JIWA YANG MENGGIGIL
Nyaris lima
tahun kenangan di Yogya kala itu tak kunjung luntur. Bahkan kini tergores lebih
pekat dengan tinta yang baru kujalani beberapa pekan di sini. Meskipun kudapati
beberapa perbedaan, tapi Yogya tetaplah Yogya.
Kali ini kudapati
Yogya rasa Malang. Udara yang begitu menusuk tulang menghantarku di
pembaringan. Sekujur tubuhku bahkan merasakan dinginnya malam Malang di sini.
Aku sedikit terperanjat. “Tapi, tak apa lah”, pikirku. Tak berarti aku harus
meminta segalanya dipermudahkan oleh Tuhan. Aku cukup meminta tambahan kekuatan
untuk melalui semua ini.
Panas yang
amat menyengat kala itu tak bisa terhapus dari memoriku. Yogya kala itu telah
merubah semuanya. Tak hanya fisik tapi juga pemikiranku. Yogya selalu
menyala-nyala dalam benakku. “Aku tak suka hidup di sini. Terlalu sulit untukku
menggerakkan bibir ini meski hanya untuk pura-pura tersenyum”.
Di tengah
panasnya kota Yogya kala itu, jiwa ini masih terasa hangat karena seorang
sahabat ada di sisiku. Tapi, kali ini sekalipun di siang hari mentari menyapa
begitu hangat, jiwaku tetap dalam gigil. Dingin ini benar-benar membekukan
segalanya. “Aku tak suka ada di sini.”
Semuanya
terasa beku. Sangat sulit untuk aku mencairkannya. Semuanya dan segalanya
bahkan lebih keras dari bongkahan es di kutub. Tubuh ini serasa tak mampu
menahannya.
Aku mungkin
begitu rapuh ketika merasakan perpindahan Banyuwangi-Malang. tapi hanya tubuhku
yang menggigil di awal ada di Malang. Sementara di sini, Jiwaku tebelenggu dan
terus menggigil.
Aku tak tahu
kapan akan berakhir. Atau mungkin tak akan pernah berakhir. Tapi, biarlah. Ini
bagaikan rangkaian warna pelangi yang justru membuat hidupku penuh warna.
Ketika siang
mengacuhkanku dengan sinarnya, masih ada malam yang memperhatikanku sehingga
aku berselimut. Tapi, kali ini, saat semua mengacuhkanku, justru selimut ini
tak bisa aku lepaskan untuk memeluk jiwa yang terus menggigil ini.
Tuhan...
sebanya aapapun aku menulis. Hanya satu yang ingin aku ceritakan pada-Mu. Aku
dan jiwaku menggigil. Terus bergemetar. Aku butuh uluran tangan-Mu untuk
menghangatkan jiwaku, Tuhan. Aku tak sanggup menepis dingin sebagaimana aku
menerjang panas.
Jangan biarkan
aku mati dalam gigil ini, Tuhan. Masih ada cercehan harapan yang berserak yang
harus aku susun rapi untuk membuat sejarah. Kasih-Mu adalah kekuatanku yang
tiada tara.
Agustus 2015, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment