Monday, August 17, 2015

(INDAHNYA PERBEDAAN)



INDAHNYA PERBEDAAN

Sedari kecil, saya menemui banyak sekali perbedaan yang ada di sekitar saya. Mulai dari perbedaan fisik, gaya berbahasa, dan cara bersikap dalam anggota keluarga. Di sekolah, saya dan teman-teman pun memiliki keberagaman karakter. Jadi, bisa dipastikan semua yang ada di dunia ini dipenuhi dengan hal yang berbeda satu sama lain.

Setiap makhluk Tuhan diciptakan berpasang-pasang. Artinya, setiap pasangan itu terdiri dari dua hal berbeda yang disandingkan oleh Tuhan menjadi satu pasangan yang saling melengkapi. Misalnya, ada laki-laki dan perempuan, panjang dan pendek, tinggi dan rendah, kurus dan gemuk, baik dan buruk, dll.

Dalam fenomena yang sedikit rumit, mengarah pada keberagaman kebudayaan. Setiap daerah tentu didominasi oleh kebudayaannya masing-masing. Hal itu bisa berupa bahasa daerah dan gaya berbahasanya, adat-istiadat dalam bersosialisai, makanan khas, lagu daerah dan tariannya, dll. 

Sebagai contoh, saya menghadirkan dua daerah yang berbeda, yaitu Banyuwangi yang terletak di ujung timur Jawa Timur dan Yogyakarta yang terletak di Jawa Tengah. Keduanya memiliki banyak perbedaan meskipun sama-sama berada di satu pulau, yakni pulau Jawa.

Di tanah kelahiran saya, Banyuwangi, terdapat bahasa daerah yang dikenal dengan bahasa Osing. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat di sana menggunakan bahasa Osing dalam bersosialisasi sehari-hari. Beberapa masyarakat Banyuwangi di bagian barat dan masyarakat di sekitar pesisir pantai bahkan menggunakan bahasa Madura. Ada pula yang menggunakan bahasa Jawa asli. Hal itu berlaku pada masyarakat yang tinggal di bagian tengah, seperti keluarga saya.

Untuk tari tradisional yang terkenal di Banyuwangi adalah tari Gandrung. Seperti layaknya sebuah negara kecil, Banyuwangi pun memiliki lagu kebangsaan, yaitu lagu daerah berjudul Umbul-umbul Belambangan. Lagu ini dilantunkan mengiringi perayaan hari jadi Banyuwangi dan perayaan-perayaan lainnya. Sementara itu, beberapa rilisan album di sana selain menggunakan bahasa khas Banyuwangi, Osing, ada pula yang menggunakan bahasa Jawa Asli.

Masyarakat di Banyuwangi setahu saya lebih menyukai masakan yang rasanya pedas dan gurih. Sementara rasa manis hanya bisa ditemui dalam minuman, kolak dan juga beberapa jenis kue tertentu.

Beralih ke Yogyakarta. Masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa asli dalam bersosialisasi sehari-hari. Hal ini sejauh yang saya tahu selama PKL dan ketika tour lima tahun yang lalu. Bahasa yang digunakan meskipun sama-sama bahasa Jawa asli, tapi masyarakat Yogyakarta lebih lembut dalam bertutur kata daripada masyarakat Banyuwangi.

Di bidang kesenian, saya belum mengenali tari tradisional maupun lagu daerahnya. Akan tetapi, saya menemui banyak pasar yang menjajakan batik dan beraneka kerajinan tangan. Biasanya, para wisatawan lokal maupun mancanegara memanfaatkannya sebagai wana untuk mendapatkan buah tangan khas Yogyakarta. Meskipun di Banyuwangi juga memproduksi batik, tapi keduanya memiliki kekhasan masing-masing.

Adapun untuk masakan khas Yogyakarta, masyarakat Yogya lebih menyukai yang manis-manis. Hal itu tampak dari cita rasa yang disajikan hampir di semua menu masakan. Mulai dari aneka makanan, minuman dan kue, hampir semuanya didominasi rasa manis. Bisa jadi hal itu yang membuat masyarakat Yogya lebih lembut dalam bertutur kata.

Selain beberapa perbedaan tersebut, gaya hidup yang berbeda pun turut menjadi bagian dari pengamatan saya. Perbedaan ini tampak begitu jelas karena mungkin di Banyuwangi saya tinggal bersama masyarakat pedesaan, sedangkan di Yogyakarta saya tinggal bersama masyarakat perkotaan. 

Di Banyuwangi, makanan bisa didapat dengan mudah tanpa harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak, karena masyarakatnya lebih suka memakan masakan sendiri. Jadi, sangat jarang ditemui jajaran warung yang menjajakan masakan dan jajanan, kecuali di area pasar.

Sementara itu, di Yogyakarta saya melihat banyak warung berjajar di tepian sepanjang jalan. Di sana dijajakan makanan maupun jajanan dengan harga yang lumayan merogoh kantong ukuran mahasiswa layaknya saya. Hal ini bisa jadi karena masyarakat Yogya memiliki keterikatan dengan jam kerja yang cukup padat, sehingga sebagian besar lebih menyukai masakan-masakan praktis. Artinya, mereka tidak harus meluangkan waktu untuk memasak namun tetap bisa mendapat suplai energi sesuai yang dibutuhkan. Sebagai gantinya, mereka memberikan imbalan seharga makanan atau jajanan yang dibutuhkan sekaligus membayar jasa pembuatnya.

Masyarakat di area perkotaan cenderung individualis dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. Bagaimana tidak, hampir semua kegiatan dilaksanakan secara bersamaan atau bergotong-royong di area pedesaan, seperti di daerah saya, Banyuwangi. Misalnya, kerja bakti bersih desa, ngayah jalan, membangun rumah, masjid, dan pasar, dll. Bahkan, ketika ada seorang tetangga yang sakit dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit, tidak hanya dari pihak keluarga saja yang bergantian menunggu pasien tetapi juga dari tetangga dan kerabat lainnya turut menjenguk dan bergantian menunggu tanpa ada sistem honorisai. 

Akan tetapi, di area perkotaan, seperti Yogyakarta hal itu sangat sedikit sekali dipraktikkan. Sudah ada para petugas berseragam khusus yang setiap pagi membersihkan sampah-sampah di tepi jalan. Pembangunan rumah, jalan dan pasar pun sudah memiliki arsitektur beserta seperangkat pekerja yang siap menyelesaikan tugasnya sesuai batas waktu dan honor yang telah disepakati. Di sinilah tampak adanya kerentangan di tengah masyarakat Yogya dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan di sekitar.

Hal yang demikian hanya seberkas perbedaan secara garis besar yang bisa saya amati, mengenai fenomena perbedaan antara masyarakat pedesaan di Banyuwangi dengan masyarakat perkotaan di Yogyakarta. Selebihnya, perbedaan adalah hal yang wajar dan normal. Secara hukum alam perbedaan itu memang harus ada. Sebab, hal itu dapat membantu kerja otak untuk mengenali apapun yang ada di alam semesta ini.

Bayangkan, ketika Tuhan hanya menciptakan satu jenis makhluk yang sama persis tanpa ada perbedaan sedikit pun. Kira-kira apa yang akan terjadi? Atau contoh sederhana, ketika Anda dihadapkan dengan sepuluh mahasiswa yang sama persis. Mulai dari ukuran tinggi badan, seragam yang dikenakan, aktivitas yang dikerjakan, dan juga kualitas produk yang dihasilkan. Sementara itu, Anda harus memilih satu yang terbaik di antara mereka. Kira-kira hal seperti itu memudahkan Anda untuk memilih atau malah mempersulit?

