JISAMSU PADA MASA
RASULULLAH SAW
By: HISTISHA NR.
Siapa yang tidak kenal
dengan Jisamsu? Satu hal yang pastinya tidak asing, terutama bagi kaum Adam
penggemar rokok. Yaa Jisamsu adalah salah satu merk rokok yang dilambangkan
dengan angka 234. Ternyata, Jisamsu ini sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw.
Bahkan, ia tersuratkan dalam Al-Qur’an secara terang-terangan, sebagai upaya
mengangkat derajat kaum Hawa. Penasaran kan?
Dahulu kala, pada masa
Jahiliah, seorang laki-laki tidak dianggap sebagai Sayyidul Arab[1]
apabila tidak memiliki istri lebih dari seratus orang. Bayangkan, lebih
dari seratus perempuan diperistri oleh seorang laki-laki saja! Bukankah hal ini
menimbulkan kesan bahwa derajat perempuan itu sangat rendah di mata laki-laki
Arab pada masa itu?! Tidak hanya itu, memiliki anak perempuan dianggap sebagai
aib yang sangat memalukan dan hina. Sehingga, tidak sedikit orang Arab yang
mengubur anak perempuannya hidup-hidup dengan sengaja.
Sudah sewajarnya
kemerosotan moral yang amat fatal atas bangsa Arab Jahiliah ini direnovasi.
Sudah banyak nabi dan rasul yang diturunkan Allah untuk bangsa Arab ini. Tapi,
mereka hanya bergeliat seumur busa soda. Begitu sang nabi dan rasul tiada, iman
mereka pun binasa, surut tanpa sisa.
Tapi, Tuhan tak
henti-hentinya merajut asa. CintaNya sangat luas bahkan tak terukur oleh
kumpulan air samudera. Sebagai bukti cintaNya atas bangsa Arab ini, Tuhan
berinisiatif mengirimkan seorang utusan terakhir yang bertugas sebagai rahmatan
lil ‘aalamiin, yang tak lain adalah Baginda Yang Terkasih, Yang Terpilih
(sebagai penyempurna akhlak mulia), yakni Nabi Muhammad Saw.
Melalui utusanNya
inilah, kaum Hawa mulai mendapatkan ruang gerak untuk memperoleh apa yang
mestinya menjadi haknya. Mereka, kaum Hawa yang semula tersisihkan, terpinggirkan,
termarginalkan dalam tata kosmos kemasyarakatan dan kekeluargaan, berubah
menjadi terhormat dan mendapatkan perlindungan.
Jisamsu, Al-Qur’an
menuturnya dengan matsna wa stulaasa wa rubaa’a. Semua pasti sedang
berhipotesis menghakimi makna kata Jisamsu, yang dalam Islam hal ini adalah
bagian dari pernikahan. Sebut saja nama pasarannya dengan “poligami”. Al-Qur’an
memang tidak mengharamkan poligami, akan tetapi di sana diberlakukan batasan
untuk seorang laki-laki dalam praktik berpoligami.
“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
anak-anak yatim (ketika mengawininya), maka kawinilah perempuan lain yang kamu
senangi, dua, tiga, empat orang.” (QS. An-Nisaa, 3).
Pada zaman Rasulullah
Saw hampir tidak ada laki-laki yang tidak berpoligami. Bahkan, Sahabat Abu
Bakar Ash-Shiddiq pun memiliki istri lebih dari empat. Secara logika, turunnya
ayat tersebut mengendalikan poligami yang semula tanpa batas dengan memberikan
batasan yang jelas terkait jumlah perempuan
yang diperistri. Yang semula seratus bahkan lebih kemudian berkurang hingga
menjadi empat. Hal itu sugguh luar biasa negosiasi yang dilakukan Allah melalui
Al-Qur’an. Dan ini pun sangat berpengaruh mengangkat derajat perempuan secara
tidak langsung.
Akan tetapi, pada era
sekarang ini, poligami kembali mengundang tafsiran praktiknya secara bebas,
tanpa batas. Hal ini dikarenakan pelafalan ayat terpotong dan terhenti hanya
sampai pada yang tersebut di atas. Padahal, jika dilanjutkan pada potongan
berikutnya secara lengkap, tentu akan mengubah pandangan terkait poligami.
“Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka
cukup satu saja. Atau kawinilah budak yang kamu miliki. Dengan begitu kamu akan
terjauhkan dari penyelewengan.” (QS. An-Nisaa, 3).
Tafsiran untuk Jisamsu
atau poligami tidak bisa hanya dilakukan secara tekstual, tetapi juga harus
kontekstual. Adanya batasan maksimal berpoligami dengan empat orang istri,
karena sebelumnya orang Arab memiliki seratus istri bahkan lebih. Rasulullah
Saw pun ketika mencontohkan praktik poligami bukan semata-mata untuk menuruti
hawa nafsu, melainkan menjalankan perintah Allah. Poligami Rasulullah Saw tidak
bertujuan mencari gadis-gadis manis, tetapi bertujuan menyelamatkan harkat dan
martabat janda-janda muslimah yang ditinggal mati suaminya dalam jihad
fisabilillah. Dan Beliau senantiasa bersikap adil dalam memenuhi hak-hak
setiap istri beliau.
Dari paparan yang
demikian, jika di bawa ke dalam kontekstual saat ini, kira-kira alasan apa yang
layak untuk dijadikan dalih berpoligami. Sementara semua perempuan saat ini
sudah merdeka. Dan sangat kecil kemungkinan laki-laki yang mampu berbuat adil
dalam praktik berpoligami. Kecuali jika memang ada hal yang dharurat yang
menyebabkan seorang laki-laki harus berpoligami. Satu saja tidak habis-habis
kog masih mau nambah lagi!!! (guyonan).
??? wallaahu a’lam
bi ash-shawaab ???
LTPLM, 15 Desember
2015
HISTISHA NR.
Ning analisisnya jika ditampilkan akan lebih lengkap. :)
ReplyDelete