INDAHNYA PERBEDAAN
Sedari kecil, saya menemui banyak sekali
perbedaan yang ada di sekitar saya. Mulai dari perbedaan fisik, gaya berbahasa,
dan cara bersikap dalam anggota keluarga. Di sekolah, saya dan teman-teman pun
memiliki keberagaman karakter. Jadi, bisa dipastikan semua yang ada di dunia
ini dipenuhi dengan hal yang berbeda satu sama lain.
Setiap makhluk Tuhan diciptakan
berpasang-pasang. Artinya, setiap pasangan itu terdiri dari dua hal berbeda
yang disandingkan oleh Tuhan menjadi satu pasangan yang saling melengkapi.
Misalnya, ada laki-laki dan perempuan, panjang dan pendek, tinggi dan rendah, kurus
dan gemuk, baik dan buruk, dll.
Dalam fenomena yang sedikit rumit, mengarah
pada keberagaman kebudayaan. Setiap daerah tentu didominasi oleh kebudayaannya
masing-masing. Hal itu bisa berupa bahasa daerah dan gaya berbahasanya,
adat-istiadat dalam bersosialisai, makanan khas, lagu daerah dan tariannya,
dll.
Sebagai contoh, saya menghadirkan dua daerah yang
berbeda, yaitu Banyuwangi yang terletak di ujung timur Jawa Timur dan
Yogyakarta yang terletak di Jawa Tengah. Keduanya memiliki banyak perbedaan meskipun
sama-sama berada di satu pulau, yakni pulau Jawa.
Di tanah kelahiran saya, Banyuwangi, terdapat
bahasa daerah yang dikenal dengan bahasa Osing. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat
di sana menggunakan bahasa Osing dalam bersosialisasi sehari-hari. Beberapa
masyarakat Banyuwangi di bagian barat dan masyarakat di sekitar pesisir pantai
bahkan menggunakan bahasa Madura. Ada pula yang menggunakan bahasa Jawa asli.
Hal itu berlaku pada masyarakat yang tinggal di bagian tengah, seperti keluarga
saya.
Untuk tari tradisional yang terkenal di
Banyuwangi adalah tari Gandrung. Seperti layaknya sebuah negara kecil,
Banyuwangi pun memiliki lagu kebangsaan, yaitu lagu daerah berjudul Umbul-umbul
Belambangan. Lagu ini dilantunkan mengiringi perayaan hari jadi Banyuwangi
dan perayaan-perayaan lainnya. Sementara itu, beberapa rilisan album di
sana selain menggunakan bahasa khas Banyuwangi, Osing, ada pula yang
menggunakan bahasa Jawa Asli.
Masyarakat di Banyuwangi setahu saya lebih
menyukai masakan yang rasanya pedas dan gurih. Sementara rasa manis hanya bisa
ditemui dalam minuman, kolak dan juga beberapa jenis kue
tertentu.
Beralih ke Yogyakarta. Masyarakatnya menggunakan
bahasa Jawa asli dalam bersosialisasi sehari-hari. Hal ini sejauh yang saya
tahu selama PKL dan ketika tour lima tahun yang lalu. Bahasa yang
digunakan meskipun sama-sama bahasa Jawa asli, tapi masyarakat Yogyakarta lebih
lembut dalam bertutur kata daripada masyarakat Banyuwangi.
Di bidang kesenian, saya belum mengenali tari
tradisional maupun lagu daerahnya. Akan tetapi, saya menemui banyak pasar yang
menjajakan batik dan beraneka kerajinan tangan. Biasanya, para wisatawan lokal maupun
mancanegara memanfaatkannya sebagai wana untuk mendapatkan buah tangan
khas Yogyakarta. Meskipun di Banyuwangi juga memproduksi batik, tapi keduanya
memiliki kekhasan masing-masing.
Adapun untuk masakan khas Yogyakarta,
masyarakat Yogya lebih menyukai yang manis-manis. Hal itu tampak dari cita rasa
yang disajikan hampir di semua menu masakan. Mulai dari aneka makanan, minuman
dan kue, hampir semuanya didominasi rasa manis. Bisa jadi hal itu yang membuat
masyarakat Yogya lebih lembut dalam bertutur kata.
Selain beberapa perbedaan tersebut, gaya hidup
yang berbeda pun turut menjadi bagian dari pengamatan saya. Perbedaan ini
tampak begitu jelas karena mungkin di Banyuwangi saya tinggal bersama
masyarakat pedesaan, sedangkan di Yogyakarta saya tinggal bersama masyarakat
perkotaan.
Di Banyuwangi, makanan bisa didapat dengan
mudah tanpa harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak, karena
masyarakatnya lebih suka memakan masakan sendiri. Jadi, sangat jarang ditemui
jajaran warung yang menjajakan masakan dan jajanan, kecuali di area pasar.
Sementara itu, di Yogyakarta saya melihat
banyak warung berjajar di tepian sepanjang jalan. Di sana dijajakan makanan
maupun jajanan dengan harga yang lumayan merogoh kantong ukuran mahasiswa
layaknya saya. Hal ini bisa jadi karena masyarakat Yogya memiliki keterikatan
dengan jam kerja yang cukup padat, sehingga sebagian besar lebih menyukai
masakan-masakan praktis. Artinya, mereka tidak harus meluangkan waktu untuk
memasak namun tetap bisa mendapat suplai energi sesuai yang dibutuhkan. Sebagai
gantinya, mereka memberikan imbalan seharga makanan atau jajanan yang
dibutuhkan sekaligus membayar jasa pembuatnya.
Masyarakat di area perkotaan cenderung
individualis dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. Bagaimana tidak,
hampir semua kegiatan dilaksanakan secara bersamaan atau bergotong-royong di
area pedesaan, seperti di daerah saya, Banyuwangi. Misalnya, kerja bakti
bersih desa, ngayah jalan, membangun rumah, masjid, dan pasar, dll.
Bahkan, ketika ada seorang tetangga yang sakit dan terpaksa harus dirawat di
rumah sakit, tidak hanya dari pihak keluarga saja yang bergantian menunggu pasien
tetapi juga dari tetangga dan kerabat lainnya turut menjenguk dan bergantian
menunggu tanpa ada sistem honorisai.
Akan tetapi, di area perkotaan, seperti
Yogyakarta hal itu sangat sedikit sekali dipraktikkan. Sudah ada para petugas
berseragam khusus yang setiap pagi membersihkan sampah-sampah di tepi jalan.
Pembangunan rumah, jalan dan pasar pun sudah memiliki arsitektur beserta
seperangkat pekerja yang siap menyelesaikan tugasnya sesuai batas waktu dan
honor yang telah disepakati. Di sinilah tampak adanya kerentangan di tengah
masyarakat Yogya dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan di
sekitar.
Hal yang demikian hanya seberkas perbedaan
secara garis besar yang bisa saya amati, mengenai fenomena perbedaan antara
masyarakat pedesaan di Banyuwangi dengan masyarakat perkotaan di Yogyakarta. Selebihnya,
perbedaan adalah hal yang wajar dan normal. Secara hukum alam perbedaan itu
memang harus ada. Sebab, hal itu dapat membantu kerja otak untuk mengenali
apapun yang ada di alam semesta ini.
Bayangkan, ketika Tuhan hanya menciptakan satu
jenis makhluk yang sama persis tanpa ada perbedaan sedikit pun. Kira-kira apa
yang akan terjadi? Atau contoh sederhana, ketika Anda dihadapkan dengan sepuluh
mahasiswa yang sama persis. Mulai dari ukuran tinggi badan, seragam yang
dikenakan, aktivitas yang dikerjakan, dan juga kualitas produk yang dihasilkan.
Sementara itu, Anda harus memilih satu yang terbaik di antara mereka. Kira-kira
hal seperti itu memudahkan Anda untuk memilih atau malah mempersulit?
Jawaban yang pasti adalah Anda akan merasa
kesulitan untuk menentukan pilihan Anda. Tuhan lebih tahu akibat dari segala
yang Dia putuskan. Karena Tuhan tidak memiliki sikap jahat dan sama sekali
tidak berniat melakukan kejahatan dengan mempersulit hamba-Nya. Maka Tuhan pun
menunjukkan kuasa-Nya. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan sebuah
perbedaan. Dengan begitu, seorang hamba akan lebih mudah mengenali apa-apa yang
tercipta di alam semesta. Sehingga dia mampu merujuk pada kuasa Tuhan yang haqq.
Perbedaan bukan satu alasan terjadinya
perpecahan. Akan tetapi, perbedaan adalah celah di mana Tuhan menginjeksikan
noktah cinta-Nya yang tiada tara. Bayangkan, ketika sepasang suami-istri itu adalah
dua orang yang sama secara fisik maupun psikisnya. Perempuan dengan perempuan, laki-laki
dengan laki-laki, dan sejenisnya. Yang terjadi bukanlah keharmonisan melainkan
kebobrokan, bahkan untuk merencanakan generasi penerus bangsa. Mugkin itu
adalah setitik alasan kenapa Tuhan menciptakan perbedaan.
Contoh lain adalah pelangi. Semua tahu pelangi
itu terdiri dari tujuh warna cahaya, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru,
nila, dan ungu. Ketujuh warna tersebut bersandingan sehingga terlihat begitu
cerah ketika hujan reda di tengan cuaca yang panas. Misalnya ketujuh warna itu
dipisahkan satu persatu, apakah masih disebut pelangi? Tentu tidak.
Keindahannya pun juga berkurang. Apalagi jika hanya ada satu warna di dunia
ini. Tentunya akan menjemukan.
Tahukah Anda, bahwa pelangi yang indah dengan
tujuh warnanya itu hanyalah biasan dari cahaya putih saja? Hal ini tidaklah
berbeda dengan fenomena minor maupun mayor yang sering kali kita jumpai di alam
semesta ini. Meski semuanya tampak memiliki perbedaan, semuanya hanya berasal
dari satu hal. Islam menyebutnya dengan nuur Muhammad Saw.
Sementara itu, dunia ilmiah sains menyebutkan
hukum cahaya yang terus berputar dengan perputaran lambat maka akan membentuk
materi. Jika dianalogikan cahaya itu adalah Nabi Muhammad Saw. maka kita lah
bagian dari percikan cahaya-Nya yang mengalami sedikit kelambatan perputaran
atau pergerakan. Karena kita berasal dari hal yang sama, perbedaan bukanlah
sekat untuk kita membangun integritas antar sesama. Layaknya perbedaan cahaya
yang mampu membentuk pelangi sehingga lebih indah dipandang mata. Kita pun
pasti bisa bersanding dengan orang-orang di sekitar kita, tanpa memandang
perbedaan suku bangsa, ras, agama, budaya, dan lainnya untuk merealisasikan
cinta Tuhan Yang Maha Pengasih.
Betapa indahnya perbedaan hanya bisa dirasakan
oleh hamba-Nya yang mampu memahami trik jitu kuasa Tuhan dalam menorehkan
kasih-Nya. Tuhan menciptakan segalanya sesuai dengan ukuran semestinya. Tidak
ada yang salah dengan apa yang telah tercipta di alam semesta ini. Kesalahan
hanya terjadi jika kita tidak menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dengan
perbedaan yang ada bahkan mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga
terus berkembang. Seperti halnya keberadaan saintist mulai dari Dhalton
hingga Thompson, Newton hingga Einstein, dll. Yang senantiasa merunut perbedaan
pemikirannya hingga mampu mengembang-luaskan pengetahuan di dunia sains.
Tuhan telah mendesain semuanya begitu rapi dan
indah. Hanya saja, hal itu tersimpan dalam bentuk potongan-potongan puzzle.
Sebagai khalifatullah fil ardh (pengganti Allah di bumi), kita yang
telah dilengkapi dengan akal-pikiran seyogyanya mampu mengaplikasikannya dengan
tepat guna. Sehingga perbedaan-perbedaan yang ada bisa dijadikan sarana untuk
menempatkan potongan-potongan puzzle, yang mestinya kita susun serapi
mungkin mengikuti desain yang telah ditunjukkan oleh Tuhan.
Yogyakarta, 10 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment