Monday, November 2, 2015

BERSIAP UNTUK SEGALA KEMUNGKINAN YANG TERBURUK



BERSIAP UNTUK SEGALA KEMUNGKINAN YANG TERBURUK

By: HISTISHA NR.


Jadwal penerbangan dari bandara Aman-Banyuwangi menuju bandara Sentosa-Malang ditetapkan, pesawat Asri akan lepas landas tepat pukul 07.00 WIB. Untuk pemberangkatan kloter pertama, memiliki kuota 33 penumpang dengan satu pilot dan tiga petugas.

Cerita berawal dari 33 calon penumpang pesawat Asri. H-1 pemberangkatan, 29 penumpang sudah mengantre sejak dini hari pukul 05.00 di bandara Aman, dengan dalih takut tertinggal pesawat. Para penumpang ini sudah menyiapkan dirinya untuk naik pesawat dan menikmati perjalanan yang diperkirakan akan sangat menarik. Seorang penumpang lain, sebut saja “Aku”, masih mengecek perbekalan dan persiapan untuk perjalanannya dan selama di dalam pesawat. Sehingga dia baru tiba di bandara Aman tepat 30 menit sebelum pesawat diterbangkan. Sebagai konskuensinya, dia harus berdiri di barisan antrean ke 30. Sebab, tak seorangpun tidak menaati tata tertib mengantre ketika pemberangkatan.

Jarum jam menandakan 15 menit tepat sebelum pemberangkatan pesawat. Satu persatu calon penumpang memasuki pesawat kemudian menempati kursi yang telah disediakan sesuai dengan nomor urut penumpang. Datang dari pintu belakang, seorang petugas “paman Kritis” yang mengecek kelengkapan penumpang untuk memastikan tidak ada penumpang yang tertinggal. Ternyata, dari kuota 33 penumpang, masih terdapat tiga kursi kosong di bagian belakang. Sementara waktu terus berlalu dan pesawat pun mulai meninggalkan pijakannya dari dasar bumi.

Ketiga penumpang itu bernama, “Dia”, “Sibuk”, dan “Bersiap”. Mereka masih memepersiapkan perbekalan yang dirasa belum cukup untuk melakukan perjalanan.

Teng... teng... teng... teng... teng... teng... teng...

Detak jantung jam dinding yang menggantung di pintu masuk bandara berdenting nyaring menandakan waktu menunjuk jam 07.00 tepat. Paman Pasrah “pilot” menunaikan tugasnya untuk mengemudika pesawat Asri tersebut. Perlahan pesawat membawa badannya menjauhi tanah dan terus meninggi di ambang udara.

Sepuluh menit lepas dari jam 07.00, tampak dari kaca jendela pesawat, “Aku” menyaksikan tiga orang yang berlarian mengejar pesawat. Pesawat yang sudah diterbangkan tidak mungkin akan diputarbalik hanya untuk mengangkut penumpang yang tidak mempedulikan waktu. Meskipun “Dia”, “Sibuk”, dan “Bersiap” sudah menyiapkan perbekalan banyak, bermandikan keringat karena berlarian dari pintu gerbang bandara mengejar pesawat, semuanya tak lagi berarti. Pesawat yang diperkirakan akan membawanya menikmati perjalanan yang menyenangkan sudah terlebih dulu beranjak meninggalkannya. Tiket mereka hangus. Mereka harus menunggu penerbangan selanjutnya, jika masih ingin menempuh perjalanannya. Itu pun kalau masih ada rupiah tersisa di sakunya.

Nafas panjang terhelakan dari ketiganya. Keringat panas dingin mengguyur tubuhnya. Rona wajah yang pucat pasi semakin memerah terbanjiri air mata penyesalan.

Dia                  : “Seandainya aku tidak sibuk berbekal kelewat lama, atau waktu yang tidak seharusnya berlalu begitu cepat...?”

Sibuk              : “Seandainya aku bersiap jauh-jauh hari sebelum pemberangkatan...?”

Bersiap           : “Seandainya aku memperhatikan waktu pemberangkatan...?”

Hanya pengandaian dan pengandaian yang tersisa dari ketiganya. “Aku” terus memandangi mereka hingga kabut menyekatnya.

Tiga puluh menit sudah pesawat berenang menyelami angkasa. Mengepakkan sayap besinya menlintas di antara kawanan burung yang sesungguhnya. Semua penumpang sedang disibukkan dengan santapan pagi yang disediakan oleh ketiga petugas pesawat, “paman Kritis”, “paman Terburu-buru”, dan “paman Tergesa-gesa”. Ditemani selebaran koran yang siap mengoyak pola pikir pembacanya, “Aku” tampak duduk tenang melahap sajian di piringnya. Namun, .....??? ”wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw...” tiba-tiba terdengar bunyi alarm yang kemudian disusul oleh suara salah satu petugas pesawat (paman Kritis). “Perhatian-perhatian, diumumkan untuk seluruh penumpang pesawat Asri yang terhormat. Saat ini pesawat sedang dalam keadaan tidak aman, sehingga harus melakukan pendaratan darurat. Karena di bawah adalah bentangan laut yang luas, kemungkinan pesawat akan jatuh karam atau tertambat di perbukitan depan. Segera bersiap untuk menyelamatkan diri kalian! Terimakasih.”

”Wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw... wiuw,” alarm berteriak semakin nyaring. Tanpa pikir panjang karena panik dan takut mati, dari ketinggian 20 meter di atas air laut, 29 penumpang segera mengambil antrean untuk menjatuhkan dirinya ke arah laut bersama dengan dua petugas pesawat (“paman Terburuburu” dan “paman Tergesagesa”) yang notabene masih berstatus magang. Di saat yang genting itu, hanya tersisa seorang penumpang yang masih berada dalam pesawat, yang tak lain adalah “Aku”.

Sebelum menjatuhkan dirinya, sempat terekam perbincangan kecil antara “Aku” dan paman Kritis yang tersisa menemani paman Pasrah.

Paman Kritis : “Hei, Nak! Kenapa kamu tidak turut menjatuhkan dirimu ke laut?”

Aku                : “Aku?”

Paman Kritis : “Iya, kamu. Kamu tidak takut pesawat ini akan jatuh dan kamu akan mati?

Aku                : “Sebelum aku siap naik pesawat ini untuk menikmati perjalananku, aku sudah lebih dulu menyiapkan diriku untuk bersiaga jika terjadi kemungkinan terburuk dalam penerbangan ini.”

Paman Kritis : “Maksudmu apa, Nak? Kau sudah siap mati?”

Aku                : “Bukan begitu, Paman. Segala sesuatu itu tercipata dalam sisi yang berlawanan. Ketika aku siap naik, aku harus siap untuk jatuh. Dan aku sedang mempersiapkan untuk menjatuhkan diriku sebagai upaya penyelamatan.

Paman Kritis : “Lantas, kenapa kamu masih di sini? Bukannya itu berarti kamu tidak siap, Nak?”

Aku                : “Ini, Paman (sembari menyerahakan dua pelampung). Satu untuk paman petugas dan satu lagi untuk paman pilot. Aku sedang memasang pengaman dan mengenakan pelampung, Paman. Agar ketika aku jatuh, Air laut Sejuk di bawah tidak akan mengunyahku dan mengaramkanku begitu saja.”

Percakapan terputus karena “Aku” menjatuhkan dirinya ke laut segera, setelah “Aku”tahu jaraknya tinggal 10 meter. Paman petugas tersentak dan masih tidak percaya dengan pesan-pesan penting yang keluar dari mulut bocah seumuran “Aku” (katakan 15 tahunan).
Dengan jantung yang masih bergoyang seiring dengan teriakan alarm yang semakin kencang, paman Kritis menghampiri paman Pasrah. Tanpa banyak kata, paman Kritis mengajak paman Pasrah mengenakan pelampung dan segera meninggalkan pesawat. Dengan sejuta tanda tanya tersimpan dalam bungkam paman Pasrah, ia turut menjatuhkan diri bersama paman Kritis ke pelukan dinginnya air laut Sejuk.

Selang beberapa menit, awak pesawat menabrak perbukitan di bibir pantai dan hancur berpuing-puing. Ke29 penumpang dan kedua petugas magang yang tergesa-gesa dan terburu-buru meluncur tanpa persiapan ditemukan telah karam dan tewas. Sementara itu, paman Kritis, paman Pasrah, dan “Aku” masih merebahkan diri dalam pelukan pelampung sembari menikmati sapuan ombak laut Sejuk. 

Angin bertiup dan tampak sangat bersahabat. Menggiring ketiga penghuni pesawat yang masih tersisa menuju bibir pantai yang berlawanan arah dengan perbukitan tempat pesawat Asri tertambat. “Aku” masih menikmati basuhan lembut air asin dari samudera itu dan membiarkan tubuh kecilnya merebah di atas kawanan pasir pantai yang menopangnya. Paman Kritis menarik tangan paman Pasrah untuk bergegas menghampiri “Aku”. “Dia malaikat penyelamat kita.” Ucap paman Kritis sembari menengok ke paman Pasrah. “Kau akan tahu setelah kita bercakap dengannya.” Tambahnya. Paman Pasrah pun tak memberikan komentar dan bersabar menahan rajutan pertanyaan yang menyesakkan kepalanya.

Paman Kritis meraih tubuh “Aku”dan memeluknya erat. Tak lama kemudian, datang segerombolan Tim SAR setempat, warga sekitar pantai, dan para wartawan yang menghampiri ketiga korban selamat dari kecelakaan pesawat Asri tersebut. Sebagian Tim SAR yang lain memburu laut Sejuk untuk mengevakuasi korban-korban yang karam. Semua yang datang mulai berfilsafat. Menghujani ketiga korban tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengguyur tanpa jeda. “Aku” masih hanya terdiam menikamati pemandangan sekitar yang datang dari ragam warna rona muka orang yang mengerubunginya. “Setidaknya, kecelakaan ini memicu banyak orang membuka jalan pikirannya.” Ucap “Aku” dalam benaknya.

Paman Pasrah mencoba mengambil bagian. Dia menenangkan kericuhan suasana pasar yang mendadak mampir di bibir pantai laut Sejuk itu. “Maaf, saudara-saudara sekalian. Jawaban yang kalian inginkan tidak akan didapatkan melainkan kalian memberikan jeda untuk jawaban itu menempati posisinya.”

Aroma kuburan kemudian menyapu bibir pantai. Semua terdiam dan hening, menantikan rajutan cerita sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan. “Lebih dari yang aku tahu beberapa menit lalu, semua jawaban yang kalian harapkan ada pada cerita anak manis ini. Oleh karena itu, silahkan lebarkan daun telinga dan buka mata hati kalian, untuk menyimak apa yang kalian nantikan.” Paman Kritis meluruskan.

Paman Kritis : “Ayo, Nak. Mulailah ceritamu! Semua yang di sini sudah tak sabar menunggu.”

Aku                : “Aku?” Ia kembali menyebut namanya. Tapi, tak seorangpun paham kalau itu adalah namanya.”

Paman Kritis : “Ia”.

Aku                : “Aku adalah “Aku”. “Aku” adalah namaku. Orangtuaku selalu mengajarikau untuk selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang bisa datang kapan saja. Aku juga diajari untuk melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan. Dengan begitu, aku bisa berharap yang terbaik dari pemberian Tuhan. Sehingga, ketika aku mendapatinya, aku tidak hanya bisa berlari tanpa pilihan dan putus asa, tetapi aku punya tempat lain untuk bersinggah meneruskan kehidupanku yang selanjutnya.”

Rangkaian bahasa singkat itu mewakili semuanya. Menyentuh setiap pasang telinga yang terbisik olehnya. Pesan seorang bocah dalam membingkai perjalanan hidup yang tampak panjang namun sejenak. Dari cerita ini, seorang wartawan termotivasi untuk menulis di surat kabar dengan tema “Prepare for The Worst, Do the Best, and Hope for The Best”.

LTPLM, 27 Oktober 2015


No comments:

Post a Comment