Wednesday, August 26, 2015

(CERPEN) SYAHADAT ABADI

Terimakasih
Kepada:
Allah Swt yang telah memberikan kesempatan untuk mengabadikan karya kami dalam buku ini.
Rasulullah Saw yang telah merelakan seberkas cahaya-Nya menerangi hati dan akal kami.
Keluarga yang telah mengamanahkan tanggungjawab dan turut memohonkan kekuatan untuk kami menjalani masa studi.
Seluruh Dosen dan teman-teman Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (Tarjamah) 2012 “UIN Maliki Malang” yang telah membangun motif kami.
Seluruh Crew Ar-Ruzz Media yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi petuah dengan kami.


Sapa Tim Penulis

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahi rabbil ’alamin, senantiasa terlantunkan untuk mewakili rasa syukur kami atas keagungan nikmat Allah yang tiada terhitung oleh apapun. Allahummashalli wa sallim ’ala sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi, senantiasa terserukan untuk menyapa Nabiyullah Muhammad Saw yang telah menunjukkan jalan terang untuk seluruh alam.

Sebuah karya sastra hakikatnya adalah bagian dari tafsiran ayat yang tersurat untuk menggambarkan keagungan Allah atas penciptaan alam semesta. Atau karya sastra tidak lain adalah ayat itu sendiri, yang masih membutuhkan multitafsir untuk memahaminya. Karenanya, seniman dan sastrawan yang baik adalah yang mampu membaca (tafsiran) ayat dan mengekspresikannya dalam karya yang dibuatnya.

Antologi cerpen dan puisi yang terkumpul dalam buku ini adalah tulisan kami sebagai pemula. Sebagai mahasiswa jurusan Sastra yang belajar bermain dengan kata-kata dan menyusunnya untuk dinikmati khalayak ramai. Tim penulis yang memiliki perbedaan latar belakang dan motif berimbas pada perbedaan tema dari setiap cerpen maupun puisi di buku ini. Akan tetapi, justru hal itu memperindah karya kami dengan warna-warni tema juga ragam bahasa yang tersaji. 

Semoga apa yang tergores di buku ini dapat menjadi saksi kami mempelajari keagungan ayat-ayat Allah yang terserak di alam semesta. Antologi ini semoga menjadi motivasi kami untuk terus belajar berkarya dan memberikan petuah untuk para penikmatnya.

Inspirasi yang tergapai dan imajinasi yang terukir di buku ini tak luput dari kekeliruan. Oleh sebab itu, kami terbuka menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman. 

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ganbatte!
Yogyakarta, September 2015

Penulis


"Ini adalah cerpen pertamaku setelah mengenyam bangku sastra. Sebelumnya sekali aku menulis cerita. sayang tak terarsipkan. Berabgkat dari kisah nyataku ketika jelang akhir SMP. Itu pun aku tulis karena tugas bahasa Indonesia.
Kali ini meskipun aku menulisnya juga sedikit terpaksa, karena tugas pastinya, insyaalloh ini lebih inspiratif. Mohon saran dan kritiknya dari pembaca. Terimakasih atas kerja samanya."






Syahadat Abadi

Menjadi sosok gadis berparas jelita, terkadang membuat seseorang lalai. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku pada gadis yang satu ini. Panggilannya Fibri, gadis tiga belas tahun dengan kecerdasan yang wah dibandingkan teman sebayanya.

Selain mahir di bidang sains, Fibri juga memiliki kecerdasan berbahasa luar biasa. Membaca dan menulis adalah hobi yang sangat menyenangkan buat sosok Fibri. Hampir setiap hari yang dijejakinya tak pernah dia lewatkan. Semuanya dia catat rapi dalam buku diarinya. Bisa dibilang buku itu adalah gambaran sosok Fibri. Ceritanya saat senang, sedih, tawa, tangis, semuanya ada. Bahkan, tak hanya pujiannya pada Tuhan yang ditulisnya saat bahagia, tapi juga cacian dan gerutunya pada Tuhan pun tergores ketika dia merasa putus asa.

