Wednesday, December 16, 2015

TAMAN KEHIDUPAN



TAMAN KEHIDUPAN*
By: HISTISHA NR.

Ketika dianalogikan sebuah taman, kehidupan itu akan tampak indah jika dihiasi dengan pepohonan dan rerumputan yang tumbuh menghijau nan subur. Diantara ragam pohon yang berhasil menembus perut bumi untuk dapat menjulang menggapai langit, ada lima jenis yang istimewa yang mampu memberikan kesejukan dalam ruang taman itu.

Kelima pohon itu bermarga, “pengetahuan para ilmuwan”, “kebijakan para pemimpin”, “pengabdian para hamba”, “kejujuran para pedagang dalam berniaga”, dan “kesetiaan para pekerja menekuni profesinya”. Jika kelimanya dirawat, dipupuk, dan disirami dengan cukup. Jika kelimanya mampu tumbuh subur memenuhi taman-taman. Maka, tidak hanya batang. Tidak hanya dahan. Tidak hanya ranting-ranting dan dedaunan, yang dapat menyejukkan setiap pasang mata yang memandang. Melainkan, manisnya buah yang yang siap dipanen akan turut menggiurkan perut-perut keroncongan. Melepaskannya dari jerat kelaparan. Menghapuskannya dari kerontang kedahagaan. Dan menyejahterakan setiap organisme yang mampu memahami keagungan kuasa Tuhan.

Tapi, tidak hanya manusia yang akan terpikat berduyun-duyun menikmati hasil dari kesuburan pepohonan itu. Hama-hama pun serasa ditarik oleh kutub magnet yang berbeda, sehingga tanpa menunggu undangan mereka datang berkawanan. Berbondong-bondong menuju taman untuk meringkus pepohonan. 

Hama-hama itu tak lain berlabel “kemurkaan”, “kecurangan”, “ke-pamer-an”, “ke-dusta-an”, dan kemalasan atau penghianatan”. Jika, kehadiran kelima hama ini tak dapat teratasi dengan baik, bisa dipastikan bahwa kelima pohon tersebut perlahan akan tumbang, dan terkuburkan bersama debu-debu yang berserakan. Membusuk dan membumi, tanpa bisa mengindahkan taman-taman lagi.

Oleh karenanya, sebagai makhluk yang berakal, jangan anggurkan karunia istimewa dari Tuhan itu. Timang akal ini untuk menuntunya mengolah, menjaga, merawat, dan melindungi kelima jenis pohon tersebut. Agar tidak sampai tergerogoti oleh hama-hama yang kian berbahaya. Atau, sebelum hama-hama itu datang, persiapkan pohon-pohon itu dengan berbekal vaksin sebagai tameng kekebalannya, sehingga ketika hama-hama itu bermunculan, sang pohon masih sanggup bertengger tegak mengayomi siapapun yang berlindung di naungnya. Dan tetap mampu memproduksi buah yang siap kunyah, atau menitiskan bunga yang menebar aroma harumnya.

Atau, jika kita tak dapat menjadi diantara kelima pohon tersebut yang senantiasa menghiasi taman-taman, setidaknya kitak tidak menjadi hama-hama di atas yang dapat mencincang tata keseimbangan alam.           

Malang, 15 Desember 2015

HISTISHA NR.

*) Diilhami dari dawuhnya Ustadz Ahmad Fuad Effendi dalam Konferensi Meja Tak Bundar Silatnas 2 di Magelang.

Tuesday, December 15, 2015

JISAMSU PADA MASA RASULULLAH SAW



JISAMSU PADA MASA RASULULLAH SAW

By: HISTISHA NR.

Siapa yang tidak kenal dengan Jisamsu? Satu hal yang pastinya tidak asing, terutama bagi kaum Adam penggemar rokok. Yaa Jisamsu adalah salah satu merk rokok yang dilambangkan dengan angka 234. Ternyata, Jisamsu ini sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Bahkan, ia tersuratkan dalam Al-Qur’an secara terang-terangan, sebagai upaya mengangkat derajat kaum Hawa. Penasaran kan?

Dahulu kala, pada masa Jahiliah, seorang laki-laki tidak dianggap sebagai Sayyidul Arab[1] apabila tidak memiliki istri lebih dari seratus orang. Bayangkan, lebih dari seratus perempuan diperistri oleh seorang laki-laki saja! Bukankah hal ini menimbulkan kesan bahwa derajat perempuan itu sangat rendah di mata laki-laki Arab pada masa itu?! Tidak hanya itu, memiliki anak perempuan dianggap sebagai aib yang sangat memalukan dan hina. Sehingga, tidak sedikit orang Arab yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dengan sengaja.

Sudah sewajarnya kemerosotan moral yang amat fatal atas bangsa Arab Jahiliah ini direnovasi. Sudah banyak nabi dan rasul yang diturunkan Allah untuk bangsa Arab ini. Tapi, mereka hanya bergeliat seumur busa soda. Begitu sang nabi dan rasul tiada, iman mereka pun binasa, surut tanpa sisa.

Tapi, Tuhan tak henti-hentinya merajut asa. CintaNya sangat luas bahkan tak terukur oleh kumpulan air samudera. Sebagai bukti cintaNya atas bangsa Arab ini, Tuhan berinisiatif mengirimkan seorang utusan terakhir yang bertugas sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, yang tak lain adalah Baginda Yang Terkasih, Yang Terpilih (sebagai penyempurna akhlak mulia), yakni Nabi Muhammad Saw.

Melalui utusanNya inilah, kaum Hawa mulai mendapatkan ruang gerak untuk memperoleh apa yang mestinya menjadi haknya. Mereka, kaum Hawa yang semula tersisihkan, terpinggirkan, termarginalkan dalam tata kosmos kemasyarakatan dan kekeluargaan, berubah menjadi terhormat dan mendapatkan perlindungan.

Jisamsu, Al-Qur’an menuturnya dengan matsna wa stulaasa wa rubaa’a. Semua pasti sedang berhipotesis menghakimi makna kata Jisamsu, yang dalam Islam hal ini adalah bagian dari pernikahan. Sebut saja nama pasarannya dengan “poligami”. Al-Qur’an memang tidak mengharamkan poligami, akan tetapi di sana diberlakukan batasan untuk seorang laki-laki dalam praktik berpoligami.

“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (ketika mengawininya), maka kawinilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat orang.” (QS. An-Nisaa, 3).

Pada zaman Rasulullah Saw hampir tidak ada laki-laki yang tidak berpoligami. Bahkan, Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq pun memiliki istri lebih dari empat. Secara logika, turunnya ayat tersebut mengendalikan poligami yang semula tanpa batas dengan memberikan batasan  yang jelas terkait jumlah perempuan yang diperistri. Yang semula seratus bahkan lebih kemudian berkurang hingga menjadi empat. Hal itu sugguh luar biasa negosiasi yang dilakukan Allah melalui Al-Qur’an. Dan ini pun sangat berpengaruh mengangkat derajat perempuan secara tidak langsung.

Akan tetapi, pada era sekarang ini, poligami kembali mengundang tafsiran praktiknya secara bebas, tanpa batas. Hal ini dikarenakan pelafalan ayat terpotong dan terhenti hanya sampai pada yang tersebut di atas. Padahal, jika dilanjutkan pada potongan berikutnya secara lengkap, tentu akan mengubah pandangan terkait poligami.

“Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Atau kawinilah budak yang kamu miliki. Dengan begitu kamu akan terjauhkan dari penyelewengan.” (QS. An-Nisaa, 3).

Tafsiran untuk Jisamsu atau poligami tidak bisa hanya dilakukan secara tekstual, tetapi juga harus kontekstual. Adanya batasan maksimal berpoligami dengan empat orang istri, karena sebelumnya orang Arab memiliki seratus istri bahkan lebih. Rasulullah Saw pun ketika mencontohkan praktik poligami bukan semata-mata untuk menuruti hawa nafsu, melainkan menjalankan perintah Allah. Poligami Rasulullah Saw tidak bertujuan mencari gadis-gadis manis, tetapi bertujuan menyelamatkan harkat dan martabat janda-janda muslimah yang ditinggal mati suaminya dalam jihad fisabilillah. Dan Beliau senantiasa bersikap adil dalam memenuhi hak-hak setiap istri beliau.

Dari paparan yang demikian, jika di bawa ke dalam kontekstual saat ini, kira-kira alasan apa yang layak untuk dijadikan dalih berpoligami. Sementara semua perempuan saat ini sudah merdeka. Dan sangat kecil kemungkinan laki-laki yang mampu berbuat adil dalam praktik berpoligami. Kecuali jika memang ada hal yang dharurat yang menyebabkan seorang laki-laki harus berpoligami. Satu saja tidak habis-habis kog masih mau nambah lagi!!! (guyonan).

??? wallaahu a’lam bi ash-shawaab ???

LTPLM, 15 Desember 2015
HISTISHA NR.


[1] Orang besar di Arab.

Monday, November 30, 2015

AKUPUN BERHUTANG PADA SETIAP TETESAN KERINGAT BANGSAKU



AKUPUN BERHUTANG PADA SETIAP TETESAN KERINGAT BANGSAKU
By: HISTISHA NR.

Ketika kupikir, di Malang sini aku bisa berlalu meninggalkan masalaluku. Justru masalaluku yang berlaku sebagai anak tangga yang kupijaki, yang mengantarku hingga aku sampai di sini. Ketika kupikir, di Malang sini adalah persinggahan untuk peristirahatanku. Justru kebisingannya membuatku kesepian, sehingga aku tertuntun melakukan banyak hal yang semula aku tak tahu.

Aku memang sempat lupa dengan anak-anak tangga yang meminjamkan bahunya untuk menyorongku, hingga aku berada di sini. Sebab, dalam pemberangkatanku, aku hanya memikirkan diriku sendiri dan untuk kesenganku pribadi. Aku hanya bersiap untuk menyambut sejuknya embun fajar di pagi hari. Aku hanya bersiap menatap senyum rembulan yang menawan kala petang mulai membayang. Aku hanya berbekal keegoisanku untuk berlari dari masalaluku.

Alhamdulillah... Wa Innalillah...

Alarmku masih setia bersenandung membangunkanku dari lelap tidurku. Alarmku masih bersabar membisik menyadarkanku dari pingsan panjangku.

Ternyata, aku di sini tidak sendiri. Aku tidak hanya untuk diriku sendiri. Aku di sini, di Malang ini bukan sekadar untuk rekreasi. Atau, sekadar berpindah ranjang tidur dari bumi Banyuwangi. Aku tak boleh terhanyut oleh imajinasi dan fantasi konyolku. Karena, di atas punggung kurusku masih tertumpuk tanggungjawab dan amanat orangtuaku juga bangsaku.

Dalam kejujuranku, bahkan ada banyak catatan hutang, hutang, dan hutang yang belum terlunaskan. Ada banyak pinjaman, pinjaman, pinjaman modal yang belum aku investasikan. Ternyata yang mengalir dalam darahku, bukan hanya hasil tetesan keringat orangtuaku, dalam setiap jerih payahnya. Dalam seutuh khusyu’ doanya. Dalam setulus baris harapannya. Yang senantiasa merajuk memohon kasih Yang Maha Kuasa. Bahkan, yang mendenyutkan setiap nadi-nadiku, ternyata masih mengalir hasil tetesan keringat bangsaku.

Bagaimana tidak? Tiga tahun silam, uang yang kugunakan mendaftar SNMPTN tulis di UIN Malang ini, adalah sisa beasiswaku di MAN Pesanggaran. Dengan koin-koin yang tersisa itu, aku bahkan bisa bertahan sampai sekarang, di bumi Malang. Beasiswa itu, yaa... itu kudapat memang sebagai hadiah karena dianggap berprestasi. Aku tak berbanga diri. Aku hanya berusaha mengingatkan diriku atas tanggungjawabku. Jika dulu investasiku di MAN sudah diteruskan oleh yang berkuasa di sana sekarang. Ternyata, tak cukup hanya berhenti di situ. Beasiswa yang notabene berasal dari gunungan kepingan rupiah hasil perasan keringat seluruh bangsaku, disediakan untuk generasi penerus bangsa untuk terus melakukan pembangunan, baik mental, moral, akhlak, martabat, dan segalanya. Dan harusnya itu diperuntukkan bagi yang benar-benar bisa bertanggungjawab atasnya. Tapi kenapa aku waktu itu yang terpilih menerimanya? Bahkan aku tanpa meminta. Sehingga aku pun bertanya-tanya. Karena aku tak menemukan jawaban tepatnya, aku hanya bisa mengupayakan agar aku tak mengecewakan bangsaku atas amanat yang telah dipercayakannya. Dan karena sisa rupiah itu kugunakan untuk meneruskan pembelajaranku di Malang ini, artinya sampai saat ini pun aku masih mengemban amanat bangsaku.

Aku tak boleh hanya bermain-main dengan sisa waktuku. Aku tak boleh sekadar menikmati pinjaman modal yang diberikan orangtuaku. Aku harus bangkit dari keegoisanku. Aku harus bangun dari lelap pejamnya mata hatiku. Masih ada sisa-sisa tetesan keringat bangsaku yang turut mengalir dalam darahku, bersama guyuran keringat orangtuaku. Masih ada banyak hutang yang belum terlunaskan. Jangan hanya aku bisa sejenak singgah dalam dunia yang singkat ini, tanpa memberikan manfaat apapun. Aku tak boleh membiarkan tetesan keringat bangsaku yang sudah mengalir dalam darahku, hanya gugur sia-sia.

"DUNYO IKI SEDELO, EMAN LAK DILIWATNO TANPO OLEH OPO2, TANPO NGERTI OPO2, TANPO AWEH MANFAAT OPO2."

Humaniora, 01 Desember 2015
Meski di tengah beku Kota Malang, asaku harus senantiasa tercairkan.

Sunday, November 22, 2015

AKU DAN KESAKSIANKU



AKU DAN KESAKSIANKU
By: HISTISHA

Bagiku, tulisan adalah kesaksian abadi atas setiap perjalan hidupku, yang kan terus bersyahadat meski pemiliknya telah tertanam dalam pelukan bumi.
Tulisanku adalah saksi bisu atas segenap perjalanan dan pengalaman hidupku. Meski tak semua baik pada kenyatannya, apapun yang kutulis kuharap sebaik tulus niatku.
Harapku;
Tulisanku menjadi sebuah petuah bagi yang membacanya, apapun itu.
Jika,
Goresan tintaku dianggap baik, bolehlah ia jadi gambaran atau contoh untuk pembacanya terus berproses menjadi diri yang lebih baik.
Jika,
Coretan itu tentang noda hitam dalam perjalananku, semoga dengan tulisanku, pembacanya tak perlu menyelami dunia hitam yang sama denganku. Dan melalui tulisanku, pembacanya dapat belajar untuk tidak mengulang lagi kesalahan yang sama denganku, dan bahkan bisa lebih baik dari aku.

Karena itu, sehitam apaun noda dalam goresan tinta siapaun, bagiku adalah pelajaran berharga. Dan ia akan menjadi positif ketika aku memberanikan diri menguak sisi lain di balik konotasi negatif yang tampak membungkusnya. Sebab, dominasi keburukan atas sesuatu tidak menafikan kebaikan masih tersimpan di dalamnya. Terkadang pun, ada mutiara di balik kubangan lumpur  bau. Dan hanya orang istimewa yang berani mengambil langkah untuk mendapat mutiara itu, meski harus terbalur lumpur terlebih dahulu.

Juanda, 23 November 2015