NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TEMBANG ILIR-ILIR KARYA SUNAN KALIJAGA
Himatul Istiqomah dan Muh. Ihsan Sholeh
Bahasa dan Sastra Arab –Pendidikan Fisika
Fakultas Humaniora – Fakultas Keguguruan dan Ilmu Pendidikan
UIN Maliki Malang – Universitas Jember
2015
ABSTRAK
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa Ibu yang unik, di Indonesia. Kosakatanya sangatlah khas dan kerap kali sulit dialihbahasakan secara leksikal. Sehingga, terjadi multitafsir ketika memahaminya. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi esensi orisinilitas maknanya. Justru, inilah yang memotivasi seseorang untuk berpandangan luas terhadap setiap patahan kata bahasa Jawa.
Tembang Ilir-ilir merupakan salah satu karya Sunan Kalijaga yang dirakit dengan kosakata bahasa Jawa sederhana. Namun, maknanya sangat dalam. Sebagaimana judulnya, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap nilai pendidikan karakter yang tersimpan di balik untaian katanya yang indah dan sangat simbolik. Tujuan tersebut direalisasikan melalui pendekatan kualitatif deskriptif, dengan teori semiotik dan analisis konten.
Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwasanya dalam tembang Ilir-ilir tersebut terdapat satu frase yang sangat simbolis dan memiliki tafsiran yang sangat luas, yaitu bocah angon, anak gembala. Simbol dari kesejatian sosok pemimpin sejati, yang sanggup ngemong, mengayomi, melindungi, dan mensejahterakan bangsa dengan sikap ulet dan bijaknya. Disamping itu, pekerjaan menggembala memberikan pendidikan karakter pada sosok pemimpin terkait strategi adaptasi agar dapat bertahan melewati seleksi alam dan melatih iritabilitas melalui sentuhan alam secara langsung sehingga mampu melakukan pemetaan medan dengan baik (strategi hijrah).
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Tembang Ilir-ilir, dan Sunan Kalijaga.
PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa kuno sesungguhnya memiliki kebudayaan yang amat kental dan maju. Mereka memiliki kemampuan literasi luar biasa, tulisannya sangat banyak, sangat lengkap, dan sangat teliti. Bahkan, Jawa pun memiliki ilmu waktu tersendiri. Hal ini diyakini berasal dari penelitian yang notabene metodologis dan sistematis, yang hingga saat ini sains pun belum mampu menjelaskannya (Panuluh, 2013).
Kondisi yang demikian selalu menjadi pertimbangan bagi para pendatang dan tokoh-tokoh yang berniat menjalankan misinya di Jawa. Hal ini pun dialami oleh wali songo ketika hendak menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Kentalnya budaya kejawen tidak mungkin dapat serta-merta diubah oleh kedatangan Islam, yang dianggap baru pada masa itu. Oleh karenanya, para wali tidak secara langsung mengenalkan Islam secara frontal apalagi dengan menggunakan dalil-dalil naqli atau mengafirkan ajaran kejawen yang sudah mendarah-daging di tengah masyarakat. Para wali memilih cara lain untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui jalur perdagangan, perkawinan, kesenian, dan pendidikan yang tak lain dengan model akulturasi.
Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Sahid merupakan salah satu dari wali songo yang getol memperjuangkan dakwah Islam di tanah Jawa. Kesadaran Kalijaga akan kondisi masyarakat Jawa dengan kentalnya kebudayaan kejawen yang berkembang di sana membuatnya lebih kreatif dalam merealisasikan misinya. Kalijaga memilih cara damai ketika mentransfer ajaran Islam di Jawa. Melalui jalur kesenian, Kalijaga mengadopsi dunia pewayangan Jawa dengan menyisipkan nilai-nilai dan ajaran Islam di dalamnya, seperti pementasan wayang yang bertema jimat kalimosodo, mahabarata, ramayana, dll.
Selain pewayangan, Kalijaga pun piawai mengarang tembang-tembang Jawa yang di dalamnya juga diisikan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Pada mulanya, pewayangan dan tembang-tembang Kalijaga dilakonkan di surau-surau untuk menarik perhatian masyarakat Jawa agar berminat mendatangi surau. Perlahan kegiatan seperti itu menjadi candu bagi masyarakat Jawa, sehingga mereka dengan sendirinya berduyun-duyun mengunjungi surau. Pada kesempatan seperti ini Kalijaga menjalankan misinya menyebarkan dakwah Islam dengan menyisipkan ajarannya di dalam pertunjukan wayang dan juga tembang-tembangnya. Dan dengan cara beginilah Kalijaga dapat mengambil hati masyarakat Jawa, sehingga tanpa disadari mereka perlahan berIslam dan berMuhammad dengan sendirinya tanpa menghapus kebudayaan Jawa.
Dengan alunan nada yang lembut kerap kali tembang-tembang Kalijaga dinyanyikan sebagai puji-pujian ketika masuk waktu shalat, selepas adzan sembari menunggu datangnya imam shalat. Sementara itu, para orangtua pun menyanyikan tembang Kalijaga ketika menimang putera-puterinya, bahkan dijadikan sebagai tembang pengantar tidur. Salah satu tembang yang tersohor hingga saat ini adalah yang berjudul Ilir-ilir. Satu tembang yang disusun dengan kosakata bahasa Jawa sederhana, namun menyimpan makna yang sangat dalam hakikatnya.
Sebagai bahasa ibu yang unik, bahasa Jawa kerap kali sulit dialihbahasakan secara leksikal. Bisa dibilang bahwasannya bahasa Jawa itu bersifat simbolis. Untuk memahaminya dibutuhkan penafsiran-penafsiran melalui pemikiran luas dan pemahaman yang mendalam. Sehingga, tidak heran jika satu kata dalam bahasa Jawa bisa memiliki banyak makna dalam bahasa lain, atau satu kata bahasa Jawa mewakili banyak istilah dalam bahasa lain. Hal ini juga berlaku pada tembang Ilir-ilir. Sebuah tembang yang bukan sekadar memberikan hiburan, melainkan juga mengandung pengajaran dan nilai-nilai pendidikan yang disimbolkan dalam rangkaian kosakatanya yang indah. Horace menyebut fungsi sastra yang demikian itu dengan istilah dulce at utile (Wellek dan Warren, 1989: 25).
Fakta di atas itulah yang menarik perhatian peneliti untuk membahas makna yang tersembunyi di balik tembang Ilir-ilir. Kosakata yang simbolis dan kaya akan tafsiran di dalamnya akan dibedah oleh peneliti menggunakan teori semiotik melalui analisis konten, dengan judul Nilai Pendidikan Karakter dalam Tembang Ilir-ilir Karya Sunan Kalijaga. Selain mengungkap makna simbol, peneliti juga berupaya menjelaskan relevansinya dengan kehidupan nyata melalui cerminan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks. Untuk memperoleh pemahaman mendalam terkait tembang Ilir-ilir dan jawaban dari rumusan masalah yang telah disampaikan, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Ruang lingkup dalam pendekatan ini memang tidak terlalu luas, tetapi justru dapat memperdalam pemahaman objek yang dikaji (Mahsun, 2014: 34). Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang terkandung dalam teks yang diteliti secara kritis.
Adapun Sumber data primer dalam penelitian ini berupa teks tembang Ilir-ilir yang terdapat dalam buku Sari-sari Basa Jawi Pepak yang disusun oleh M. Abi Tofani dan diterbitkan oleh Yayasan “AMANAH”, Tuban – Kantor pusat Surabaya. Sedangkan sumber data sekunder berupa penelitian terdahulu terkait nilai pendidikan karakter, analisis semiotik dalam karya sastra, dan buku pendukung lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode library research. Untuk mencapai hasil penelitian yang objektif, peneliti menggunakan teori semiotik yang bertujuan menemukan makna simbol (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 185) dalam tembang tersebut melalui teknik analisis konten, yaitu pengadaan data (meliputi penentuan unit analisis, pengumpulan, dan pencatatan data), inferensi, kemudian analisis data (Endraswara, 2013: 162-164).
HASIL PENELITIAN
a. Teks Tembang Ilir-ilir
Lir-ilir lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon bocah angon
Penekno blimbing kui
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro dodot iro
Gumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yok surako surak iyo
(Dalam Tofani, tt: 96)
b. Nilai Pendidikan Karakter dalam Tembang Ilir-Ilir
1. Makna simbol Bocah Angon
Bocah angon bocah angon
Penekno blimbing kui
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Frase Bocah Angon dalam bahasa Indonesia setara dengan anak gembala. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata gembala sebagai 1) penjaga atau pemiara binatang ternak, 2) penjaga keselamatan orang banyak (KBBI v1.1 offline).
Sedangkan kata anak yang mendahului kata gembala yang dimaksudkan di sini generasi muda atau siapapun yang berjiwa muda. Artinya, tanggungjawab menjaga keselamatan orang banyak (sebut bangsa) adalah menjadi tanggung jawab generasi muda dan semua yang berjiwa muda.
Generasi muda dengan jiwa mudanya mampu menjadi tombak sebuah bangsa untuk memperkuat pertahanannya dan memperkokoh pembangunannya (Ar-Rahman, 2002: 273). Baik dari segi materi seperti perekonomian bangsa maupun non materi seperti moral dan karakter bangsa. Sebab, di masa muda kapasitas energi seseorang sangatlah tinggi, yang sangat eman jika diabaikan begitu saja tanpa dimanfaatkan dan didayagunakan dengan tepat. Fisika menyebutnya dengan energi potensial (Munasir, 2004: ix), yang diartikan sebagai energi yang tersimpan dalam banda diam dan akan sangat berkontribusi besar ketika diberikan gaya yang mengubahnya menjadi energi kinetik. Dan hal ini akan berlaku pada generasi muda yang diupayakan pemberdayaan energinya.
Kendatipun demikian, dalam praktiknya, langkah yang diambil generasi muda tidak boleh terlepas dari peranan golongan tua. Sebab, golongan tua telah lebih dulu menikmati asam garam dan lebih tahu pahit getirnya kehidupan. Belajar dari pengalaman golongan tua akan membuat golongan muda bisa menentukan kebijakan yang lebih baik dan agar tidak mengulang kesalahan yang sebelumnya dilakukan oleh golongan tua. Sehingga, energi kaum muda harus senantiasa beriringan dengan pengalaman kaum tua, untuk membangun kualitas bangsa dan menyongsong baldatun thayyibatun (negeri yang aman sentosa). Hal itu sebagaimana yang dicita-citaka Nabi Ibrahim dalam doanya (QS. Al-Baqarah: 126).
Artinya: “Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman (di antara mereka) kepada Allah dan hari kemudian.” (Jassin, 1978: 24).
Sementara frase anak gembala di sini adalah sebuah simbol yang menandakan seorang pemimpin sejati. Anak gembala memiliki sifat ulet dan sangat bijak ketika menggembalakan ternaknya.
Bertolak dari simbol di atas, didapati pendidikan karakter bagi sosok pemimpin sejati. Pemimpin sejati seyogyanya memiliki jiwa gembala yang sanggup ngemong, mengayomi, melindungi, dan mensejahterakan bangsa.
Tentu saja anak gembala ini boleh seorang dokter, seniman, sastrawan, kiai, jendral, atau siapapun saja yang memiliki daya angon (Nadjib, 1999: 102), sebagaimana disebutkan di atas.
Seberat apapun tugas yang dipikul, setinggi apapun gunung yang didaki, securam apapun jurang yang dituruni, selicin dan setajam apapun medan yang dilalui, seorang pemimpin harus tetap menjadi pamong bagi rakyatnya. Ia harus tetap mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadinya.
Permasalahan bangsa yang kompleks pun tidaklah menjadi kendala bagi sosok pemimpin berjiwa gembala untuk berupaya menemukan solusinya. Dengan keuletannya, seorang pemimpin sejati akan dapat mengatasi permasalahan yang melanda bangsa. Dan dengan kebijakannya, seorang pemimpin sejati akan dapat memilah solusi yang tepat sekiranya tidak merugikan atau menyengsarakan bangsa.
Bercermin pada kepribadian Nabi Muhammad Saw, sosok bocah angon sangat mendominasi perilaku beliau. Nabi Saw tampil sebagai seorang pemimpin yang sangat ulet menyiasati permasalahan bangsa Arab di masa itu. Beliau senantiasa memberikan keputusan yang bijak dengan mengutamakan kesejahteraan bangsa. Bahkan, sejak sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul.
Salah satu contoh, ketika terjadi banjir di Makkah al-Mukarramah yang sampai merobohkan Ka’bah, terjadi perselisihan yang hampir menumpahkan darah di antara kaum Quraisy dari berbagai kabilah saat merenovasi Ka’bah. Mereka memperebutkan Hajar Aswad untuk diletakkan kembali pada tempat yang semula di sisi Ka’bah. Kemudian, salah seorang tokoh Quraisy memberikan saran untuk mengadakan sayembara, “barang siapa yang pertama memasuki pintu Masjid Al-Haram, dialah hakim yang berhak memberikan keputusan terkait peletakan Hajar Aswad tersebut” (Al-Usairy, 2003: 83). Ternyata, orang yang pertama memasuki pintu Masjid Al-Haram tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw. Kemenangan yang diperoleh beliau ini tidak membuatnya berbangga diri dan langsung meletakkan Hajar Aswad pada posisi yang seharusnya. Akan tetapi, beliau malah membentangkan surbannya dan meminta setiap pemimpin kabilah Quraisy untuk memegang ujung surban. Nabi Saw meletakkan Hajar Aswad di bagian tengah surban, sehingga setiap pemimpin kabilah Quraisy dapat mengangkat Hajar Aswad tersebut bersamaan. Barulah kemudian Nabi Saw yang menempatkan Hajar Aswad di sisi Ka’bah sebagaimana semula.
Peristiwa itu terjadi ketika Nabi Saw berusia 35 tahun (Al-Barzanjiy, 2008: 114). Artinya, beliau belum menjadi Nabi dan Rasul. Meskipun demikian, jiwa leadership sudah melekat pada kepribadian beliau. Dan setelah menjadi Nabi dan Rasul, beliau tidak kehilangan jiwa leadershipnya, justru semakin terasah dan menunjukkan kesejatian beliau sebagai pemimpin sejati.
Kepribadian yang seperti itu, disinyalir berasal dari profesi beliau sebagai penggembala yang dilakoni sejak masa kecilnya. Sejak dalam asuhan Halimah, Nabi Muhammad Saw kerap kali menemani putra Halimah menggembalakan ternaknya. Kemudian ketika diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, Beliau menggembalakan domba-domba orang Makkah untuk diupah, agar dapat membantu pamannya memenuhi kebutuhan ekonomi. Secara tidak langsung, menjadi anak gembala telah berefek pada pembentukan kepribadian Nabi Saw sejak kecil. Dan dari sinilah frase bocah angon, anak gembala berlaku sebagai simbol kesejatian pemimpin sejati, yang memberikan nilai pendidikan karakter positif bagi seluruh umat manusia yang mau meneladaninya.
2. Makna simbol Pekerjaan Angon
Bocah angon bocah angon
Penekno blimbing kui
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Kata Angon merupakan bentuk kata kerja yang dalam bahasa Indonesia setara dengan verba menggembalakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata menggembalakan dengan menjaga dan memiara binatang (terutama ketika binatang itu sedang di padang rumput, dsb) (KBBI v1.1 offline).
Ketika penggembala itu sedang menunaikan profesinya, ia seharusnya dapat menjaga dan melindungi ternaknya dari segala sesuatu yang dapat membahayakan atau mengancam keselamatan. Penggembala pun seharusnya memperhatikan kesehatan dan kelangsungan hidup ternaknya dengan memberikan pakan dan minum secara teratur dan membangunkan kandang yang layak. Sehingga, ternaknya akan mampu bertahan melewati seleksi alam.
Hal di atas mengajarkan pendidikan karakter kesejatian sosok pemimpin sejati terkait strategi adaptasi untuk bertahan melewati seleksi alam. Artinya, dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin haruslah mampu beradaptasi dengan kondisi sosial masyarakat dan lingkungan sekitar. Sehingga pemimpin tidak berlaku semaunya dan seenaknya sendiri.
Disamping untuk menyelamatkan diri sendiri, sosok pemimpin haruslah bertekad berupaya menyelamatkan bangsanya pula. Sebut saja seleksi alam itu dengan krisis. Baik krisis material, seperti kesenjangan ekonomi, maupun nonmaterial, seperti krisis identitas diri dan kemerosotan moral bangsa. Dalam hal ini, seorang pemimpin harus mampu memenej kebijakan-kebijakan yang sekiranya layak untuk diterapkan dan tidak merugikan bangsa.
Misalnya, dalam ajaran Islam diajarkan untuk menunaikan zakat dan bersedekah. Yang demikian itu adalah salah satu karakter Islam yang menjunjung tinggi pemerataan kesejahteraan bangsa, melalui pemberian harta yang semestinya diterima oleh yang berhak atasnya. Dan bagi nonmuslim diberlakukan pungutan pajak sebagai bentuk keadilan menanggulangi permasalahan ekonomi.
Dengan angon, menggembalakan, seseorang juga dapat mempelajari strategi pemetaan medan melalui sentuhan rangsangan yang diberikan oleh alam. Tentu saja seorang penggembala tidak akan menggembalakan ternaknya di padang pasir yang terhampar tanpa rerumputan dan tanpa dialiri air. Sebaliknya, penggembala akan lebih dulu memilihkan medan yang tepat untuk ternaknya digembalakan dengan layak. Memilih padang rumput yang hijau dan subur, dekat dengan sumber air, dan memastikan keamanan medan. Sehingga, ternak-ternaknya dapat menikmati taman surganya dalam penggembalaan.
Begitu pula seorang pemimpin sejati, ia harus mampu memetakan medan yang akan menjadi target pengembangan kualitas bangsa. Menjaga dan melindungi sumber daya alam yang ada, memanfaatkan seperlunya, meremajakan kembali sekiranya sumber daya alam itu dapat diperbarui, seperti reboisasi hutan dan menghemat pemakaian jika itu tak dapat diperbarui, seperti pembatasan pengerukan bahan tambang, dll.
Disamping itu, sumber daya manusianya juga harus turut diupayakan pengelolaannya oleh seorang pemimpin. Sebab, pemimpin lah yang memiliki kekuasaan dalam tata kelola, baik dalam lingkup organisasi kecil sampai besar, maupun pemimpin dalam satuan kecil seperti organisme. Sebagaimana hadis Nabi Saw yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya setiap organisme merupakan pemimpin.
Artinya: “Kamu semua adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori, 1442 H: 5).
Adapun pekerjaan menggembalakan ternak sebagai strategi adaptasi dan pemetaan medan pun telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Salah satu yang dapat diteladani adalah strategi hijrah yang beliau terapkan pasca pengangkatannya sebagai nabi dan rasul.
Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah, Nabi Saw merasakan bahwa tanah Makkah begitu tandusnya,[1] sehingga tidak akan mampu ditumbuhi tunas-tunas tumbuhan yang baru. Maka Beliau pun memutar otak memikirkan solusinya. Akhirnya, hijrah dari bumi Makkah menjadi pilihan untuk menyelamatkan kaum Muslim dari kelaliman tangan-tangan kaum Kafir Quraisy.
Hijrah yang pertama dilakukan ke Negeri Habsyah (Etiopia) pada tahun kelima kenabian, yang dipimpin oleh Utsman bin Affan r.a. bersama istrinya Ruqayyah r.a. (Mubarakfury, 1999: 36-37). Nabi Saw memerintahkan kaum Muslim hijrah ke Habsyah karena Beliau sudah kenal baik raja Najasy. Sehingga, dalam pertimbangannya, di sana kaum Muslim akan mendapat perlindungan dari sang raja ketika tahu itu adalah atas perintah Nabi Saw. Dan pada kenyataannya, di sana Raja Najasy menyambut kaum Muslim dengan penuh kehangatan dan bersedia memberikan perlindungan dari siksaan kaum Kafir Quraisy Makkah. Dan hijrah ke Habsyah ini sampai diulang dua kali.
Kemudian hijrah ke Thaif pada tahun kesepuluh kenabian (Mubarakfury, 1999: 51-52). Karena Nabi Saw belum mengenal dekat penguasa di Thaif, Beliau pun berangkat lebih dulu bersama sahabat Zaid bin Haritsah untuk memastikan kondisi di sana. Awalnya Nabi Saw memperhitungkan akan penerimaan orang Thaif, sekiranya dengan itu dakwah Islam akan semakin mendapat fasilitas yang lebih besar dan kaum Muslim mendapat perlindungan. Tapi, di luar perhitungan Nabi Saw, kaum Kafir Quraisy mengetahui akan misi ini. Mereka pun mendahului untuk berangkat ke Thaif dan memprofokasi masyarakat Thaif dengan menjelek-jelekkan Nabi Saw. Akhirnya, sesampainya Nabi Saw dan Zaid di Thaif, sambutan yang diterima adalah lemparan bebatuan yang sampai membuat Nabi Saw berdarah dan giginya gugur. Akan tetapi, di sini Nabi Saw masih tetap bersyukur, karena yang mendapatkan perlakuan itu adalah Beliau sendiri, bukan umatnya. Dan kejadian ini membuatnya mengurungkan niat untuk menghijrahkan kaum Muslim ke Thaif.
Dan yang terakhir adalah hijrah ke Madinah al-Munawwarah pada tahun ketiga belas kenabian, pasca dilakukannya baiat aqobah kedua (Mubarakfury, 1999: 64-66). Nabi Saw mendahulukan kaum Muslim untuk hijrah ke Madinah, karena sebelumnya Beliau sudah membuat perjanjian dengan masyarakat Madinah (Anshar) untuk menerima kaum Muslim Makkah (Muhajirin). Seluruh lahan-lahan yang kosong diminta untuk direlakan agar dikelola oleh kaum Muhajirin. Sehingga, keberangkatan mereka tidak mengundang kekhawatiran bagi Nabi Saw. Sebab, Beliau memang sudah mempersiapkan banyak hal terkait yang dibutuhkan umatnya di tempat baru di Madinah. Sementara itu, Nabi Saw baru kemudian menyusul berhijrah setelah lolos dari kepungan kaum Kafir Quraisy Makkah.
Dari flashback sejarah hijrah yang dipetakan Nabi Saw di atas, ketiganya sudah melalui perencanaan dan perhitungan yang matang, yang bertujuan menyejahterakan kelangsungan hidup umat dan menyebarluaskan dakwah Islam. Nabi Saw sudah melakukan pemetaan medan dan melakukan negoisasi-negoisasi dengan para penguasa dan juga masyarakat di tempat yang menjadi sasaran hijrah. Nabi Saw lebih dulu memastikan ketersediaan perlindungan dan pengamanan bagi umatnya. Dan beliau merelakan diri untuk menanggung setiap luka dan duka umatnya.
Berdasarkan kenyataan pembuktian kesejatian Nabi Saw sebagai sosok pemimpin sejati ini adalah cerminan dari keteladanan Beliau menggembalakan ternak dari masa kecilnya. Dan urgensitas angon pun mendapat perhatian besar di sisi Allah, mengingat besarnya pengajaran dan pendidikan karakter yang dapat diteladani dari profesi angon maupun sosok bocah angon, sebagaimana bunyi hadits berikut.
Artinya: “Tidaklah Allah mengutus seorang rasul kecuali dia pasti akan menjadi penggembala kambing.” Sahabat bertanya: “Engkau juga kah wahai Rasul?” Beliau menjawab: “Ya, saya menggembalakan dengan mendapatkan upah dari penduduk Makkah.” (Al-Usairi, 2003: 81)
PENUTUP
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwasannya dalam tembang Ilir-ilir yang dikarang oleh Sunan Kalijaga terdapat sebuah frase yang simbolis dan sangat dalam tafsirannya. Frase itu tak lain adalah Bocah Angon, anak gembala. Di sini anak gembala ditafsiri sebagai sosok sejatinya pemimpin sejati yang memiliki jiwa gembala yang sanggup ngemong, mengayomi, melindungi, dan mensejahterakan bangsa dengan sikap ulet dan bijak.
Disamping itu, kata verba Angon, menggembalakan, merupakan sebuah profesi yang sangat urgen yang mampu memberikan pengajaran dan pendidikan karakter kesejatian pemimpin sejati yang mampu menyusun strategi adaptasi sehingga terselamatkan dari seleksi alam dan juga upaya pemetaan medan sebagai strategi hijrah mencari penghidupan yang lebih layak.
Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk turut berpartisipasi dalam terselenggaranya agenda Seminar Nasional Bahasa Ibu.
DAFTAR PUSTAKA
البخاري، إمام. 1422 ه. صحيح بخاري رقم 893 جزء الثاني. دون المطبعة: دار طوق النجاه.
البرزنجي، جعفر بن حسن. 2008. "مولد البرزنجي (نثرا)." بسام محمّد بارود (المحقّق). مولد
البرزنجي. أبو ظبي: إصدارات الساحة الخزرجّية.
البرزنجي. أبو ظبي: إصدارات الساحة الخزرجّية.
الرحمن، عبد بن إبراهيم الفوزان. 2002. العربيّة بين يديك كتاب الطالب (2). رياض: مشروع العربيّ للجمع – مؤسّسة الوقف الإسلامي.
Al-Usairi, Ahmad. 2003. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Samson Rahman (Terj.). Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra – Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Jassin, HB. 1978. Al-Qur’an Bacaan Mulia. Jakarta Pusat: Djambatan.
KBBI v1.1 offline.
Mubarakfury, Shafiyyur Rahman. 1999. Sejarah Hidup dan Perjuang Rasulullah Saw. Disarikan dari Kitab Ar-Rahiqul Makhtum. Abdullah Haidir (Terj.). Riyadh – KSA: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang al-Sulay.
Munasir. 2004. “Energi Kinetik dan Energi Potensial”. Modul FIS.10. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nadjib, Emha Ainun. 1999. Ikrar Khusnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia. Tk: HAMAS – Padhang mBulan.
Panuluh, Sabrang Mowo Damar (Noe). 2013. “Puncak dari Ilmu Pasti Adalah Tidak Pasti”. Buletin Maiyah Relegi Edisi Berhimpun Bersama Menghimpun Cintanya. Malang: Maiyah Relegi.
Tofani, M. Abi. Tt. Sari-sari Basa Jawi Pepak. Tuban – Kantor pusat Surabaya: Yayasan “AMANAH”.
Wahyuningtyas, Sri dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.). Jakarta: PT Gramedia.
[1] Analogi untuk kaum Kafir Quraisy Makkah yang hatinya sudah mengeras melebihi batu dan sangat berlebihan menyiksa kaum Muslim.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu IX di Universitas Udayana Denpasar, Februari 2016
No comments:
Post a Comment