Di sebuah pondokan sederhana dari kayu, Fibri hidup bahagia dengan kakak laki-lakinya, Nova (tujuh belas tahun) dan neneknya. Kedua orangtuanya yang meninggal sejak mereka masih kecil menjadikan mereka terbiasa hidup mandiri. 

Satu set ruang perpustakaan keluarga yang dipenuhi buku beraneka tema menjadi warisan paling berharga buat mereka. Hari libur sekolah adalah momen khusus bagi mereka untuk mengorek isi buku-buku di sana. Selain buku-buku itu membantu mengerjakan tugas sekolah mereka, banyak pengetahuan baru yang bisa mereka dapatkan secara cuma-cuma, meskipun belum diajarkan di sekolah. Jadi, tak heran jika kepandaian dan pola pikir mereka berbeda dari teman sebayanya. 

Ruang balok kayu itu menjadi sumber inspirasi bagi Fibri. Sejak duduk di bangku akhir SD dia sudah mulai menulis puisi, esai, dan kadang juga cerpen. Sementara itu, Nova selain menulis karya-karya ilmiah dia juga berperan sebagai editor dan layouter untuk tulisan adeknya. Awalnya, tulisan-tulisan mereka hanya dimuat di mading sekolah. Beberapa kali Fibri juga diminta untuk membacakan puisi dan cerpennya di siaran radio sekolah. Tak jarang mereka mendapatkan uang saku dari tulisannya itu. Jadi, uang jatah jajannya bisa ditabung untuk kebutuhan yang lain.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Nova dan Fibri bekerja menjadi pelayan di warung makan selepas pulang sekolah. Pekerjaan itu mereka tekuni menggantikan posisi nenek yang mulai renta. Kehidupan yang sederhana ini tak pernah membuat mereka jera. Bagi mereka kehidupan seperti ini adalah petualangan penuh tantangan yang memberikan arti dan semangat baru untuk hari-hari mereka.

Hari libur pekan ini tak seperti biasanya. Gumpalan awan menyelimuti atap bumi. Sesekali kilat menyambar disertai suara guntur. Air mata Mikail perlahan mulai menetes memandikan bumi. Hal itu tak menggeser aktivitas Nova dan Fibri sedikit pun. Mereka menghabiskan harinya bersama buku-buku di perpustakaan. Sebab, tak ada alasan apapun untuk mereka absen dari sana. Sembari ditemani lantunan musik lokal dan seduhan kopi, keduanya menyusun percakapan kecil.

“Kakak, menurut kakak Tuhan itu bagaimana? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?” Fibri melontarkan pertanyaan dengan tiba-tiba.

“Tidak”, jawab Nova singkat.

“Bukankah Tuhan itu Maha Pencipta? Dia yang menciptakan segalanya. Tapi kenapa kakak menjawab tidak? Lantas bagaimana dengan kejahatan yang ada di bumi ini, siapa yang menciptakan?” Fibri terus bertanya penasaran.

“Adek kan pandai pelajaran sains. Sebelum kakak menjawab pertanyaan itu kakak mau bertanya. Adek sudah mempelajari Kalor kan?” Nova mencoba mengajak berpikir Adeknya.

“Kalor? Iya, kalor itu panas”. 

“Betul sekali, wah pintar adek kakak yang cakep ini (sambil mengacungkan jempolnya ke arah Fibri. Fibri pun tersipu bangga). Lawannya panas apa?”

“Dingin lah, Kak”.

“Satu lagi, adek sudah belajar tentang cahaya?”

“Beres kakakku...” (sembari mengacungkan dua jempolnya). “Kenapa, Kak?”

“Adek tahu kan cahaya itu membuat terang, lawannya terang itu apa?”

“Jawabannya pasti gelap, iya kan?” (sambil mengacungkan pena).

Bagus. Nah, sekarang coba adek amati kenapa di Fisika itu yang dipelajari panas dan cahaya, kenapa bukan dingin dan gelap? Skala ukurannya juga memakai panas dan cahaya sebagai patokannya. Kira-kira jawaban yang tepat menurut adek, kenapa demikian?” Nova memancing kreativitas otak adeknya.

