Terimakasih
Kepada:
Allah
Swt yang telah memberikan kesempatan untuk mengabadikan karya kami dalam buku
ini.
Rasulullah
Saw yang telah merelakan seberkas cahaya-Nya menerangi hati dan akal kami.
Keluarga
yang telah mengamanahkan tanggungjawab dan turut memohonkan kekuatan untuk kami
menjalani masa studi.
Seluruh
Dosen dan teman-teman Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (Tarjamah) 2012 “UIN
Maliki Malang” yang telah membangun motif kami.
Seluruh
Crew Ar-Ruzz Media yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi petuah dengan
kami.
Sapa Tim Penulis
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahi
rabbil ’alamin, senantiasa terlantunkan untuk mewakili rasa syukur kami
atas keagungan nikmat Allah yang tiada terhitung oleh apapun. Allahummashalli
wa sallim ’ala sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi, senantiasa terserukan
untuk menyapa Nabiyullah Muhammad Saw yang telah menunjukkan jalan terang untuk
seluruh alam.
Sebuah
karya sastra hakikatnya adalah bagian dari tafsiran ayat yang tersurat untuk
menggambarkan keagungan Allah atas penciptaan alam semesta. Atau karya sastra
tidak lain adalah ayat itu sendiri, yang masih membutuhkan multitafsir untuk
memahaminya. Karenanya, seniman dan sastrawan yang baik adalah yang mampu
membaca (tafsiran) ayat dan mengekspresikannya dalam karya yang dibuatnya.
Antologi
cerpen dan puisi yang terkumpul dalam buku ini adalah tulisan kami sebagai
pemula. Sebagai mahasiswa jurusan Sastra yang belajar bermain dengan kata-kata
dan menyusunnya untuk dinikmati khalayak ramai. Tim penulis yang memiliki
perbedaan latar belakang dan motif berimbas pada perbedaan tema dari setiap
cerpen maupun puisi di buku ini. Akan tetapi, justru hal itu memperindah karya
kami dengan warna-warni tema juga ragam bahasa yang tersaji.
Semoga
apa yang tergores di buku ini dapat menjadi saksi kami mempelajari keagungan
ayat-ayat Allah yang terserak di alam semesta. Antologi ini semoga menjadi
motivasi kami untuk terus belajar berkarya dan memberikan petuah untuk para
penikmatnya.
Inspirasi
yang tergapai dan imajinasi yang terukir di buku ini tak luput dari kekeliruan.
Oleh sebab itu, kami terbuka menerima kritik dan saran yang membangun dari
pembaca yang budiman.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ganbatte!
Yogyakarta, September
2015
Penulis
"Ini adalah cerpen pertamaku setelah mengenyam bangku sastra. Sebelumnya sekali aku menulis cerita. sayang tak terarsipkan. Berabgkat dari kisah nyataku ketika jelang akhir SMP. Itu pun aku tulis karena tugas bahasa Indonesia.
Kali ini meskipun aku menulisnya juga sedikit terpaksa, karena tugas pastinya, insyaalloh ini lebih inspiratif. Mohon saran dan kritiknya dari pembaca. Terimakasih atas kerja samanya."
Syahadat Abadi
Menjadi sosok
gadis berparas jelita, terkadang membuat seseorang lalai. Akan tetapi, hal itu
tidak berlaku pada gadis yang satu ini. Panggilannya Fibri, gadis tiga belas
tahun dengan kecerdasan yang wah dibandingkan teman sebayanya.
Selain mahir
di bidang sains, Fibri juga memiliki kecerdasan berbahasa luar biasa. Membaca
dan menulis adalah hobi yang sangat menyenangkan buat sosok Fibri. Hampir
setiap hari yang dijejakinya tak pernah dia lewatkan. Semuanya dia catat rapi
dalam buku diarinya. Bisa dibilang buku itu adalah gambaran sosok Fibri.
Ceritanya saat senang, sedih, tawa, tangis, semuanya ada. Bahkan, tak hanya
pujiannya pada Tuhan yang ditulisnya saat bahagia, tapi juga cacian dan
gerutunya pada Tuhan pun tergores ketika dia merasa putus asa.
Di sebuah
pondokan sederhana dari kayu, Fibri hidup bahagia dengan kakak laki-lakinya, Nova
(tujuh belas tahun) dan neneknya. Kedua orangtuanya yang meninggal
sejak mereka masih kecil menjadikan mereka terbiasa hidup mandiri.
Satu set ruang
perpustakaan keluarga yang dipenuhi buku beraneka tema menjadi warisan paling
berharga buat mereka. Hari libur sekolah adalah momen khusus bagi mereka untuk
mengorek isi buku-buku di sana. Selain buku-buku itu membantu mengerjakan tugas
sekolah mereka, banyak pengetahuan baru yang bisa mereka dapatkan secara cuma-cuma,
meskipun belum diajarkan di sekolah. Jadi, tak heran jika kepandaian dan pola
pikir mereka berbeda dari teman sebayanya.
Ruang balok
kayu itu menjadi sumber inspirasi bagi Fibri. Sejak duduk di bangku akhir SD
dia sudah mulai menulis puisi, esai, dan kadang juga cerpen. Sementara itu, Nova
selain menulis karya-karya ilmiah dia juga berperan sebagai editor dan layouter
untuk tulisan adeknya. Awalnya, tulisan-tulisan mereka hanya dimuat di
mading sekolah. Beberapa kali Fibri juga diminta untuk membacakan puisi dan
cerpennya di siaran radio sekolah. Tak jarang mereka mendapatkan uang saku dari
tulisannya itu. Jadi, uang jatah jajannya bisa ditabung untuk kebutuhan yang
lain.
Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, Nova dan Fibri bekerja menjadi pelayan di warung
makan selepas pulang sekolah. Pekerjaan itu mereka tekuni menggantikan posisi
nenek yang mulai renta. Kehidupan yang sederhana ini tak pernah membuat mereka
jera. Bagi mereka kehidupan seperti ini adalah petualangan penuh tantangan yang
memberikan arti dan semangat baru untuk hari-hari mereka.
Hari libur pekan
ini tak seperti biasanya. Gumpalan awan menyelimuti atap bumi. Sesekali kilat
menyambar disertai suara guntur. Air mata Mikail perlahan mulai menetes
memandikan bumi. Hal itu tak menggeser aktivitas Nova dan Fibri sedikit pun.
Mereka menghabiskan harinya bersama buku-buku di perpustakaan. Sebab, tak ada
alasan apapun untuk mereka absen dari sana. Sembari ditemani lantunan musik
lokal dan seduhan kopi, keduanya menyusun percakapan kecil.
“Kakak, menurut kakak Tuhan itu bagaimana? Apakah Tuhan
menciptakan kejahatan?” Fibri melontarkan pertanyaan dengan tiba-tiba.
“Tidak”, jawab Nova singkat.
“Bukankah Tuhan itu Maha Pencipta? Dia yang menciptakan
segalanya. Tapi kenapa kakak menjawab tidak? Lantas bagaimana dengan kejahatan
yang ada di bumi ini, siapa yang menciptakan?” Fibri terus bertanya penasaran.
“Adek kan pandai pelajaran sains. Sebelum kakak menjawab
pertanyaan itu kakak mau bertanya. Adek sudah mempelajari Kalor kan?”
Nova mencoba mengajak berpikir Adeknya.
“Kalor? Iya, kalor itu panas”.
“Betul sekali, wah pintar adek kakak yang cakep ini
(sambil mengacungkan jempolnya ke arah Fibri. Fibri pun tersipu bangga).
Lawannya panas apa?”
“Dingin lah, Kak”.
“Satu lagi, adek sudah belajar tentang cahaya?”
“Beres kakakku...” (sembari mengacungkan dua jempolnya).
