ini seakan sebuah kepastian. Namun hakikatnya,
segalnya berangkat dari sebuah ketidakpastian dan berujung pada ketidakpastian
pula. Keseluruhan material yang kasat mata hanyalah manifestasi perwujudan
kuasa Tuhan.
Sebagai
konsekuensi manusia yang diciptakan berakal, sepatutnya ketidakpastian inilah
yang mendorong kita meragukan segala sesuatu yang telah ada dan menerka
kemungkinan apa yang akan terjadi. Hal ini bukan berarti kita meragukan kuasa
Tuhan sebagai pencipta alam yang sedemikian rapi. Karena Tuhan pastilah
memiliki alasan tersendiri dengan semua ini. Akan tetapi, keraguan inilah yang
akan memicu perkembangan pola pikir kita untuk senantiasa menggagas dan
menuangkan ide-ide yang bermanfaat.
Sedikit
keraguan amat dibutuhkan sebagai modal kewaspadaan, yang selanjutnya akan
melatih kita menyiapkan opsi-opsi planing B,C maupun D yang bisa dipersiapkan
sebagai antisipasi kegagalan planing A. Artinya kewaspadaan ini berperan dalam
“Prepare for The Worst”, sehingga jika suatu saat terjadi kegagalan planing A,
seseorang tidak akan berhenti melangkah (putus asa) karena masih memiliki
planing cadangan untuk membuatnya bangkit.
Bahkan
dalam doa yang harus disertai keyakinan pun masih terselip keraguan akan
tertolaknya doa. Sehingga dalam berdoa, kita melakukannya berulang-ulang, dan
ada upaya mengoreksi serta memperbaiki diri sebagai syarat tercapainya doa.
“DE OMNIBUS DUBITANDUM (SEGALA SESUATU HARUS DIRAGUKAN)”.
10
Maret 2015
Tema
|
Mempertanyakan Gairah Sastra di Humaniora
“Lingkaran Pesakitan” (tulisan fino)
|
Moderator
|
Himmah
|
Pemateri
|
Dr. Cristyaji I.
|
Tanggal
|
Kamis, 05 Mar 2015
|
Tempat
|
Halaman depan rektorat
|
Peserta
|
Fino, Herba, Dzakir, Usman, Ubaid, Vero, Himmah, Ana, Husna, Fauzia,
Naili, Nazil, Titis, Ria, Ainur, Sri.
|
No comments:
Post a Comment