Setelah diam sejenak, Fibri pun menjawab dengan lantang sembari beranjak menuju papan tulis. “Aku tahu jawabannya. Panas dan cahaya itu menjadi patokan ukuran dalam Fisika. Keduanya sangat diperhitungkan secara matematis. Dan ketiadaan keduanya lah yang menyebabkan adanya dingin dan gelap. Jadi sebenarnya yang ada itu panas dan cahaya. Dingin dan gelap itu baru ada ketika tidak adanya panas dan cahaya.” (bergaya mengajar)

“Artinya?” Nova menyerobot, karena dia yakin dengan kemampuan logika adeknya.

“Emmm...” (sambil mengetuk-ngetukkan boardmaker yang dipegangnya ke papan tulis). 

“Aku tahu” (spontan membalik dan menodong ke arah Nova). “Tuhan itu hanya menciptakan kebaikan dan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan itu ada karena kita meniadakan kebaikan, iya kan, Kak?”

“Cerdasss! Kamu tahu tidak, teka-teki seperti ini juga pernah dipecahkan oleh Einstein?” (Sebuah ungkapan untuk memuji adeknya). 

“Wow... kalau begitu ketika adek meninggalkan kejahatan artinya adek sama saja berbuat kebaikan dong!” Nova mengangguk dengan senyum manis terlukis di bibirnya. 

Percakapan-percakapan antara Nova dengan Fibri memang tak seperti yang dilontarkan kebanyakan anak sebaya mereka. Sebab, keduanya memang dibesarkan dengan cara berbeda oleh orang yang berbeda pula (nenek). 

Tak terasa atap bumi yang kelabu semakin gelap, mengisyaratkan petang akan segera membayang. Keduanya beranjak keluar ruangan. Setelah memenuhi kebutuhan masing-masing, kini saatnya mereka merawat dan menemani nenek tercinta.

“Nenek... Aku datang”. Fibri berlari mendahului Nova menghampiri kamar nenek. “Yeee... Kak Nova kalah, aku menang lagi.” Nova lagi-lagi hanya melukis senyum di bibirnya.

“Nenek-nenek, kenapa Aku dan Kak Nova harus rajin membaca dan menulis? Bukankah akan lebih singkat jika diutarakan dengan bahasa lisan daripada tulisan?” Tanya Fibri merajuk memeluk nenek yang terbaring di kasur.

“Membaca itu perintah Tuhan”. Sahut Nova yang sedang berjalan menuju kamar nenek sembari membawa nampan berisi makan malam nenek.

“Itu mah aku tahu, Kakak. Tapi alasannya, apa, kenapa? Tuhan selalu menciptakan sebab dan kita yang harus mencari alasannya. Karena itulah aku menjadi banyak bertanya”. Fibri melakukan pembelaan.

“Membaca itu memang perintah Tuhan. Tapi, manfaat membaca itu sama sekali bukan untuk Tuhan, melainkan untuk orang-orang yang mau mengerjakannya. Kitab suci agama kita, Al-Qur’an berisi firman Tuhan yang disampaikan dalam bentuk tulisan, kalau kita tidak membacanya maka kita tak akan pernah tahu yang Tuhan tunjukkan untuk kita. Di sana terdapat peta dan kompas yang harus kita baca agar kita bisa sampai pada Tuhan. Itulah mengapa membaca menjadi aktivitas yang sangat urgen”.

“Tapi, kalau sudah ada tulisan berisi informasi yang beragam di dalam Al-Qur’an, kenapa kita masih harus menulis?” Tanya Fibri mendesak.

“Adek ini bertanya seperti mengintrogasi penjahat saja. Sabar dong... biarkan nenek menghela nafas dulu.” Nova menggoda adeknya yang sedang memasang muka serius.

“Kakak ini, ah menganggu saja! Aku tahu kakak sudah tahu jawabannya karena kakak dulu juga pasti pernah menanyakan pertanyaan yang sama pada nenek, iya kan?” Sahut Fibri membalas godaan kakaknya.

“Ih sok tahu. Dengerin tuh jawaban nenek!”

“Ne...”

“Iya, kakakmu Nova memang sudah pernah bertanya hal yang sama sebelumnya. Kalian nenek biasakan untuk membaca dan menulis itu bukan karena untuk nenek atau siapapun melainkan untuk kalian sendiri. Di dalam Al-Qur’an memang sudah memuat tulisan-tulisan berisi informasi. Namun, informasi di sana hanya tersurat secara global. Karena itu, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci dibutuhkan tulisan-tulisan lain. Itu juga yang menjadi alasan dituliskannya Al-Hadits dan buku-buku yang lain.”

“Sudah berapa banyak buku yang adek lucuti di perpustakaan?” Nova tiba-tiba menyela.

“Kenapa kak Nova tiba-tiba bertanya itu?”

“Tidak, kakak hanya mau menambahi jawaban nenek. Buku-buku yang ada di ruang balok kayu dan buku-buku lainnya itu sebenarnya berupa tulisan yang menjelaskan rincian kitab suci kita, Al-Qur’an. Sekalipun sampulnya bertuliskan Fisika Klasik Newton, Kimia, Psikologi, dll. seperti yang adek baca, sebenarnya itu adalah representasi dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bertebaran di muka bumi. Semua itu dikemas dengan bahasa yang lebih mudah dan disertai penjelasan yang lebih rinci oleh ilmuwan-ilmuwan agar memudahkan kita memahami isinya. Dengan demikian, kita akan mengerti dan mengenali keagungan Tuhan lebih dekat.”

“Ya-ya-ya, Adek paham”. Sambil mengangguk-angguk. “Berarti harus semakin rajin lagi membaca dan menulisnya, agar adek senantiasa dekat dengan Tuhan”.

Hari demi hari berganti. Minggu demi minggu berlalu. Tanpa diduga, tanpa disangka. Dalamnya sumur dapat diukur, panjangnya umur siapa tahu. Nenek meninggal dunia di pembaringannya. Nenek pergi dengan raut muka tersenyum (karena telah berhasil membesarkan pemikir-pemikir besar dengan ide-ide besar, Nova dan Fibri).

Mujur tak dapat diundang, malang tak dapat ditolak. Kesedihanpun menghampiri Nova dan Fibri. Kalimat terakhir yang selalu menjadi amanat buat mereka, jadilah orang yang bisa memberikan manfaat untuk yang lain. Berpikirlah tentang hal yang besar, mulailah dari hal yang kecil, dari sekarang. Berpikirlah unutk hal yang akan dikerjakan, dan selesaikan!

Kini keduanya tak lagi ditemani seorang wali pun. Bagi Fibri, Nova adalah satu-satunya keluarga yang dia punya, satu-satunya ruang untuk berbagi suka dan duka bersama. Nova tak hanya seorang kakak yang bijak tapi juga ayah sekaligus ibu untuk Fibri.

Sepekan usai kepergian nenek, Nova dan Fibri kembali melakukan rutinitas masing-masing. Meski merasakan beberapa perbedaan, keduanya berusaha melakukan sebaik mungkin. Seperti apapun suasana hatinya, aktivitas mereka tetap harus dipenuhi. 

Waktu yang biasa mereka gunakan merawat nenek, kini dialihkan untuk bekerja paro waktu (pukul 15.00-20.00 WIB). Sementara selepas sekolah, mereka beralih merawat kebun di belakang pondokan kayu itu. Jam belajar mereka tak sedikit pun berkurang di malam harinya. Malah, di tahun ke dua Fibri (duduk bangku SMP), dia sudah mulai axis menembus media massa dengan tulisan kreatifnya. Begitu pula dengan Nova yang saat itu duduk di bangku akhir SMA. Sudah banyak karya mereka yang dimuat di koran, majalah dan buletin. Selain itu, Fibri dibantu Nova juga aktif menulis di blog pribadi yang mereka kelola bersama.

Meskipun sebenarnya Fibri sangat sedih ditinggal neneknya, dia tak pernah lalai melaksanakan tanggung jawabnya. Diarinya akhir-akhir ini penuh dengan catatan air mata. Tak hanya itu, suasana hatinya juga berdampak pada tema tulisan-tulisannya. Nova sebagai editor berusaha menyeimbangkan tulisan adeknya yang berisi ratapan itu dengan membubuhkan kalimat-kalimat motivasi di bagian akhir.

“Terkadang apa yang terjadi tak sesuai dengan yang kita rencanakan dan harapkan. Akan tetapi, pilihan Tuhan adalah yang terbaik. Tak ada yang perlu disesali. Problematika yang menghampiri kita sebenarnya tidak untuk dicaci- maki melainkan untuk dihadapi. Agar kita bisa lebih dewasa dan senantiasa mengingat Tuhan. Nenek selalu mengajari kita untuk tidak hanya bisa mengeluhkan masalah yang menyapa tapi harus menjadi sosok yang solutif menghadapinya.” (Ucap Nova mencoba menghibur sembari mengelus kepala adeknya). 

“Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Jika dahan pohon itu rapuh, maka dia akan mudah tumbang.” Fibri menyahut kata-kata kakaknya sembari berbalik memeluk tubuh kurus Nova. “Keep fighting and keep smiling. Thanks so much and much my angel. Adek sudah siap untuk menghadapi lembaran baru kita”. Tambahnya penuh semangat, meskipun masih ada sisa tetesan air mata di pipinya. Nova memeluknya erat dan menghapus air matanya.

Tulisan Fibri dan Nova mulai menunjukkan banyak reaksi dan respon dari berbagai kalangan. Tak hanya anak-anak sebaya mereka tapi juga para orangtua. Terlebih cerita kehidupan keluarga yang mereka rangkai dengan bahasa inspiratif nan cantik, yang diupload di blog berjudul Lovely Family. Belum lagi dengan karya-karya ilmiah Nova yang mengentaskan kematian otak dalam berlogika.

Kali ini, Fibri dan Nova mendapati tantanagn baru. Banyaknya viewer dan follower yang menyukai tulisan di blognya berujung pada tawaran menerbitkan buku. Fibri sebagai penulis utama diminta untuk menulis buku yang bisa dinikmati banyak orang. Fibri pun mulai gelisah memikirkan calon tulisannya.

Ketika berkebun di belakang pondokan kayu Fibri melontarkan curhatan pada kakak tercintanya.

“Kakak, menulis memang hobiku. Dengan menulis aku bisa bertanggung jawab untuk menyampaikan apa yang aku tahu pada orang lain. Kakak juga pernah bilang, kalau tulisan itu mampu menjelaskan rincian ayat-ayat Tuhan.” Fibri mencoba membuka percakapan.

“Kamu benar, Dek. Tapi kenapa dengan raut mukamu? Lagi mikirin apa?”

Fibri terdiam agak lama kemudian mulai berkata, “Aku mendapat tawaran menulis buku dan itu akan diterbitkan”.

“Wahhh... bagus itu. Seperti biasa kakak akan membantumu mengedit teks dan bagian layoutnya.” Nova merespon dengan penuh semangat.

“Tapi, Kak...??? Aku bingung mau nulis apa. Lagian kakak juga punya banyak tugas sekolah kan?!”

“Oh, itu bukan maslah.” Nova menghela nafas. “Seperti katamu, menulis adalah hobimu. Menulis adalah bentuk tanggung jawab untuk menyampaikan apa yang kita tahu pada orang lain. Karena itu, tulislah sesuai kata hatimu. Tuhan pasti menunjukkan yang terbaik. Sebuah tulisan memiliki umur yang lebih panjang dari umur kita. Apalagi dalam bentuk buku. Itu bisa menjadi syahadat abadi yang senantiasa menjadi teman kita menghadap Tuhan. Meskipun raga kita sudah terlelap di kolong bumi nanti, selama tulisan kita masih dinikmati dan menginspirasi orang, selama itu pula jiwa kita tetap hidup dan senantiasa bersyahadat atas keagungan Tuhan. Adek masih ingat pesan nenek kan?! Be usefull one. Think big, start small at now. Thihk to do and do to finish.”