“Kenapa, Kak?”
“Adek tahu kan cahaya itu membuat terang, lawannya terang
itu apa?”
“Jawabannya pasti gelap, iya kan?” (sambil mengacungkan
pena).
“Bagus. Nah, sekarang coba adek amati kenapa di Fisika itu
yang dipelajari panas dan cahaya, kenapa bukan dingin dan gelap? Skala
ukurannya juga memakai panas dan cahaya sebagai patokannya. Kira-kira jawaban
yang tepat menurut adek, kenapa demikian?” Nova memancing kreativitas otak
adeknya.
Setelah diam sejenak, Fibri pun menjawab dengan lantang
sembari beranjak menuju papan tulis. “Aku tahu jawabannya. Panas dan cahaya itu
menjadi patokan ukuran dalam Fisika. Keduanya sangat diperhitungkan secara
matematis. Dan ketiadaan keduanya lah yang menyebabkan adanya dingin dan gelap.
Jadi sebenarnya yang ada itu panas dan cahaya. Dingin dan gelap itu baru ada
ketika tidak adanya panas dan cahaya.” (bergaya mengajar)
“Artinya?” Nova menyerobot, karena dia yakin dengan
kemampuan logika adeknya.
“Emmm...” (sambil mengetuk-ngetukkan boardmaker
yang dipegangnya ke papan tulis).
“Aku tahu” (spontan membalik dan menodong ke
arah Nova). “Tuhan itu hanya menciptakan kebaikan dan tidak menciptakan
kejahatan. Kejahatan itu ada karena kita meniadakan kebaikan, iya kan, Kak?”
“Cerdasss! Kamu tahu tidak, teka-teki seperti ini juga
pernah dipecahkan oleh Einstein?” (Sebuah ungkapan untuk memuji adeknya).
“Wow... kalau begitu
ketika adek meninggalkan kejahatan artinya adek sama saja berbuat kebaikan
dong!” Nova mengangguk dengan senyum manis terlukis di bibirnya.
Percakapan-percakapan
antara Nova dengan Fibri memang tak seperti yang dilontarkan kebanyakan anak
sebaya mereka. Sebab, keduanya memang dibesarkan dengan cara berbeda oleh orang
yang berbeda pula (nenek).
Tak terasa atap
bumi yang kelabu semakin gelap, mengisyaratkan petang akan segera membayang.
Keduanya beranjak keluar ruangan. Setelah memenuhi kebutuhan masing-masing, kini
saatnya mereka merawat dan menemani nenek tercinta.
“Nenek... Aku datang”. Fibri berlari mendahului Nova
menghampiri kamar nenek. “Yeee... Kak Nova kalah, aku menang lagi.” Nova lagi-lagi
hanya melukis senyum di bibirnya.
“Nenek-nenek, kenapa Aku dan Kak Nova harus rajin membaca
dan menulis? Bukankah akan lebih singkat jika diutarakan dengan bahasa lisan
daripada tulisan?” Tanya Fibri merajuk memeluk nenek yang terbaring di kasur.
“Membaca itu perintah Tuhan”. Sahut Nova yang sedang
berjalan menuju kamar nenek sembari membawa nampan berisi makan malam nenek.
“Itu mah aku tahu, Kakak. Tapi alasannya, apa, kenapa?
Tuhan selalu menciptakan sebab dan kita yang harus mencari alasannya. Karena
itulah aku menjadi banyak bertanya”. Fibri melakukan pembelaan.
“Membaca itu memang perintah Tuhan. Tapi, manfaat membaca
itu sama sekali bukan untuk Tuhan, melainkan untuk orang-orang yang mau
mengerjakannya. Kitab suci agama kita, Al-Qur’an berisi firman Tuhan yang
disampaikan dalam bentuk tulisan, kalau kita tidak membacanya maka kita tak
akan pernah tahu yang Tuhan tunjukkan untuk kita. Di sana terdapat peta dan
kompas yang harus kita baca agar kita bisa sampai pada Tuhan. Itulah mengapa
membaca menjadi aktivitas yang sangat urgen”.
“Tapi, kalau sudah ada tulisan berisi informasi yang
beragam di dalam Al-Qur’an, kenapa kita masih harus menulis?” Tanya Fibri
mendesak.
“Adek ini bertanya seperti mengintrogasi penjahat saja.
Sabar dong... biarkan nenek menghela nafas dulu.” Nova menggoda adeknya yang
sedang memasang muka serius.
“Kakak ini, ah menganggu saja! Aku tahu kakak sudah tahu
jawabannya karena kakak dulu juga pasti pernah menanyakan pertanyaan yang sama
pada nenek, iya kan?” Sahut Fibri membalas godaan kakaknya.
“Ih sok tahu. Dengerin tuh jawaban nenek!”
“Ne...”
“Iya, kakakmu Nova memang sudah pernah bertanya hal yang
sama sebelumnya. Kalian nenek biasakan untuk membaca dan menulis itu bukan
karena untuk nenek atau siapapun melainkan untuk kalian sendiri. Di dalam
Al-Qur’an memang sudah memuat tulisan-tulisan berisi informasi. Namun,
informasi di sana hanya tersurat secara global. Karena itu, untuk mendapatkan penjelasan
yang lebih rinci dibutuhkan tulisan-tulisan lain. Itu juga yang menjadi alasan
dituliskannya Al-Hadits dan buku-buku yang lain.”
“Sudah berapa banyak buku yang adek lucuti di perpustakaan?”
Nova tiba-tiba menyela.
“Kenapa kak Nova tiba-tiba bertanya itu?”
“Tidak, kakak hanya mau menambahi jawaban nenek.
Buku-buku yang ada di ruang balok kayu dan buku-buku lainnya itu sebenarnya
berupa tulisan yang menjelaskan rincian kitab suci kita, Al-Qur’an. Sekalipun
sampulnya bertuliskan Fisika Klasik Newton, Kimia, Psikologi, dll. seperti yang
adek baca, sebenarnya itu adalah representasi dari ayat-ayat Al-Qur’an yang
bertebaran di muka bumi. Semua itu dikemas dengan bahasa yang lebih mudah dan
disertai penjelasan yang lebih rinci oleh ilmuwan-ilmuwan agar memudahkan kita
memahami isinya. Dengan demikian, kita akan mengerti dan mengenali keagungan
Tuhan lebih dekat.”
“Ya-ya-ya,
Adek paham”. Sambil mengangguk-angguk. “Berarti harus semakin rajin lagi
membaca dan menulisnya, agar adek senantiasa dekat dengan Tuhan”.
Hari demi hari
berganti. Minggu demi minggu berlalu. Tanpa diduga, tanpa disangka. Dalamnya
sumur dapat diukur, panjangnya umur siapa tahu. Nenek meninggal dunia di
pembaringannya. Nenek pergi dengan raut muka tersenyum (karena telah berhasil
membesarkan pemikir-pemikir besar dengan ide-ide besar, Nova dan Fibri).
Mujur tak
dapat diundang, malang tak dapat ditolak. Kesedihanpun menghampiri Nova dan
Fibri. Kalimat terakhir yang selalu menjadi amanat buat mereka, jadilah
orang yang bisa memberikan manfaat untuk yang lain. Berpikirlah tentang hal
yang besar, mulailah dari hal yang kecil, dari sekarang. Berpikirlah unutk hal
yang akan dikerjakan, dan selesaikan!
Kini keduanya
tak lagi ditemani seorang wali pun. Bagi Fibri, Nova adalah satu-satunya
keluarga yang dia punya, satu-satunya ruang untuk berbagi suka dan duka bersama.
Nova tak hanya seorang kakak yang bijak tapi juga ayah sekaligus ibu untuk
Fibri.
