Wednesday, March 16, 2016

REFLEKSI LAUNCHINGNOVELKUPU-KUPUBIRU

Deret kata yang terjeda:

KEBERHASILAN ADALAH SAAT BERPROSES
Himatul Istiqomah NR.
16 maret 2016















Silir angin menyapu daratan malang, menerobos ranting-ranting hingga menabrak dunia Humaniora. Menjadi pengantar yang menghangatkan suasana launching novel terjemahan karya teman-teman BSA’12, profesi Tarjamah.

Kupu-kupu Biru, sebuah novel yang berusaha mewakili Al-Farasyah al-Zarqa’ karya Rabi’ Jabeer, dengan wajah bahasa anak negeri, Indonesia. Berisikan kisahan novelis yang memperoleh inspirasi dan geliat imajinasi yang suci ketika hatinya dalam keterenyuhan dan kegundahan, karena ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya; nenek Zahiah dan S wanita yang dipujanya. Novel dengan alur yang sangat kompleks yang dimulai dari cerita akhir kemudian dikombinasikan secara bergantian dan berkelindan dari setiap rangkai alurnya, sangat menantang mata setiap pembacanya. Betapa tidak? Pengarang menuliskan novel yang di dalamnya memuat cerita seorang novelis yang berkisah tentang ceritanya dan cerita dari neneknya Zahiah (kisah masa lalunya) yang dikemas dengan alur yang unik dalam sebuah percakapan hangat membincang pengamatan sebuah gambar pada background foto, yang terdapat dalam album foto keluarga. Dari situlah bermula kisah kupu-kupu biru. 

Kupu-kupu Biru, titik paling menarik yang tersembunyi di balik rimbunan kata, frasa dan bahkan kalimat yang menyusun paragraf pengusung cerita. Begitu asyiknya menyimak keterciptaan kupu-kupu mulai dari butiran telur yang berlomba untuk segera menetaskan diri menjadi ulat. Kemudian berlomba lagi dengan seleksi alam untuk semacam semedi dalam kantong kepompongnya. Dan masih harus berlomba lagi untuk selanjutnya ia dapat menjadi kupu-kupu yang indah dan bernilai, sanggup terbang menggapai awan dan melayangkan tebaran pesonanya bagi setiap pasang mata yang menatapnya.

Sungguh kompleks proses metamorfosisnya. Sekali dia menyerah dengan dirinya, dia tak akan pernah menjadi apa-apa. Andai dia tak pandai menyembunyikan dirinya saat setiap kali pencapaian keberhasilan transformasinya, maka ia akan terhanguskan dengan apa yang dianggapnya sebagai sebuah keberhasilan. Padahal itu hanyalah jeda sejenak untuk seharusnya dilanjutkan lagi ke jejak langkahnya. Menjadi kepompong yang dapat menghasilkan benang sutra itu mungkin adalah keberhasilan bagi seekor ulat yang mampu mencapai tahapan transformasi setelahnya. Menjadi seekor kupu-kupu pun itu mungkin adalah keberhasilan bagi kepompong yang mampu mempertahankan keseimbangannya untuk terus bergelayut di dahan atau daun yang ia hinggapi, atau terbuangkan dari penglihatan para ilmuwan dan pawang pemburunya. Tapi itu masih belum seberapa. Seekor kupu-kupu masih harus terus berproses untuk menemukan kemudian melakukan fungsi dan peranannya sebagai kupu-kupu sejati. Ia pun harus mempersiapkan diri untuk menyiapkan generasi penerusnya yang kelak turut mewarnai angkasa pula dengan keindahannya. Kemudian barulah ia bisa bercinta seutuhnya dengan Sang Sejati Nan Abadi. Dan itulah keberhasilan sesungguhnya, seorang “Aku” yang berhasil mengerti ke”Aku”annya, berlaku sebagai sejatinya “Aku”, kemudian mampu membenamkan ke”Aku”annya untuk terkadang menjadi “Aku” sebagai dia atau “Aku” sebagi “Engkau”, dan akhirnya mampu mengembalikan ke”Aku”annya pada “Engkau” Sang Empunya segalanya.

Bisa jadi uraian di atas tidak cukup untuk mewakili keindahan karya penulis aslinya, Jabeer. Akan tetapi, karena “The Author is Dead” saat sebuah karya itu sudah diberanikan untuk dibaca orang lain, maka bisa jadi novel terjemahan ini akan memiliki kehidupannya sendiri, memiliki ruhnya sendiri, yang ia akan dapat menemukan pembacanya sendiri. Yaitu pembaca yang mampu meleburkan ke”Aku”annya untuk beralih menjadi “Aku” dalam novel ini. Menemukan “Aku” sebagai ke”Aku”annya, kemudian membangkitkan kembali ke”Aku”annya untuk menyatu dengan si “Aku” dalam novel ini. Begitulah, keterikatan ruh pembaca yang bergumul mesra dengan apa yang sedang dinikmati dalam bacaannya.

***
Begitu kompleksnya proses metamorfosa kupu-kupu, tak jauh beda dengan kompleksitas proses keterjadian manusia. Manusia yang kemudian mampu mengetahui realitas dirinya,peranan, dan fungsinya serta mampu mewujudkan perilaku manusiawi yang memanusiakan manusia. Setelah itu, manusia harusnya tidak puas dengan hanya kemanusiaannya saja. Ia harus menjadi lebih istimewa dengan kemampuan yang terlanjur dianugerahkan padanya, untuk meniti jalan menuju Yang Kuasa, Sang Hyang Widhi Wasa.

***
Untuk kesan menerjemah novel Kupu-kupu Biru,

Karena ini adalah proyek kubu, jadi pembedah secara pribadi berusaha menyeimbangkan solidaritas dalam kubu. Berusaha menyelaraskan bahasa dan menyeragamkan pemahaman. Terkait kesulitan menerjemah, terdapat pada minimnya pengetahuan kubu ini akan kondisi nyata baik secara fisik antropologi kota Beirut dan juga non fisik psyche orang Beirut dan stilenya. Hanya sedikit artikel yang terkumpul tentang kota Beirut untuk mengakses bahasa yang dipasarkan di sana, untuk kemudian dipasangkan di terjemahan. Kemudian, alur cerita yang terlalu kompleks yang menimbulkan varian tanggapan dan pandangan dalam kubu, sehingga proses editting masih layaknya potongan puzzle yang saling berkelindan. Seorang penerjemah seharusnya berakraban dengan kamus dan elastis dengan konteks teks sumber, agar hasil terjemahannya tidak kaku. Karena ini adalah pengalaman pertama, jadi tidak ada jaminan estetika bahasa maupun rangkai ceritanya yang gamblang. Oleh sebab itu, ini bukanlah hasil akhir, melainkan harus diperbaiki lagi dan terus berproses lagi, lagi dan lagi. 
 
Tulisan ini mewakili pribadi pembedah yang sebenarnya ia adalah seorang mahasiswa yang buta novel, demam novel, dan sejenisnya. Deretan kata di atas hanyalah yang terjeda yang bisa diungkapkan si buta dengan segala keterbatasannya. Bisa jadi bagi pembaca yang sesungguhnya, ia akan mampu menemukan nilai-nilai lain yang lebih kompleks lagi. Akan sangat boleh jika pembedah diabaikan atau bahkan dimatikan pula. Karena, demikian bisa jadi akan mengantar pembaca pada kekosongan dan kesiapan untuk menerima setiap nilai amanat positif dari novel Kupu-kupu Biru ini. Sekali lagi, jangan pernah percaya dengan deret bahasa gila yang diungkapkan oleh pembaca yang buta ini. Karenanya, siapapun dapat membaca dan berproses menemukan ke”Aku”annya sendiri, di manapun, kapanpun, dan bersama siapapun. Yang lebih berharga bukanlah hasil, melainkan proses dan pengalaman ketika berproses. karena hal itulah yang tak dapat dibeli oleh rupiah berapapun dan tak bisa tergantikan oleh siapapun. So, sobat, alamilah pengalamanmu sendiri dan jangan takut berproses!

Begitulah setitik tinta yang terurai bersahutan menjejakkan agenda besar anak bangsa, BSA’12. Semoga berkenan di hati teman-teman semua. Terimakasih atas kerja samanya, dan atas paksaannya untuk membedah novel Kupu-kupu Biru. Akhirnya saya berkenalan dengan novel yang hadir dengan wajah alur yang unik dan kreatif. Sehingga saya pribadi merasa terkorek untuk memicu kreativitas menyelami dunia sastra yang begitu kaya. Terimakasih atas kesempatan untuk saya mengalami pengalaman berharga ini.

Sukses buat semuanya, berkah buat semua proses yang kita lalui bersama di BSA. Aamiin.
Teruslah berproses untuk menjadi pribadi yang memberikan manfaat untuk yang lain!


HISTISHA NR. (LITTLE RABBIT)

No comments:

Post a Comment