“Ne... I see. Kamsahamnida, Oppa”. Sambil berekspresi layaknya artis Korea dan memeluk kakaknya.

“Do the best, hope for tehe best and prepare for the worst”. Nova dan Fibri meneriakkan kalimat itu bersamaan dengan bergandengan tangan penuh semangat dan bersiap untuk memulai tugas baru mereka.

Yogyakarta, Agustus 2015


(힛티차)
HISTISHA








Biografi Penulis

HISTISHA NR (힛티차), seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab yang dilahirkan di bumi Banyuwangi 1994 M. Dia tak banyak mencicipi karya sastra sebelumnya. Sebab, dia memilih Sastra dengan dalih sebagai pelampiasan kejenuhannya terhadap deretan angka dan rumus-rumus matematis di dunia Sains. Sebuah pilihan tak dapat dinafikan atas konsekuensi yang mengekornya. Karena itu lah, mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus mulai membiasakan dirinya bergumul dengan dunia barunya, Sastra. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa dia masih memeluk erat dunia Sains untuk mewarnai harinya.

Sebuah antologi puisi berjdudul Orgasme “2015” adalah kesempatan pertamanya menorehkan tinta di sebuah buku karya sastra bersama sembilan teman lainnya. Baginya, bersastra tak hanya bisa dilakukan dengan menulis. Akan tetapi, menulis bisa menjadi bagian langkahnya untuk bersastra. Ketidakpunyaannya akan skala estetika sebuah karya sastra tak membuatnya enggan dan undur diri. Sebab, masing-masing orang memiliki skalanya yang berbeda-beda. Hal itu akan tampak pada goresan tinta dalam karyanya dan juga apresiasinya terhadap sebuah karya.

Think Big, Start Small at now. Memulai dengan merangkai kata-kata sederhana dan menjejakkan noktah yang bermakna. Inilah langkah awal yang dipilihnya untuk mengentaskan kematian otaknya.

탁 아다 아라산 운툭 블흔티 므라구간 양 틀바익, 그바이간 아다랗 자란 틀바익 므누주 투한
“Tak Ada Alasan untuk Berhenti Melakukan yang Terbaik, Kebaikan Adalah Jalan Terbaik Menuju Tuhan”


Sajak Persuasif



Sajak Persuasif
2015

Jika gelap itu tiada
Mungkinkah cahaya itu berharga?
Jika si papa tak pernah tercipta
Mungkinkah si kaya terukir namanya?
Jika luka itu tak pernah terasa
Bagaimana mungkin bisa menikmati bahagia?

Sudahlah
Jangan hanya bisa mengeluh!
Jangan hanya bisa mengaduh!
Kau hanya tak tahu kalau kau tak tahu
Kau hanya tak paham kalau kau tak paham

Karena-Nya
Cari tahu lah!
Pahamilah!
Dekat dengan-Nya
Membuatmu lebih bersahaja

Rangkaian Kata Tak Bertema



Rangkaian Kata Tak Bertema
2015

Kata di sebuah drama
Kegelapan tak dapat mengusir kegelapan
Hanya cahaya yang bisa mengusirnya
Benci tidak bisa mengusir kebencian
Hanya cinta yang bisa mengusirnya

Kata di jendela motivasi
Berbagi cerita duka
Dapat mengurangi lara
Berbagi cerita ceria
Dapat memperpanjang bahagia

Kata seorang pak guru
Bagaimana mungkin kau mengecam orang
Dengan dalih dia tak beriman
Sementara dia selalu berbuat kebaikan
Dia tak pernah melakukan kejahatan
Hukum mana yang kau pakai?
Apa kau tak paham begitu banyak cabang iman?
Urusan iman itu biarlah menjadi urusannya dengan Tuhan
Selagi urusannya dengan sesama tak bermasalah
Janganlah kau berulah!
Kau itu bukan Tuhan

Kataku
Semua berhak berbahasa
Menyapa Tuhan dengan bahasanya
Aku tak berhak menghakimi iman seseorang
Aku pun tak paham betul di posisi mana imanku
Tak apa kau tak suka aku
Apapun yang dikatakan
Yang terbaik adalah bersama Tuhan