Sepekan usai
kepergian nenek, Nova dan Fibri kembali melakukan rutinitas masing-masing.
Meski merasakan beberapa perbedaan, keduanya berusaha melakukan sebaik mungkin.
Seperti apapun suasana hatinya, aktivitas mereka tetap harus dipenuhi.
Waktu yang
biasa mereka gunakan merawat nenek, kini dialihkan untuk bekerja paro waktu
(pukul 15.00-20.00 WIB). Sementara selepas sekolah, mereka beralih merawat
kebun di belakang pondokan kayu itu. Jam belajar mereka tak sedikit pun
berkurang di malam harinya. Malah, di tahun ke dua Fibri (duduk bangku SMP),
dia sudah mulai axis menembus media massa dengan tulisan kreatifnya. Begitu
pula dengan Nova yang saat itu duduk di bangku akhir SMA. Sudah banyak karya mereka
yang dimuat di koran, majalah dan buletin. Selain itu, Fibri dibantu Nova juga aktif
menulis di blog pribadi yang mereka kelola bersama.
Meskipun
sebenarnya Fibri sangat sedih ditinggal neneknya, dia tak pernah lalai
melaksanakan tanggung jawabnya. Diarinya akhir-akhir ini penuh dengan catatan
air mata. Tak hanya itu, suasana hatinya juga berdampak pada tema
tulisan-tulisannya. Nova sebagai editor berusaha menyeimbangkan tulisan adeknya
yang berisi ratapan itu dengan membubuhkan kalimat-kalimat motivasi di bagian
akhir.
“Terkadang apa
yang terjadi tak sesuai dengan yang kita rencanakan dan harapkan. Akan tetapi,
pilihan Tuhan adalah yang terbaik. Tak ada yang perlu disesali. Problematika
yang menghampiri kita sebenarnya tidak untuk dicaci- maki melainkan untuk dihadapi.
Agar kita bisa lebih dewasa dan senantiasa mengingat Tuhan. Nenek selalu
mengajari kita untuk tidak hanya bisa mengeluhkan masalah yang menyapa tapi harus
menjadi sosok yang solutif menghadapinya.” (Ucap Nova mencoba menghibur sembari
mengelus kepala adeknya).
“Semakin
tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Jika dahan pohon itu
rapuh, maka dia akan mudah tumbang.” Fibri menyahut kata-kata kakaknya sembari
berbalik memeluk tubuh kurus Nova. “Keep fighting and keep smiling. Thanks so
much and much my angel. Adek sudah siap untuk menghadapi lembaran baru kita”.
Tambahnya penuh semangat, meskipun masih ada sisa tetesan air mata di pipinya.
Nova memeluknya erat dan menghapus air matanya.
Tulisan Fibri
dan Nova mulai menunjukkan banyak reaksi dan respon dari berbagai kalangan. Tak
hanya anak-anak sebaya mereka tapi juga para orangtua. Terlebih cerita
kehidupan keluarga yang mereka rangkai dengan bahasa inspiratif nan cantik, yang
diupload di blog berjudul Lovely Family. Belum lagi dengan
karya-karya ilmiah Nova yang mengentaskan kematian otak dalam berlogika.
Kali ini,
Fibri dan Nova mendapati tantanagn baru. Banyaknya viewer dan follower
yang menyukai tulisan di blognya berujung pada tawaran menerbitkan buku. Fibri
sebagai penulis utama diminta untuk menulis buku yang bisa dinikmati banyak
orang. Fibri pun mulai gelisah memikirkan calon tulisannya.
Ketika
berkebun di belakang pondokan kayu Fibri melontarkan curhatan pada kakak
tercintanya.
“Kakak, menulis memang hobiku. Dengan menulis aku bisa
bertanggung jawab untuk menyampaikan apa yang aku tahu pada orang lain. Kakak
juga pernah bilang, kalau tulisan itu mampu menjelaskan rincian ayat-ayat
Tuhan.” Fibri mencoba membuka percakapan.
“Kamu benar, Dek. Tapi kenapa dengan raut mukamu? Lagi
mikirin apa?”
Fibri terdiam agak lama kemudian mulai berkata, “Aku
mendapat tawaran menulis buku dan itu akan diterbitkan”.
“Wahhh... bagus itu. Seperti biasa kakak akan membantumu
mengedit teks dan bagian layoutnya.” Nova merespon dengan penuh
semangat.
“Tapi, Kak...??? Aku bingung mau nulis apa. Lagian kakak
juga punya banyak tugas sekolah kan?!”
“Oh, itu bukan maslah.” Nova menghela nafas. “Seperti katamu,
menulis adalah hobimu. Menulis adalah bentuk tanggung jawab untuk menyampaikan
apa yang kita tahu pada orang lain. Karena itu, tulislah sesuai kata hatimu.
Tuhan pasti menunjukkan yang terbaik. Sebuah tulisan memiliki umur yang lebih
panjang dari umur kita. Apalagi dalam bentuk buku. Itu bisa menjadi syahadat
abadi yang senantiasa menjadi teman kita menghadap Tuhan. Meskipun raga
kita sudah terlelap di kolong bumi nanti, selama tulisan kita masih dinikmati
dan menginspirasi orang, selama itu pula jiwa kita tetap hidup dan senantiasa
bersyahadat atas keagungan Tuhan. Adek masih ingat pesan nenek kan?! Be usefull
one. Think big, start small at now. Thihk to do and do to finish.”
“Ne... I see. Kamsahamnida, Oppa”. Sambil berekspresi
layaknya artis Korea dan memeluk kakaknya.
“Do the best, hope for tehe best and prepare for the
worst”. Nova dan Fibri meneriakkan kalimat itu bersamaan dengan bergandengan
tangan penuh semangat dan bersiap untuk memulai tugas baru mereka.
Yogyakarta, Agustus 2015
HISTISHA
Biografi Penulis
HISTISHA
NR (힛티차), seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab yang
dilahirkan di bumi Banyuwangi 1994 M. Dia tak banyak mencicipi karya sastra
sebelumnya. Sebab, dia memilih Sastra dengan dalih sebagai pelampiasan kejenuhannya
terhadap deretan angka dan rumus-rumus matematis di dunia Sains. Sebuah pilihan
tak dapat dinafikan atas konsekuensi yang mengekornya. Karena itu lah, mau
tidak mau, suka tidak suka, dia harus mulai membiasakan dirinya bergumul dengan
dunia barunya, Sastra. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa dia masih memeluk
erat dunia Sains untuk mewarnai harinya.
Sebuah
antologi puisi berjdudul Orgasme “2015” adalah kesempatan
pertamanya menorehkan tinta di sebuah buku karya sastra bersama sembilan teman
lainnya. Baginya, bersastra tak hanya bisa dilakukan dengan menulis. Akan
tetapi, menulis bisa menjadi bagian langkahnya untuk bersastra.
Ketidakpunyaannya akan skala estetika sebuah karya sastra tak membuatnya enggan
dan undur diri. Sebab, masing-masing orang memiliki skalanya yang berbeda-beda.
Hal itu akan tampak pada goresan tinta dalam karyanya dan juga apresiasinya
terhadap sebuah karya.
Think
Big, Start Small at now. Memulai dengan merangkai kata-kata sederhana dan
menjejakkan noktah yang bermakna. Inilah langkah awal yang dipilihnya untuk
mengentaskan kematian otaknya.
“탁 아다 아라산 운툭 블흔티
므라구간 양 틀바익, 그바이간 아다랗 자란 틀바익 므누주 투한”
“Tak Ada Alasan
untuk Berhenti Melakukan yang Terbaik, Kebaikan Adalah Jalan Terbaik Menuju
Tuhan”
|
bagus banget sob, makasih banyak..
ReplyDelete