Deret kata yang terjeda:
KEBERHASILAN ADALAH SAAT BERPROSES
Himatul Istiqomah NR.
Silir angin menyapu daratan malang, menerobos
ranting-ranting hingga menabrak dunia Humaniora. Menjadi pengantar yang menghangatkan
suasana launching novel terjemahan karya teman-teman BSA’12, profesi Tarjamah.
Kupu-kupu Biru, sebuah novel yang berusaha mewakili Al-Farasyah
al-Zarqa’ karya Rabi’ Jabeer, dengan wajah bahasa anak negeri, Indonesia.
Berisikan kisahan novelis yang memperoleh inspirasi dan geliat imajinasi yang
suci ketika hatinya dalam keterenyuhan dan kegundahan, karena ditinggalkan oleh
dua orang yang dicintainya; nenek Zahiah dan S wanita yang dipujanya. Novel
dengan alur yang sangat kompleks yang dimulai dari cerita akhir kemudian
dikombinasikan secara bergantian dan berkelindan dari setiap rangkai alurnya,
sangat menantang mata setiap pembacanya. Betapa tidak? Pengarang menuliskan
novel yang di dalamnya memuat cerita seorang novelis yang berkisah tentang
ceritanya dan cerita dari neneknya Zahiah (kisah masa lalunya) yang dikemas
dengan alur yang unik dalam sebuah percakapan hangat membincang pengamatan
sebuah gambar pada background foto, yang terdapat dalam album foto keluarga.
Dari situlah bermula kisah kupu-kupu biru.
Kupu-kupu Biru, titik paling menarik yang tersembunyi di
balik rimbunan kata, frasa dan bahkan kalimat yang menyusun paragraf pengusung
cerita. Begitu asyiknya menyimak keterciptaan kupu-kupu mulai dari butiran
telur yang berlomba untuk segera menetaskan diri menjadi ulat. Kemudian
berlomba lagi dengan seleksi alam untuk semacam semedi dalam kantong
kepompongnya. Dan masih harus berlomba lagi untuk selanjutnya ia dapat menjadi
kupu-kupu yang indah dan bernilai, sanggup terbang menggapai awan dan
melayangkan tebaran pesonanya bagi setiap pasang mata yang menatapnya.
Sungguh kompleks proses metamorfosisnya. Sekali dia
menyerah dengan dirinya, dia tak akan pernah menjadi apa-apa. Andai dia tak
pandai menyembunyikan dirinya saat setiap kali pencapaian keberhasilan
transformasinya, maka ia akan terhanguskan dengan apa yang dianggapnya sebagai
sebuah keberhasilan. Padahal itu hanyalah jeda sejenak untuk seharusnya
dilanjutkan lagi ke jejak langkahnya. Menjadi kepompong yang dapat menghasilkan
benang sutra itu mungkin adalah keberhasilan bagi seekor ulat yang mampu
mencapai tahapan transformasi setelahnya. Menjadi seekor kupu-kupu pun itu
mungkin adalah keberhasilan bagi kepompong yang mampu mempertahankan
keseimbangannya untuk terus bergelayut di dahan atau daun yang ia hinggapi,
atau terbuangkan dari penglihatan para ilmuwan dan pawang pemburunya. Tapi itu
masih belum seberapa. Seekor kupu-kupu masih harus terus berproses untuk
menemukan kemudian melakukan fungsi dan peranannya sebagai kupu-kupu sejati. Ia
pun harus mempersiapkan diri untuk menyiapkan generasi penerusnya yang kelak
turut mewarnai angkasa pula dengan keindahannya. Kemudian barulah ia bisa
bercinta seutuhnya dengan Sang Sejati Nan Abadi. Dan itulah keberhasilan
sesungguhnya, seorang “Aku” yang berhasil mengerti ke”Aku”annya, berlaku
sebagai sejatinya “Aku”, kemudian mampu membenamkan ke”Aku”annya untuk
terkadang menjadi “Aku” sebagai dia atau “Aku” sebagi “Engkau”, dan akhirnya
mampu mengembalikan ke”Aku”annya pada “Engkau” Sang Empunya segalanya.
Bisa jadi uraian di atas tidak cukup untuk mewakili
keindahan karya penulis aslinya, Jabeer. Akan tetapi, karena “The Author is
Dead” saat sebuah karya itu sudah diberanikan untuk dibaca orang lain, maka
bisa jadi novel terjemahan ini akan memiliki kehidupannya sendiri, memiliki
ruhnya sendiri, yang ia akan dapat menemukan pembacanya sendiri. Yaitu pembaca
yang mampu meleburkan ke”Aku”annya untuk beralih menjadi “Aku” dalam novel ini.
Menemukan “Aku” sebagai ke”Aku”annya, kemudian membangkitkan kembali ke”Aku”annya
untuk menyatu dengan si “Aku” dalam novel ini. Begitulah, keterikatan ruh
pembaca yang bergumul mesra dengan apa yang sedang dinikmati dalam bacaannya.
***
Begitu kompleksnya proses metamorfosa kupu-kupu, tak jauh
beda dengan kompleksitas proses keterjadian manusia. Manusia yang kemudian
mampu mengetahui realitas dirinya,peranan, dan fungsinya serta mampu mewujudkan
perilaku manusiawi yang memanusiakan manusia. Setelah itu, manusia harusnya
tidak puas dengan hanya kemanusiaannya saja. Ia harus menjadi lebih istimewa
dengan kemampuan yang terlanjur dianugerahkan padanya, untuk meniti jalan
menuju Yang Kuasa, Sang Hyang Widhi Wasa.
***
Untuk kesan menerjemah novel Kupu-kupu Biru,
Karena ini adalah proyek kubu, jadi pembedah secara
pribadi berusaha menyeimbangkan solidaritas dalam kubu. Berusaha menyelaraskan
bahasa dan menyeragamkan pemahaman. Terkait kesulitan menerjemah, terdapat pada
minimnya pengetahuan kubu ini akan kondisi nyata baik secara fisik antropologi
kota Beirut dan juga non fisik psyche orang Beirut dan stilenya. Hanya sedikit
artikel yang terkumpul tentang kota Beirut untuk mengakses bahasa yang
dipasarkan di sana, untuk kemudian dipasangkan di terjemahan. Kemudian, alur
cerita yang terlalu kompleks yang menimbulkan varian tanggapan dan pandangan
dalam kubu, sehingga proses editting masih layaknya potongan puzzle yang saling
berkelindan. Seorang penerjemah seharusnya berakraban dengan kamus dan elastis
dengan konteks teks sumber, agar hasil terjemahannya tidak kaku. Karena ini
adalah pengalaman pertama, jadi tidak ada jaminan estetika bahasa maupun
rangkai ceritanya yang gamblang. Oleh sebab itu, ini bukanlah hasil akhir, melainkan
harus diperbaiki lagi dan terus berproses lagi, lagi dan lagi.
Tulisan ini mewakili pribadi pembedah yang sebenarnya ia
adalah seorang mahasiswa yang buta novel, demam novel, dan sejenisnya. Deretan
kata di atas hanyalah yang terjeda yang bisa diungkapkan si buta dengan segala
keterbatasannya. Bisa jadi bagi pembaca yang sesungguhnya, ia akan mampu
menemukan nilai-nilai lain yang lebih kompleks lagi. Akan sangat boleh jika
pembedah diabaikan atau bahkan dimatikan pula. Karena, demikian bisa jadi akan
mengantar pembaca pada kekosongan dan kesiapan untuk menerima setiap nilai
amanat positif dari novel Kupu-kupu Biru ini. Sekali lagi, jangan pernah percaya
dengan deret bahasa gila yang diungkapkan oleh pembaca yang buta ini.
Karenanya, siapapun dapat membaca dan berproses menemukan ke”Aku”annya sendiri,
di manapun, kapanpun, dan bersama siapapun. Yang lebih berharga bukanlah hasil,
melainkan proses dan pengalaman ketika berproses. karena hal itulah yang tak
dapat dibeli oleh rupiah berapapun dan tak bisa tergantikan oleh siapapun. So,
sobat, alamilah pengalamanmu sendiri dan jangan takut berproses!
Begitulah setitik tinta yang terurai bersahutan
menjejakkan agenda besar anak bangsa, BSA’12. Semoga berkenan di hati
teman-teman semua. Terimakasih atas kerja samanya, dan atas paksaannya untuk
membedah novel Kupu-kupu Biru. Akhirnya saya berkenalan dengan novel yang hadir
dengan wajah alur yang unik dan kreatif. Sehingga saya pribadi merasa terkorek
untuk memicu kreativitas menyelami dunia sastra yang begitu kaya. Terimakasih
atas kesempatan untuk saya mengalami pengalaman berharga ini.
Sukses buat semuanya, berkah buat semua proses yang kita
lalui bersama di BSA. Aamiin.
Teruslah berproses untuk menjadi pribadi yang memberikan
manfaat untuk yang lain!
HISTISHA NR. (LITTLE RABBIT)
No comments:
Post a Comment