Monday, November 30, 2015

AKUPUN BERHUTANG PADA SETIAP TETESAN KERINGAT BANGSAKU



AKUPUN BERHUTANG PADA SETIAP TETESAN KERINGAT BANGSAKU
By: HISTISHA NR.

Ketika kupikir, di Malang sini aku bisa berlalu meninggalkan masalaluku. Justru masalaluku yang berlaku sebagai anak tangga yang kupijaki, yang mengantarku hingga aku sampai di sini. Ketika kupikir, di Malang sini adalah persinggahan untuk peristirahatanku. Justru kebisingannya membuatku kesepian, sehingga aku tertuntun melakukan banyak hal yang semula aku tak tahu.

Aku memang sempat lupa dengan anak-anak tangga yang meminjamkan bahunya untuk menyorongku, hingga aku berada di sini. Sebab, dalam pemberangkatanku, aku hanya memikirkan diriku sendiri dan untuk kesenganku pribadi. Aku hanya bersiap untuk menyambut sejuknya embun fajar di pagi hari. Aku hanya bersiap menatap senyum rembulan yang menawan kala petang mulai membayang. Aku hanya berbekal keegoisanku untuk berlari dari masalaluku.

Alhamdulillah... Wa Innalillah...

Alarmku masih setia bersenandung membangunkanku dari lelap tidurku. Alarmku masih bersabar membisik menyadarkanku dari pingsan panjangku.

Ternyata, aku di sini tidak sendiri. Aku tidak hanya untuk diriku sendiri. Aku di sini, di Malang ini bukan sekadar untuk rekreasi. Atau, sekadar berpindah ranjang tidur dari bumi Banyuwangi. Aku tak boleh terhanyut oleh imajinasi dan fantasi konyolku. Karena, di atas punggung kurusku masih tertumpuk tanggungjawab dan amanat orangtuaku juga bangsaku.

Dalam kejujuranku, bahkan ada banyak catatan hutang, hutang, dan hutang yang belum terlunaskan. Ada banyak pinjaman, pinjaman, pinjaman modal yang belum aku investasikan. Ternyata yang mengalir dalam darahku, bukan hanya hasil tetesan keringat orangtuaku, dalam setiap jerih payahnya. Dalam seutuh khusyu’ doanya. Dalam setulus baris harapannya. Yang senantiasa merajuk memohon kasih Yang Maha Kuasa. Bahkan, yang mendenyutkan setiap nadi-nadiku, ternyata masih mengalir hasil tetesan keringat bangsaku.

Bagaimana tidak? Tiga tahun silam, uang yang kugunakan mendaftar SNMPTN tulis di UIN Malang ini, adalah sisa beasiswaku di MAN Pesanggaran. Dengan koin-koin yang tersisa itu, aku bahkan bisa bertahan sampai sekarang, di bumi Malang. Beasiswa itu, yaa... itu kudapat memang sebagai hadiah karena dianggap berprestasi. Aku tak berbanga diri. Aku hanya berusaha mengingatkan diriku atas tanggungjawabku. Jika dulu investasiku di MAN sudah diteruskan oleh yang berkuasa di sana sekarang. Ternyata, tak cukup hanya berhenti di situ. Beasiswa yang notabene berasal dari gunungan kepingan rupiah hasil perasan keringat seluruh bangsaku, disediakan untuk generasi penerus bangsa untuk terus melakukan pembangunan, baik mental, moral, akhlak, martabat, dan segalanya. Dan harusnya itu diperuntukkan bagi yang benar-benar bisa bertanggungjawab atasnya. Tapi kenapa aku waktu itu yang terpilih menerimanya? Bahkan aku tanpa meminta. Sehingga aku pun bertanya-tanya. Karena aku tak menemukan jawaban tepatnya, aku hanya bisa mengupayakan agar aku tak mengecewakan bangsaku atas amanat yang telah dipercayakannya. Dan karena sisa rupiah itu kugunakan untuk meneruskan pembelajaranku di Malang ini, artinya sampai saat ini pun aku masih mengemban amanat bangsaku.

Aku tak boleh hanya bermain-main dengan sisa waktuku. Aku tak boleh sekadar menikmati pinjaman modal yang diberikan orangtuaku. Aku harus bangkit dari keegoisanku. Aku harus bangun dari lelap pejamnya mata hatiku. Masih ada sisa-sisa tetesan keringat bangsaku yang turut mengalir dalam darahku, bersama guyuran keringat orangtuaku. Masih ada banyak hutang yang belum terlunaskan. Jangan hanya aku bisa sejenak singgah dalam dunia yang singkat ini, tanpa memberikan manfaat apapun. Aku tak boleh membiarkan tetesan keringat bangsaku yang sudah mengalir dalam darahku, hanya gugur sia-sia.

"DUNYO IKI SEDELO, EMAN LAK DILIWATNO TANPO OLEH OPO2, TANPO NGERTI OPO2, TANPO AWEH MANFAAT OPO2."

Humaniora, 01 Desember 2015
Meski di tengah beku Kota Malang, asaku harus senantiasa tercairkan.

2 comments:

  1. Hidup terlalu indah tuk tak berbuat...:) (Letto)

    ReplyDelete
    Replies
    1. dan yg dianggap indah itulah yg sering kali buat orang terlena. sehingga, meski secar fisik, nadinya masih berdenyut, tapi secara psikologi eksistensinya sudah hanyut. terbuai sepenggal keindahan semu.

      Delete