Tuesday, December 15, 2015

JISAMSU PADA MASA RASULULLAH SAW



JISAMSU PADA MASA RASULULLAH SAW

By: HISTISHA NR.

Siapa yang tidak kenal dengan Jisamsu? Satu hal yang pastinya tidak asing, terutama bagi kaum Adam penggemar rokok. Yaa Jisamsu adalah salah satu merk rokok yang dilambangkan dengan angka 234. Ternyata, Jisamsu ini sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Bahkan, ia tersuratkan dalam Al-Qur’an secara terang-terangan, sebagai upaya mengangkat derajat kaum Hawa. Penasaran kan?

Dahulu kala, pada masa Jahiliah, seorang laki-laki tidak dianggap sebagai Sayyidul Arab[1] apabila tidak memiliki istri lebih dari seratus orang. Bayangkan, lebih dari seratus perempuan diperistri oleh seorang laki-laki saja! Bukankah hal ini menimbulkan kesan bahwa derajat perempuan itu sangat rendah di mata laki-laki Arab pada masa itu?! Tidak hanya itu, memiliki anak perempuan dianggap sebagai aib yang sangat memalukan dan hina. Sehingga, tidak sedikit orang Arab yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dengan sengaja.

Sudah sewajarnya kemerosotan moral yang amat fatal atas bangsa Arab Jahiliah ini direnovasi. Sudah banyak nabi dan rasul yang diturunkan Allah untuk bangsa Arab ini. Tapi, mereka hanya bergeliat seumur busa soda. Begitu sang nabi dan rasul tiada, iman mereka pun binasa, surut tanpa sisa.

Tapi, Tuhan tak henti-hentinya merajut asa. CintaNya sangat luas bahkan tak terukur oleh kumpulan air samudera. Sebagai bukti cintaNya atas bangsa Arab ini, Tuhan berinisiatif mengirimkan seorang utusan terakhir yang bertugas sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, yang tak lain adalah Baginda Yang Terkasih, Yang Terpilih (sebagai penyempurna akhlak mulia), yakni Nabi Muhammad Saw.

Melalui utusanNya inilah, kaum Hawa mulai mendapatkan ruang gerak untuk memperoleh apa yang mestinya menjadi haknya. Mereka, kaum Hawa yang semula tersisihkan, terpinggirkan, termarginalkan dalam tata kosmos kemasyarakatan dan kekeluargaan, berubah menjadi terhormat dan mendapatkan perlindungan.

Jisamsu, Al-Qur’an menuturnya dengan matsna wa stulaasa wa rubaa’a. Semua pasti sedang berhipotesis menghakimi makna kata Jisamsu, yang dalam Islam hal ini adalah bagian dari pernikahan. Sebut saja nama pasarannya dengan “poligami”. Al-Qur’an memang tidak mengharamkan poligami, akan tetapi di sana diberlakukan batasan untuk seorang laki-laki dalam praktik berpoligami.

“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (ketika mengawininya), maka kawinilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat orang.” (QS. An-Nisaa, 3).

Pada zaman Rasulullah Saw hampir tidak ada laki-laki yang tidak berpoligami. Bahkan, Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq pun memiliki istri lebih dari empat. Secara logika, turunnya ayat tersebut mengendalikan poligami yang semula tanpa batas dengan memberikan batasan  yang jelas terkait jumlah perempuan yang diperistri. Yang semula seratus bahkan lebih kemudian berkurang hingga menjadi empat. Hal itu sugguh luar biasa negosiasi yang dilakukan Allah melalui Al-Qur’an. Dan ini pun sangat berpengaruh mengangkat derajat perempuan secara tidak langsung.

Akan tetapi, pada era sekarang ini, poligami kembali mengundang tafsiran praktiknya secara bebas, tanpa batas. Hal ini dikarenakan pelafalan ayat terpotong dan terhenti hanya sampai pada yang tersebut di atas. Padahal, jika dilanjutkan pada potongan berikutnya secara lengkap, tentu akan mengubah pandangan terkait poligami.

“Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Atau kawinilah budak yang kamu miliki. Dengan begitu kamu akan terjauhkan dari penyelewengan.” (QS. An-Nisaa, 3).

Tafsiran untuk Jisamsu atau poligami tidak bisa hanya dilakukan secara tekstual, tetapi juga harus kontekstual. Adanya batasan maksimal berpoligami dengan empat orang istri, karena sebelumnya orang Arab memiliki seratus istri bahkan lebih. Rasulullah Saw pun ketika mencontohkan praktik poligami bukan semata-mata untuk menuruti hawa nafsu, melainkan menjalankan perintah Allah. Poligami Rasulullah Saw tidak bertujuan mencari gadis-gadis manis, tetapi bertujuan menyelamatkan harkat dan martabat janda-janda muslimah yang ditinggal mati suaminya dalam jihad fisabilillah. Dan Beliau senantiasa bersikap adil dalam memenuhi hak-hak setiap istri beliau.

Dari paparan yang demikian, jika di bawa ke dalam kontekstual saat ini, kira-kira alasan apa yang layak untuk dijadikan dalih berpoligami. Sementara semua perempuan saat ini sudah merdeka. Dan sangat kecil kemungkinan laki-laki yang mampu berbuat adil dalam praktik berpoligami. Kecuali jika memang ada hal yang dharurat yang menyebabkan seorang laki-laki harus berpoligami. Satu saja tidak habis-habis kog masih mau nambah lagi!!! (guyonan).

??? wallaahu a’lam bi ash-shawaab ???

LTPLM, 15 Desember 2015
HISTISHA NR.


[1] Orang besar di Arab.

1 comment:

  1. Ning analisisnya jika ditampilkan akan lebih lengkap. :)

    ReplyDelete