Jawaban yang pasti adalah Anda akan merasa kesulitan untuk menentukan pilihan Anda. Tuhan lebih tahu akibat dari segala yang Dia putuskan. Karena Tuhan tidak memiliki sikap jahat dan sama sekali tidak berniat melakukan kejahatan dengan mempersulit hamba-Nya. Maka Tuhan pun menunjukkan kuasa-Nya. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan sebuah perbedaan. Dengan begitu, seorang hamba akan lebih mudah mengenali apa-apa yang tercipta di alam semesta. Sehingga dia mampu merujuk pada kuasa Tuhan yang haqq.

Perbedaan bukan satu alasan terjadinya perpecahan. Akan tetapi, perbedaan adalah celah di mana Tuhan menginjeksikan noktah cinta-Nya yang tiada tara. Bayangkan, ketika sepasang suami-istri itu adalah dua orang yang sama secara fisik maupun psikisnya. Perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, dan sejenisnya. Yang terjadi bukanlah keharmonisan melainkan kebobrokan, bahkan untuk merencanakan generasi penerus bangsa. Mugkin itu adalah setitik alasan kenapa Tuhan menciptakan perbedaan.

Contoh lain adalah pelangi. Semua tahu pelangi itu terdiri dari tujuh warna cahaya, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh warna tersebut bersandingan sehingga terlihat begitu cerah ketika hujan reda di tengan cuaca yang panas. Misalnya ketujuh warna itu dipisahkan satu persatu, apakah masih disebut pelangi? Tentu tidak. Keindahannya pun juga berkurang. Apalagi jika hanya ada satu warna di dunia ini. Tentunya akan menjemukan.

Tahukah Anda, bahwa pelangi yang indah dengan tujuh warnanya itu hanyalah biasan dari cahaya putih saja? Hal ini tidaklah berbeda dengan fenomena minor maupun mayor yang sering kali kita jumpai di alam semesta ini. Meski semuanya tampak memiliki perbedaan, semuanya hanya berasal dari satu hal. Islam menyebutnya dengan nuur Muhammad Saw.

Sementara itu, dunia ilmiah sains menyebutkan hukum cahaya yang terus berputar dengan perputaran lambat maka akan membentuk materi. Jika dianalogikan cahaya itu adalah Nabi Muhammad Saw. maka kita lah bagian dari percikan cahaya-Nya yang mengalami sedikit kelambatan perputaran atau pergerakan. Karena kita berasal dari hal yang sama, perbedaan bukanlah sekat untuk kita membangun integritas antar sesama. Layaknya perbedaan cahaya yang mampu membentuk pelangi sehingga lebih indah dipandang mata. Kita pun pasti bisa bersanding dengan orang-orang di sekitar kita, tanpa memandang perbedaan suku bangsa, ras, agama, budaya, dan lainnya untuk merealisasikan cinta Tuhan Yang Maha Pengasih.

Betapa indahnya perbedaan hanya bisa dirasakan oleh hamba-Nya yang mampu memahami trik jitu kuasa Tuhan dalam menorehkan kasih-Nya. Tuhan menciptakan segalanya sesuai dengan ukuran semestinya. Tidak ada yang salah dengan apa yang telah tercipta di alam semesta ini. Kesalahan hanya terjadi jika kita tidak menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dengan perbedaan yang ada bahkan mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga terus berkembang. Seperti halnya keberadaan saintist mulai dari Dhalton hingga Thompson, Newton hingga Einstein, dll. Yang senantiasa merunut perbedaan pemikirannya hingga mampu mengembang-luaskan pengetahuan di dunia sains.

Tuhan telah mendesain semuanya begitu rapi dan indah. Hanya saja, hal itu tersimpan dalam bentuk potongan-potongan puzzle. Sebagai khalifatullah fil ardh (pengganti Allah di bumi), kita yang telah dilengkapi dengan akal-pikiran seyogyanya mampu mengaplikasikannya dengan tepat guna. Sehingga perbedaan-perbedaan yang ada bisa dijadikan sarana untuk menempatkan potongan-potongan puzzle, yang mestinya kita susun serapi mungkin mengikuti desain yang telah ditunjukkan oleh Tuhan.

Yogyakarta, 10 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment