Sunday, August 23, 2015

JIWA YANG MENGGIGIL



JIWA YANG MENGGIGIL

Nyaris lima tahun kenangan di Yogya kala itu tak kunjung luntur. Bahkan kini tergores lebih pekat dengan tinta yang baru kujalani beberapa pekan di sini. Meskipun kudapati beberapa perbedaan, tapi Yogya tetaplah Yogya.

Kali ini kudapati Yogya rasa Malang. Udara yang begitu menusuk tulang menghantarku di pembaringan. Sekujur tubuhku bahkan merasakan dinginnya malam Malang di sini. Aku sedikit terperanjat. “Tapi, tak apa lah”, pikirku. Tak berarti aku harus meminta segalanya dipermudahkan oleh Tuhan. Aku cukup meminta tambahan kekuatan untuk melalui semua ini.

Panas yang amat menyengat kala itu tak bisa terhapus dari memoriku. Yogya kala itu telah merubah semuanya. Tak hanya fisik tapi juga pemikiranku. Yogya selalu menyala-nyala dalam benakku. “Aku tak suka hidup di sini. Terlalu sulit untukku menggerakkan bibir ini meski hanya untuk pura-pura tersenyum”.

Di tengah panasnya kota Yogya kala itu, jiwa ini masih terasa hangat karena seorang sahabat ada di sisiku. Tapi, kali ini sekalipun di siang hari mentari menyapa begitu hangat, jiwaku tetap dalam gigil. Dingin ini benar-benar membekukan segalanya. “Aku tak suka ada di sini.”

Semuanya terasa beku. Sangat sulit untuk aku mencairkannya. Semuanya dan segalanya bahkan lebih keras dari bongkahan es di kutub. Tubuh ini serasa tak mampu menahannya. 

Aku mungkin begitu rapuh ketika merasakan perpindahan Banyuwangi-Malang. tapi hanya tubuhku yang menggigil di awal ada di Malang. Sementara di sini, Jiwaku tebelenggu dan terus menggigil.

Aku tak tahu kapan akan berakhir. Atau mungkin tak akan pernah berakhir. Tapi, biarlah. Ini bagaikan rangkaian warna pelangi yang justru membuat hidupku penuh warna.

Ketika siang mengacuhkanku dengan sinarnya, masih ada malam yang memperhatikanku sehingga aku berselimut. Tapi, kali ini, saat semua mengacuhkanku, justru selimut ini tak bisa aku lepaskan untuk memeluk jiwa yang terus menggigil ini.

Tuhan... sebanya aapapun aku menulis. Hanya satu yang ingin aku ceritakan pada-Mu. Aku dan jiwaku menggigil. Terus bergemetar. Aku butuh uluran tangan-Mu untuk menghangatkan jiwaku, Tuhan. Aku tak sanggup menepis dingin sebagaimana aku menerjang panas.

Jangan biarkan aku mati dalam gigil ini, Tuhan. Masih ada cercehan harapan yang berserak yang harus aku susun rapi untuk membuat sejarah. Kasih-Mu adalah kekuatanku yang tiada tara. 

Agustus 2015, Yogyakarta

No comments:

Post a Comment