BERSIAP UNTUK SEGALA KEMUNGKINAN YANG TERBURUK
By: HISTISHA NR.
Jadwal penerbangan dari bandara Aman-Banyuwangi menuju
bandara Sentosa-Malang ditetapkan, pesawat Asri akan lepas landas tepat pukul
07.00 WIB. Untuk pemberangkatan kloter pertama, memiliki kuota 33 penumpang
dengan satu pilot dan tiga petugas.
Cerita berawal dari 33 calon penumpang pesawat Asri. H-1
pemberangkatan, 29 penumpang sudah mengantre sejak dini hari pukul 05.00 di
bandara Aman, dengan dalih takut tertinggal pesawat. Para penumpang ini sudah
menyiapkan dirinya untuk naik pesawat dan menikmati perjalanan yang
diperkirakan akan sangat menarik. Seorang penumpang lain, sebut saja “Aku”,
masih mengecek perbekalan dan persiapan untuk perjalanannya dan selama
di dalam pesawat. Sehingga dia baru tiba di bandara Aman tepat 30 menit sebelum
pesawat diterbangkan. Sebagai konskuensinya, dia harus berdiri di barisan
antrean ke 30. Sebab, tak seorangpun tidak menaati tata tertib mengantre ketika
pemberangkatan.
Jarum jam menandakan 15 menit tepat sebelum
pemberangkatan pesawat. Satu persatu calon penumpang memasuki pesawat kemudian
menempati kursi yang telah disediakan sesuai dengan nomor urut penumpang.
Datang dari pintu belakang, seorang petugas “paman Kritis” yang mengecek
kelengkapan penumpang untuk memastikan tidak ada penumpang yang tertinggal.
Ternyata, dari kuota 33 penumpang, masih terdapat tiga kursi kosong di bagian
belakang. Sementara waktu terus berlalu dan pesawat pun mulai meninggalkan
pijakannya dari dasar bumi.
Ketiga penumpang itu bernama, “Dia”, “Sibuk”, dan “Bersiap”.
Mereka masih memepersiapkan perbekalan yang dirasa belum cukup untuk melakukan
perjalanan.
Teng... teng... teng... teng... teng... teng... teng...
Detak jantung jam dinding yang menggantung di pintu masuk
bandara berdenting nyaring menandakan waktu menunjuk jam 07.00 tepat. Paman Pasrah
“pilot” menunaikan tugasnya untuk mengemudika pesawat Asri tersebut. Perlahan
pesawat membawa badannya menjauhi tanah dan terus meninggi di ambang udara.
Sepuluh menit lepas dari jam 07.00, tampak dari kaca
jendela pesawat, “Aku” menyaksikan tiga orang yang berlarian mengejar pesawat.
Pesawat yang sudah diterbangkan tidak mungkin akan diputarbalik hanya untuk
mengangkut penumpang yang tidak mempedulikan waktu. Meskipun “Dia”, “Sibuk”,
dan “Bersiap” sudah menyiapkan perbekalan banyak, bermandikan keringat karena
berlarian dari pintu gerbang bandara mengejar pesawat, semuanya tak lagi
berarti. Pesawat yang diperkirakan akan membawanya menikmati perjalanan yang
menyenangkan sudah terlebih dulu beranjak meninggalkannya. Tiket mereka hangus.
Mereka harus menunggu penerbangan selanjutnya, jika masih ingin menempuh
perjalanannya. Itu pun kalau masih ada rupiah tersisa di sakunya.
Nafas panjang terhelakan dari ketiganya. Keringat panas
dingin mengguyur tubuhnya. Rona wajah yang pucat pasi semakin memerah
terbanjiri air mata penyesalan.
Dia :
“Seandainya aku tidak sibuk berbekal kelewat lama, atau waktu yang tidak
seharusnya berlalu begitu cepat...?”
Sibuk :
“Seandainya aku bersiap jauh-jauh hari sebelum pemberangkatan...?”
Bersiap :
“Seandainya aku memperhatikan waktu pemberangkatan...?”
Hanya pengandaian dan pengandaian yang tersisa dari
ketiganya. “Aku” terus memandangi mereka hingga kabut menyekatnya.
Tiga puluh menit sudah pesawat berenang menyelami
angkasa. Mengepakkan sayap besinya menlintas di antara kawanan burung yang
sesungguhnya. Semua penumpang sedang disibukkan dengan santapan pagi yang
disediakan oleh ketiga petugas pesawat, “paman Kritis”, “paman Terburu-buru”,
dan “paman Tergesa-gesa”. Ditemani selebaran koran yang siap mengoyak pola
pikir pembacanya, “Aku” tampak duduk tenang melahap sajian di piringnya. Namun,
.....??? ”wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw...” tiba-tiba terdengar bunyi
alarm yang kemudian disusul oleh suara salah satu petugas pesawat (paman
Kritis). “Perhatian-perhatian, diumumkan untuk seluruh penumpang pesawat Asri
yang terhormat. Saat ini pesawat sedang dalam keadaan tidak aman, sehingga
harus melakukan pendaratan darurat. Karena di bawah adalah bentangan laut yang
luas, kemungkinan pesawat akan jatuh karam atau tertambat di perbukitan depan.
Segera bersiap untuk menyelamatkan diri kalian! Terimakasih.”
”Wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw,”
alarm berteriak semakin nyaring. Tanpa pikir panjang karena panik dan takut
mati, dari ketinggian 20 meter di atas air laut, 29 penumpang segera mengambil
antrean untuk menjatuhkan dirinya ke arah laut bersama dengan dua petugas
pesawat (“paman Terburuburu” dan “paman Tergesagesa”) yang notabene masih
berstatus magang. Di saat yang genting itu, hanya tersisa seorang penumpang
yang masih berada dalam pesawat, yang tak lain adalah “Aku”.
Sebelum menjatuhkan dirinya, sempat terekam perbincangan kecil
antara “Aku” dan paman Kritis yang tersisa menemani paman Pasrah.
Paman Kritis : “Hei,
Nak! Kenapa kamu tidak turut menjatuhkan dirimu ke laut?”
Aku :
“Aku?”
Paman Kritis : “Iya,
kamu. Kamu tidak takut pesawat ini akan jatuh dan kamu akan mati?
Aku : “Sebelum aku siap naik pesawat ini
untuk menikmati perjalananku, aku sudah lebih dulu menyiapkan diriku untuk
bersiaga jika terjadi kemungkinan terburuk dalam penerbangan ini.”
Paman Kritis :
“Maksudmu apa, Nak? Kau sudah siap mati?”
Aku :
“Bukan begitu, Paman. Segala sesuatu itu tercipata dalam sisi yang berlawanan.
Ketika aku siap naik, aku harus siap untuk jatuh. Dan aku sedang mempersiapkan
untuk menjatuhkan diriku sebagai upaya penyelamatan.
Paman Kritis :
“Lantas, kenapa kamu masih di sini? Bukannya itu berarti kamu tidak siap, Nak?”
Aku :
“Ini, Paman (sembari menyerahakan dua pelampung). Satu untuk paman petugas dan
satu lagi untuk paman pilot. Aku sedang memasang pengaman dan mengenakan
pelampung, Paman. Agar ketika aku jatuh, Air laut Sejuk di bawah tidak akan
mengunyahku dan mengaramkanku begitu saja.”
Percakapan terputus karena “Aku” menjatuhkan dirinya ke
laut segera, setelah “Aku”tahu jaraknya tinggal 10 meter. Paman petugas
tersentak dan masih tidak percaya dengan pesan-pesan penting yang keluar dari
mulut bocah seumuran “Aku” (katakan 15 tahunan).
Dengan jantung yang masih bergoyang seiring dengan
teriakan alarm yang semakin kencang, paman Kritis menghampiri paman Pasrah.
Tanpa banyak kata, paman Kritis mengajak paman Pasrah mengenakan pelampung dan
segera meninggalkan pesawat. Dengan sejuta tanda tanya tersimpan dalam bungkam
paman Pasrah, ia turut menjatuhkan diri bersama paman Kritis ke pelukan
dinginnya air laut Sejuk.
Selang beberapa menit, awak pesawat menabrak perbukitan
di bibir pantai dan hancur berpuing-puing. Ke29 penumpang dan kedua petugas
magang yang tergesa-gesa dan terburu-buru meluncur tanpa persiapan ditemukan
telah karam dan tewas. Sementara itu, paman Kritis, paman Pasrah, dan “Aku”
masih merebahkan diri dalam pelukan pelampung sembari menikmati sapuan ombak
laut Sejuk.
Angin bertiup dan tampak sangat bersahabat. Menggiring
ketiga penghuni pesawat yang masih tersisa menuju bibir pantai yang berlawanan arah
dengan perbukitan tempat pesawat Asri tertambat. “Aku” masih menikmati basuhan
lembut air asin dari samudera itu dan membiarkan tubuh kecilnya merebah di atas
kawanan pasir pantai yang menopangnya. Paman Kritis menarik tangan paman Pasrah
untuk bergegas menghampiri “Aku”. “Dia malaikat penyelamat kita.” Ucap paman Kritis
sembari menengok ke paman Pasrah. “Kau akan tahu setelah kita bercakap
dengannya.” Tambahnya. Paman Pasrah pun tak memberikan komentar dan bersabar
menahan rajutan pertanyaan yang menyesakkan kepalanya.
Paman Kritis meraih tubuh “Aku”dan memeluknya erat. Tak
lama kemudian, datang segerombolan Tim SAR setempat, warga sekitar pantai, dan
para wartawan yang menghampiri ketiga korban selamat dari kecelakaan pesawat
Asri tersebut. Sebagian Tim SAR yang lain memburu laut Sejuk untuk mengevakuasi
korban-korban yang karam. Semua yang datang mulai berfilsafat. Menghujani
ketiga korban tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengguyur tanpa jeda.
“Aku” masih hanya terdiam menikamati pemandangan sekitar yang datang dari ragam
warna rona muka orang yang mengerubunginya. “Setidaknya, kecelakaan ini memicu
banyak orang membuka jalan pikirannya.” Ucap “Aku” dalam benaknya.
Paman Pasrah mencoba mengambil bagian. Dia menenangkan
kericuhan suasana pasar yang mendadak mampir di bibir pantai laut Sejuk itu.
“Maaf, saudara-saudara sekalian. Jawaban yang kalian inginkan tidak akan didapatkan
melainkan kalian memberikan jeda untuk jawaban itu menempati posisinya.”
Aroma kuburan kemudian menyapu bibir pantai. Semua
terdiam dan hening, menantikan rajutan cerita sebagai jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan. “Lebih dari yang aku tahu beberapa
menit lalu, semua jawaban yang kalian harapkan ada pada cerita anak manis ini.
Oleh karena itu, silahkan lebarkan daun telinga dan buka mata hati kalian,
untuk menyimak apa yang kalian nantikan.” Paman Kritis meluruskan.
Paman Kritis : “Ayo,
Nak. Mulailah ceritamu! Semua yang di sini sudah tak sabar menunggu.”
Aku :
“Aku?” Ia kembali menyebut namanya. Tapi, tak seorangpun paham kalau itu adalah
namanya.”
Paman Kritis : “Ia”.
Aku :
“Aku adalah “Aku”. “Aku” adalah namaku. Orangtuaku selalu mengajarikau untuk selalu
bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang bisa datang kapan saja. Aku
juga diajari untuk melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan. Dengan begitu,
aku bisa berharap yang terbaik dari pemberian Tuhan. Sehingga, ketika aku
mendapatinya, aku tidak hanya bisa berlari tanpa pilihan dan putus asa, tetapi
aku punya tempat lain untuk bersinggah meneruskan kehidupanku yang
selanjutnya.”
Rangkaian bahasa singkat itu mewakili semuanya. Menyentuh
setiap pasang telinga yang terbisik olehnya. Pesan seorang bocah dalam
membingkai perjalanan hidup yang tampak panjang namun sejenak. Dari cerita ini,
seorang wartawan termotivasi untuk menulis di surat kabar dengan tema “Prepare
for The Worst, Do the Best, and Hope for The Best”.
LTPLM, 27 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment