NILAI HUMANISME PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI
DALAM FOOTNOTES KARYA LENA MARIA
oleh:
Himatul Istiqomah
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Di antara banyaknya penafsiran dan klaim humanisme dari berbagai paham, Islam memberikan pandangannya secara lebih komprehensif. Manusia di bumi dipandang sebagai seorang khalifah (al-Baqarah: 30), tanpa menghilangkan aspek ketuhanan. Berpijak pada pemahaman humanisme Ali Syari’ati, peneliti berupaya menguak nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam Footnotes (karya dari artis penyanyi profesional yang multitalenta, Lena Maria) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Sulistiyowati, dan memaparkan bagaimana penyampaiannya. Tujuan tersebut direalisasikan melalui pendekatan kualitatif deskriptif, dengan analisis isi kualitatif terbaru versi Mayring.
Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya dalam Footnotes yang dianalisis sarat akan nilai-nilai humanisme, di antaranya: nilai religius, nilai optimis, nilai kreatif, yang didukung oleh nilai moral, nilai kesadaran, nilai kebebasan, dan nilai sosial. Adapun penyampaiannya cenderung menggunakan gaya bahasa yang lugas dan tidak metafora. Tulisan dalam Footnotes ini berangkat dari kisah nyata penulis. Sebagai seorang yang multitalenta, tulisannya sarat akan nilai religius, optimis dan kreatif, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi pembacanya, bahwa cacat fisik bukanlah alasan yang menghalangi seseorang untuk menjadi sosok yang humanis.
Kata Kunci: nilai-nilai humanisme. humanisme Ali Syari’ati, Lena Maria, dan Footnotes.
ABSTRACT
Among the many interpretations and claims of humanism by some ideologies, Islam provides its view more comprehensively. Man on earth is seen as a caliph (al-Baqarah: 30), without losing the aspect of divinity. Based on the understanding of Ali Syari’ati’s humanism, researchers seek to uncover the values of humanism contained in Footnotes (the work of a multitalent singer, Lena Maria) that be translated by Endang Sulistiyowati, and explain how the delivery. The goal is realized through a descriptive qualitative approach, with qualitative content analysis of the latest version of Mayring.
The results of this study indicate that Footnotes was analyzed loaded with the values of humanism, among them: religious values, optimistic, and creative values, which supported by moral, freedom, and social values. The delivery tend to use simple language and not metaphors. The writing in Footnotes was from the really story of the writer. As a multitalent, it’s writing loaded with the religious values, optimistic, and creative values, so she can be a motivator and inspirator for the reader, that the less of body is not reason which close someone to be humanist.
Keywords: The Values of Humanism, Ali Syari’ati’s humanism, Lena Maria, and Footnotes.
الملخص
من عديد التفاسير والمطالبات الإنسانية من الأيديولوجيات، يقدم الإسلام نظرته أكثر شمولية. وينظر الإنسان في الأرض باعتبار الخليفة (البقرة: 30)، دون أن تفقد جانب الألوهية. استنادا إلى فهم الإنسانية لعلي شريعتي، سعى الباحثان كشف عن القيم الإنسانية الواردة في فوتنوتس كتأليف أهل الغناء الفعّالية لينا ماريا وشرح كيفية إيصال القيم. وقد تحقّق ذاك الهدف باستخدام المنهج الوصفي الكيفي مع أحدث تحليل المحتوى الكيفي لمايرينج (Mayring).
فأمّا نتائج هذه الدراسة تشير إلى أن الأشعار في فوتنوتس التي قد تمّت تحليلها ملآن بالقيم الإنسانية، منها: القيم الدينية والمتفائلة والإبداعية والزيادة بالقيم الحسّية والحرّية والاجتماعية. ويميل إيصالها إلى استخدام اللغة البسيطة ولا الاستعارة. وكانت كتابة فوتنوتس هذه من قصّة الكاتبة الواقعيّة. كالفعاليّة صارت كتابتها ملآن بالقيم الدينية والمتفائلة والإبداعية، حتى كانت تشجّع وتدافع القرّاء أنّ علّة الجسد هي ليست البرهنة الغالقة لمن أن تكون إنسانيّا.
كلمات البحث: القيم الإنسانية والإنسانية لعلي سريعتي ولينا ماريا وفوتنوتس.
PENDAHULUAN
Humanisme merupakan istilah yang muncul pada pertengahan abad ke-14 M. Awalnya humanisme merupakan gerakan masif kaum intelektual yang telah mulai merasa jenuh dengan hegemoni kaum Gereja. Sebab, kaum Gereja memiliki orientasi berpikir terlalu teosentris dan cenderung merendahkan peran aktif manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk tanpa daya di hadapan tuhan. Bambang Sugiharto menyebut masa itu sebagai state of art, karena proses pergulatan pola pikir teologis dan metafisis semakin canggih walau masih abstrak (Sugiharto, 1997: 39). Pergulatan pemikiran ini kemudian membangunkan kesadaran kodrati dan melahirkan pola pikir rasional dengan melepas kerangka teologis metafisis dogmatis beralih ke antroposentris yang bersifat kritis dengan manusia sebagai titik pusat pemikiran.
Istilah humanisme di abad ke-21 berkembang semakin pesat, dengan adanya telaah kritis dan gerakan interpretasi. Hal ini disebabkan karena proses interpretasi dan perbedaan metode yang digunakan serta segala hal yang melandasi dalam proses interpretasi tersebut, seperti agama ataupun ideologi. Walau berbeda interpretasi, kajian humanisme tetap tidak dapat dipisahkan dari dimensi kemanusiaan.
Pada bagian ini, Islam berkontribusi memberikan pandangannya terkait humanisme sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Artinya, memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Kendati pun konsep-konsep humanisme diadaptasi dari filsafat Yunani, humanisme dalam Islam tetap memiliki aspek transendental. Islam memandang manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh (wakil Allah di bumi), sebagaimana tersurat dalam firman-Nya al-Baqarah ayat 30, yang artinya sebagai berikut.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Departemen Agama RI, 2005: 6)
Sebagai khalifah, manusia diberikan kuasa untuk mengatur tata ruang dan segala yang mencakup aspek kehidupan di muka bumi. dengan catatan, manusia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya di hadapan Allah.
Salah seorang tokoh Islam yang gencar dalam menginterpretasikan humanisme adalah Ali Syari’ati. Ali Syari’ati memberikan bangunan atas interpretasinya dengan tidak hanya berlandaskan pada satu aspek saja, melainkan menggabungkan dan mencari sisi terbaik dari interpretasi yang telah ada, baik dari golongan marksisme, eksistensialisme, liberalisme barat, maupun agama (Syari’ati, 1992: 39-42). Sebagai dasar, Ali Syari’ati menjelaskan bahwasanya humanisme adalah nilai-nilai Ilahiah yang ada dalam diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan moral manusia (Kurnianingsih, 2003: 69). Humanisme yang disampaikan Ali Syari’ati berpijak pada asas-asas religiustias dan tidak melupakan konsep-konsep eksistensi manusia.
Ali Syari’ati demikian komprehensif memandang humanisme lantaran berpijak pada aspek-aspek religiustitas. Meninggikan harkat martabat manusia tanpa menghilangkan aspek ketuhanan. Memandang manusia tidak lagi melalui latar belakangnya untuk menciptakan sebuah kerukunan sesama agama ataupun lintas agama. Nilai-nilai humanisme demikian itu dapat ditemukan dalam beberapa kitab yang menjadi pedoman umat, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain itu, nilai-nilai humanisme juga dapat langsung dilihat melalui sebuah fenomena sosial yang terjadi. Tak kalah sering pula, nilai-nilai humanisme yang dirasakan seseorang dalam sebuah kehidupan dituangkan ke dalam sebuah karya sastra (Kisno dan Himmah, 2015).
Karya sastra, dalam salah satudefinisinya dapat dikatakan sebagai luapan emosi penulisnya. Luapan rasa tersebut dapat berupa kegelisahan sekaligus harapan mereka terhadap kemanusiaan yang semakin ditinggalkannya. Jiwa para sastrwan terpanggil untuk memberikan alternatif. Sebagai denyar-denyar gerak hati sastrawan, karena asal-muasalnya adalah suara jiwa kemudian diejewantahkan dalam bentuk karya, maka seharusnya sebuah karya sastra harus diperhatikan pesan yang dikandungnya. Penyair Sutarji Cholzum Bachri menjelaskan bahwasanya karya sastra dapat memberikan hikmah (Fakhrudin, 2015). Karya sastra dapat membuat orang yang membacanya tercerahkan. Karena dalam karya sastra tersebut kental dengan nilai-nilai humanisme (kemanusiaan). Dengan demikian karya sastra tidak hanya disenangi karena keindahan bahasanya, tetapi juga karena muatan maknanya.
Karya sastra itu memiliki hubungan yang sangat erat dan mendasar yang tidak dapat dielakkan, yakni hubungan dalam agama, sosial, dan individu itu sendiri. Sedangkan peranannya adalah menajadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai-nilai humanisme mendapatkan tempatnya yang layak secara wajar.
Pada kesempatan ini peneliti menghadirkan sebuah karya sastra milik seorang artis penyanyi profesional, Lena Maria, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Sulistiyowati. Dengan cacat fisik yang disandangnya, Lena tidak pernah mengeluhkannya. Bahkan, Lena mampu menjalani aktivitasnya secara mandiri layaknya orang normal lainnya. Jejak perjalanan hidupnya yang kemudian ditulis dalam Footnotes ini menjadi motivasi dan inspirasi bagi banyak orang. Terlebih bagi yang memiliki cacat tubuh, melalui tulisannya Lena mampu memberikan gambaran dan teladan yang positif, sehingga cacat fisik bukan lagi dapat dijadikan alasan yang menghalangi seseorang untuk memanusiakan manusia, dimulai dari pribadinya.
Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui nilai-nilai humanisme yang dimiliki Lena Maria dan bagaimana penyampainnya. Apa yang sesungguhnya disampiakan oleh Lena Maria, sehingga dia mampu menjadi sang motivator dan inspirator bagi banyak orang. Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti menentukan Footnotes sebagai objek penelitiannya. Dalam merealisasikan tujuannya ini, peneliti akan menggunakan teori humanisme Ali Syari’ati, karena teori ini demikian komprehensif dengan segala asepk yang dimuatnya. Hal ini dilakukan bukan sebagai tindakan untuk mencari sebuah kesalahan atau kebenaran terkait yang dialami oleh Lena Maria, namun peneliti ingin mengetahui bagaimana praktik humanisme yang disampaiknya melalui tulisannya, yang terkodifikasikan dalam Footnotes.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirosah nusus) atau analisis teks. Untuk memperoleh pemahaman mendalam dalam tulisan Lena Maria, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab, dengan pendekatan ini, dapat menghantarkan peneliti untuk memperoleh jawaban dari rumusan masalah yang telah disampaikan. Pendekatan kualitatif ini ruang lingkupnya memang tidak terlalu luas tetapi dengan ini justru akan didapatkan pemahaman mendalam terhadap objek yang dikaji (Mahsun, 2014: 34). Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang terkandung dalam teks yang diteliti secara kritis. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Footnotes dan sumber data sekunder adalah penelitian terdahulu terkait nilai humanisme dan buku-buku yang mengkaji humanisme. Pengumpulan data dilakukan dengan metode library research. Untuk mencapai hasil penelitian yang objektif, peneliti menggunakan analisis isi (content analysis), yangmana di dalamnya ada sembilan tahapan sebagaimana disampaikan oleh Mayring (dalam Titscher, dkk, 2000: 108), yakni: penentuan materi, analisis situasia tempat asal teks, pengarakteran materi secara formal, penentuan arah analisis, diferensiasi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan teori yang ada, penyeleksian teknik-teknik analisis (ringkasan, eksplikasi, dan penataan), pendefinisian unit analisis, analisis materi (ringkasan, eksplikasi, dan penataan), dan interpretasi.
PEMBAHASAN
A. LENA MARIA
Lena Maria adalah seorang wanita yang menyandang cacat fisik sejak lahir, tahun 1968 di Jonkoping-Swedia. Lena tidak memiliki kedua tangannya, kaki kirinya berukuran separuh dari kaki kanannya (yang normal). Kendati pun begitu, cacat fisik tidaklah menjadi halangan untuk Lena tumbuh layaknya orang normal lainnya. Lena mampu menjalani aktivitasnya secara mandiri. Hal itu tidak lain berkat kepercayaannya terhadap kuasa Tuhan yang amat kuat. Sehingga Lena selalu menyandarkan dirinya dan apapun yang dilakukannya pada Tuhan.
Kemandirian yang sudah menjadi bagian dari kepribadian Lena, tidak menafikan daya kreatif yang dimilikinya pula. Lena bahkan berprestasi di berbagai bidang, seperti olahraga renang, melukis, bermusik, menyanyi, dan masih banyak yang lainnya. Dan pada saat karya ini ditulis, Lena berprofesi sebagai seorang seniman; sekaligus penyanyi, pelukis, pembicara, dan penulis. (Maria, 2009).
B. FOOTNOTES
Footnotes adalah salah satu judul buku yang ditulis oleh Lena Maria, yang menceritakan kisah nyata perjalanan hidupnya. Footnotes pertama kali diterbitkan pada tahun 1996 di banyak negara dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya Norwegia, Denmark, Finlandia, Jerman, Prancis, Thailand, Jepang, Estonia, dan Inggris. Dan yang kini berada di tangan penulis adalah Footnotes yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh Endang Sulistiyowati. Karya ini diterbitkan oleh Dastan Books, Jakarta pada tahun 2009.
Footnotes sama dengan artinya “catatan kaki”, yaitu berupa kisahan yang benar-benar ditulis menggunakan kaki, oleh Lena Maria. Karya ini terdiri dari 248 halaman dengan 15 bab yang ditutup dengan catatan akhir Lena.
Adapun rincian bab dalam Footnotes adalah sebagai berikut:
1. “Dia Tetap Membutuhkan Tempat Tinggal”
2. Botol Susu dalam Genggaman Ibu Jari Kakiku yang Besar
3. Menolong Tanpa Halangan
4. Kaki Palsu dan Tongkat Berharga
5. Sekolah – dnegan Caraku Sendiri
6. “Lebih Aman dari Siapa pun”
7. Seperti Ikan di Dalam Air
8. Menuju Olimpiade di Seoul
9. Dengan Menyanyi dan Synthesizer
10. Bukan “Lena Johansson” – Yang Tidak Memiliki Tangan
11. Dengan Goal in Sight – Tapi Mengapa?
12. Yang Kupelajari di India
13. Sayonara – Jepang di Hatiku
14. Kami Hanya Sekadar Teman
15. Kau Mengawasiku Bahkan Sebelum Aku Lahir
Catatan Akhir (Maria, 2009).
C. Nilai Humanisme dalam Footnotes
1) Nilai Religius
Lena sebagai seorang penganut ajaran Kristen yang taat, dia selalu menyandarkan dirinya dan apapun yang dilakukannya pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Keyakinan yang dimiliki Lena tak lepas dari pendidikan yang diberikan kedua orangtuanya sejak dini. Sebab, kedua orangtua Lena pun penganut ajaran Kristen yang taat. Hal ini sebagaimana dituliskan Lena dalam Footnotes, sebagai berikut.
Kedua orangtuaku adalah penganut ajaran Kristen, dan anggota aktif persekutuan gereja setempat. Mereka memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhan. (Maria, 2009: 21)
Ayah berdoa sekhusyuk mungkin pada Tuhan. Aku tahu banyak sekali pertanyaan di dalam benaknya yang ingin ia tanyakan pada Tuhan, dan ia berjanji akan berusaha yang terbaik untuk masa depan. (Maria, 2009: 21-22)
Kedua paragraf di atas membuktikan bahwasannya keluarga Lena memang penganut ajaran Kristen yang taat. Dalam kondisi yang sangat sulit pun, si ayah masih setia bertegur sapa dengan Tuhan melalui doanya.
Satu-satunya bagian tubuhku yang bisa digerakkan dengan bebas hanyalah bagian kepala, itu sebabnya satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan selama itu hanyalah membaca. (Maria, 2009: 61)
Melihat penggalan paragraf di atas, tak ada yang dapat menebak bagaimana dan seperti apa cara Tuhan untuk mendekati hambaNya. Mungkin, dilahirkannya Lena dalam keadaan cacat fisik menjadi celah untuk Lena dan keluarganya senantiasa merasakan kedekatan Tuhan dengan mereka. Dan siapa yang menyangka jika anak seumuran gadis cilik Lena (sebelas tahunan), lebih memilih Alkitab sebagai bacaan favoritnya daripada buku-buku lain yang lazimnya digandrungi bocah sebayanya.
Kedekatan dengan Tuhan yang sejak kecil tertanam dalam pribadi Lena senantiasa terjaga hingga dia tumbuh dewasa. Lena bahkan tak segan-segan membincangkan Tuhan di tengan kerumunan banyak orang yang menghujani pertunjukan musiknya. Lena pun selalu mnejadikan Tuhan sebagai alasan di balik setiap kesuksesan yang memeluknya. Hal itu tampak dalam tulisan Lena berikut,
Tapi saat presenter program acara News Station bertanyapadaku mengapa aku selalu terlihat bahagia dan memiliki kekuatan untuk melakukan banyak hal, mau tidak mau aku harus mengatakan pada presenter tersebut tentang keyakinanku terhadap Tuhan. (Maria, 2009: 195-196)
Dengan cacat fisik yang disandangnya, Lena bukan menyalahkan Tuhan atau membenciNya, malah menjadikan Lena lebih akrab dengan Tuhan. Lena percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan rajutan banyak hal yang istimewa untuknya. Sehingga apun yang berada di luar batas kemampunnya, Lena selalu menyandarkan dirinya di pangkuan Tuhan. Terlebih katika Lena ditanyai perihal keinginan menikah. Respon yang ia tuturkan adalah sebagai berikut.
Tapi, sama seperti banyak hal lain, aku tidak pernah terlalu memikirkan masalah itu. Aku selalu memasrahkan nasibku kapeada Tuhan. Sebab, ia pun telah mengatur banyak hal menakjubkan lain di dalam hidupku. (Maria, 2009: 217)
Apa yang dipraktikkan Lena dalam hubungannya dengan Tuhan (hablun minallah; dalam Islam), setara dengan konsep yang terdpat pada potongan ayat 156 dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah, sebagai berikut.
إنّا لله وإنّا إليه راجعون. (البقرة: 156)
Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan hanya kepadaNya lah kami akan kembali.” (Al-Husni, tt: 173)
Apa yang diyakini Lena sangatlah tepat. Sebab, memang rezeki, umur, dan jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Sebagai manusia, Lena hanya bisa mengusahakan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya.
Aku merasa kasihan padanya dan aku selalu berdoa untuknya, karena aku tahu dia sedang mengalami kebimbangan. Aku tidak pernah putus-putus mengirimkan doa untuknya. (Maria, 2009: 220)
Kutipan di atas menunjukkan betapa Lena sangat percaya akan kuasa Tuhan. Dalam berdoa, Lena sama saja dengan memenuhi anjuran Tuhan yang difirmankanNya pada surat al-Mukmin 60, yang artinya, “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Departemen Agama RI, 2005: 474)
2) Nilai Optimis
Keputusan untuk membawa Lena pulang dan merawatnya di rumah, meski mereka tahu akan berisiko, merupakan bukti sisi optimis yang dimiliki oleh kedua orangtuanya.
“Memiliki tangan ataupun tidak, dia pasti membutuhkan tempat tinggal.” (Maria, 2009: 23). Itulah yang diujarkan ayah Lena dengan mantap ketika memutuskan untuk merawat Lena dan membesarkannya di rumah.
Ibuku selalu berpendapat bahwa sejak lahir aku memiliki naluri untuk bahagia. (Maria, 2009: 30)
Bukan hanya si ayah yang mampu berpikir optimis, kalimat di atas pun menunjukkan bahwasannya si ibu masih memiliki harapan besar akan kehadiran si mungil Lena yang diyakininya akan senantiasa dalam kebahagiaan. Naluri seorang ibu yang diyakini telah menjadi sebuah doa yang selalu tersenandungkan di hadapan Tuhan. Sehingga secara tidak langsung itu berpengaruh terhadap perkembangan Lena dalam pertumbuhannya. Lena sama sekali tak merasa bahwa kekurangan yang dimilikinya akan menghalanginya untuk tumbuh layaknya bayi normal lainnya.
Aku terus mempelajari dan mengembangkan hal-hal baru, meskipun aku tidak secepat anak-anak pada umumnya. (Maria, 2009: 31)
Kalimat di atas menunjukkan bahwa Lena adalah sosok yang mau berusaha keras mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sebab, seperti apapun manusia dilahirkan, ia tetap dalam bentuk penciptaan yang sebaik-baiknya dan membawa fitrah. Sebagaimana firman Allah dalam surat. At-Tin ayat 4, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Departemen Agama RI, 2005)
Dan hadits Nabi, yang artinya, “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: tidaklah anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah” (HR. Muslim). (Muslim, 2011: 596)
Islam tidak memaknai fitrah dengan arti kosong atau bersih, akan tetapi manusia dilahirkan dengan membawa bakat-bakat bawaan dan berbagai sumber daya insaniy yang potensial, yang seharusnya dikembangkan seseorang untuk membentuk pribadi yang berkarakter dan berkualitas.
“Tapi, satu hal yang membuat usahaku tidak sia-sia --- aku akhirnya bisa berjalan!” (Maria, 2009: 37)
Kemampuan Lena mengambil sisi positif di balik setiap ujian hidup yang dilaluinya (seperti kutipan di atas) membuatnya tumbuh menjadi sosok yang kuat. Jatuh dan terluka berulang kali ketika tertatih-tatih mengayunkan kakinya, baginya harus dia tekuni untuk akhirnya dia bisa melangkah tegak seperti yang lainnya.
Dia sangat mensyukuri tungkai palsu yang membantu menopang tubuhnya agar dapat berjalan normal. Bahkan ketika dia harus beristirahat dari tungkai palsunya dan beralih ke kursi roda, dia tetap mampu mengambil sisi positif dari semua fenomena itu. Sebagaimana terungkap dalam tulisannya berikut.
Bahkan dalam situasi tertentu kursi roda bisa membawa keuntungan. Aku tidak lagi harus menggunakan kaki untuk berjalan, sehingga kakiku bisa lebih banyak kupergunakan sebagai pengganti tangan. (Maria, 2009: 61)
Optimisme yang tinggi juga tergambar dalam keyakinannya dalam setiap doa yang dilantunkan, terlebih ketika dia berdoa untuk Bjorn (sahabat karibnya). Bjorn yang semula enggan dengan Tuhan beralih menjadi percaya dan semakin dekat dengan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam kalimat berikut.
Tentu saja adalah sebuah kemajuan besar jika kini Bjorn telah percaya pada Tuhan. (Maria, 2009: 222)
Keinginan Lena untuk menikah dengan laki-laki yang seagama dengannya pada akhirnya terpenuhi. Yang tidak lain pasangannya adalah sahabat karibnya sendiri, Bjorn.
Meski sempat merasa kikuk di awal pernikahan, mereka akhirnya dapat menemukan solusi terbaik untuk keduanya. Sebagaimana ujaran Lena berikut.
Untungnya kami selalu bisa mencari pemecahan semua masalah yang kami hadapi dengan membicarakannya secara terbuka. Kami tidak pernah memndam masalah dan selalu berusaha untuk menyerahkan kembali kepada Tuhan. (Maria, 2009: 229)
Lena juga memiliki tiga alasan yang membuatnya selalu bersikap optimis, yaitu:
a. Kita memang terlahir berbeda satu sama lain.
b. Orangtuaku yang tidak pernah menganggap kekuranganku sebagai aib dan tidak pula mendiskriminasiku.
c. Yang terpngenting karena aku yakin dengan Tuhan. (Maria, 2009: 234-235)
Korelasi ketiga itulah yang menjadi kunci Lena menjadi pribadi yang optimis, yang mana pada dasarnya itu berawal dari sisi religiusitas yang mendominasi kepribadian Lena.
3) Nilai Kreatif
Kreativitas seseorang seringkali muncul sebagai respon terhadap problem yang dihadapinya. Dalam konsep humanisme Ali Syari’ati, ini muncul sebagai salah satu bentuk eksistensialis manusia. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan Tuhan (Syari’ati, 1996: 48).
Karena kesulitan untuk menuntunku, mereka menggantungkan tali yang biasa digunakan untuk mencegah bayi terjatuh. Mereka juga menanbahkan tali yang terbuat dari kulit untuk diikatkan pada kakiku, sehingga tali khusus tadi tidak akan tertarik ke atas dan mencekik leherku. (Maria, 2009: 36)
Keadaan yang sulit dan situasi yang menghimpit seperti di atas bukanlah alasan untuk seseorang putus asa, melainkan justru hal itu membuat orang memaksimalkan otaknya untuk senantiasa berpikir kreatif dan solutif. Kreativitas yang dimiliki ayah dan ibu Lena ternyata dapat ditekuni Lena dan adikanya, Olle dengan baik. Terbukti ketika mereka sedang menikmati hari libur di hutan, yang dilukiskan sebagi berikut.
Biasanya aku dan Olle membangun sebuah gubuk sederhana di tengah hutan, memetik buah blueberry dan raspberry, mengayuh perahu kecil di tengah danau dan memancing ikan di sana. (Maria, 2009: 45)
Kehidupan di pedesaan ternyata begitu menyenangkan. Ditemani udara yang masih perawan sehingga menyegarkan setiap makhluk yang menghirupnya. Lingkungan seperti ini lah yang mendukung pertumbuhan Lena dan Olle menuju ke arah yang positif.
Selain dari pengaruh lingkungan, pendidikan yang diberikan oleh orangtua menjadi hal terpenting dalam pembentukan kepribadian anak. Lena dalam cerita ini melukiskan betapa ibunya adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuknya, yang layak dijadikan figur panutan. Meski dengan sengaja kerap kali si ibu membiarkan Lena beradaptasi dengan sentuhan alam, sedikitpun dia tidak bermaksud meninggalkan Lena. Dia berniat menumbuhkan semangat pada Lena dan agar Lena dapat mandiri tanpa harus selalu bergantung dengan orang lain. Hal ini tampak apada penggalan tulisan Lena berikut.
Jika kau merangkak ke arah pagar di sebelah sana, lalu bersandar pada pagar itu, maka kau bisa bangun sendiri. (Maria, 2009: 49)
Kalimat di atas diujarkan si Ibu ketika Lena terjatuh saat bermain dengan kawan-kawannya. Dengan arahan itu, si Ibu bermaksud mendidik kreativitas Lena untuk tanggap dan segera mencari perlindungan ketika dirinya mendapati bahaya atau terancam.
Lena tumbuh menjadi gadis cilik yang begitu menggemaskan dan memiliki kepekaan tinggi terhadap lingkungan sekitar. Sehingga ia pun menjadi sangat responsif. Terbukti dengan tulisannya berikut.
Tidak butuh waktu yang lama bagiku untuk bisa meniru apa yang sedang ibuku lakukan – meski aku harus melakukannya dengan menggunakan kaki. (Maria, 2009: 50-51)
Meniru adalah salah satu bentuk respon yang baik yang dapat dilakukan oleh anak yang normal dalam pertumbuhannya. Dan cacat fisik yang disandang Lena tidak menghalangi itu. Lena justru semakin berkembang kreativitasnya, melalui kegemaran menggambar dan mewarnai, yangmana itu dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai karakter seseorang. Sebab, apa yang digoreskan dalam sebuah gambar mewakili keaslian kondisi senimannya.
Selain menggambar, Lena juga menggemari musik. Menyanyikan lagu-lagu pujian di gereja-gereja, memberikan kesenangan tersendiri buat Lena. Tak hanya itu, Lena pun mengoptimalkan kemampuan gerak tubuhnya dengan mengikuti les renang yang dianggapnya sangat penting.
Lagu-lagu yang dinyanyikan Lena menunjukkan ketinggian kreativitasnya dalam mengujarkan rangkaian kata yang diiringi hentakan musik. Tak heran jika kemudian lagu Lena banyak diminati oleh banyak orang. Dan ketika shownya, penonton selalu berbondong-bondong membanjiri lokasi show untuk menyaksikan behwa ternyata orang cacat seperti Lena masih mampu menggemparkan dunia dengan kretivitasnya. Bahkan kisah Lena ini menjdi inspirai banyak penulis untuk menuliskan ceritanya dan menerjemahkan kisahnya yang termuat dalam Footnotes.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Lena yang berubah statusnya sebagai seorang istri bagi Bjorn tetap menekuni krativitasnya dengan memolakan upaya adaptasi yang terbaik ketika bersama sang suami, Bjorn. Hal itu sebagaimana dituliskannya dalam Footnotes berikut.
Proses adaptasi harus dilakukan baik untuk hal besar maupun kecil, mulai dari mempelajari seberapa banyak yang kubutuhkan dan tidak kubutuhkan, untuk mengusahakan agar pernikahan kami bisa berjalan selancar mungkin. (Maria, 2009: 228)
Segala bentuk kreativitas yng dimiliki dan dilakukan Lena selalu disandarkan pada Yang Maha Kuasa. Sebab, menurut Lena Tuhan lah yang memberikan kehendak bebas pada manusia untuk menentukan pilihannya. Dan kali ini Lena telah memutuskan untuk memilih sebagai pribadi yang humanis dengan senantiasa berkreasi dan berpikir positif.
D. Penyampaian Nilai Humanisme dalam Footnotes
Bagian ini adalah jawaban dari hasil analisis di dalam teks dan di luar teks atau dapat disebut dengan analisis eksplikasi yang lebih kompleks. Dalam hal ini akan disampaikan bagaimana Lena Maria menyampaikan nilai-nilai humanisme dalam tulisannya yang telah dianalisis oleh peneliti. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan peneliti, diperoleh hasil berikut ini.
a. Lena Maria menyampaikan tulisannya dengan gaya bahasa yang lugas dan tidak metafora, sehingga nilai-nilai tentang eksistensi manusia lebih mudah ditangkap oleh pembaca Footnotes.
b. Secara keseluruhan, tulisan dalam Footnotes berangkat dari kisah nyata yang dialami Lena Maria. Tergambar jelas dalam alur ceritanya yang dimulai dari masa prenatal Lena sampai dengan kehidupan pasca pernikahan Lena dengan Bojrn, yangmana Lena semakin berada pada puncak aktualisasi dirinya. Dan tentunya dalam penyampaian kisahan tersebut tidak menghapus pemaparan nilai-nilai humanisme.
c. Lena Maria yang berprofesi sebagai seorang seniman; sekaligus penyanyi, pelukis, pembicara, dan penulis, tulisannya tulisannya sarat akan nilai religius, optimis, dan kreatif, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi pembacanya, bahwa cacat fisik bukanlah alasan yang menghalangi seseorang untuk menjadi sosok yang humanis.
PENUTUP
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa, Foootnotes adalah karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai humanis. Berlandaskan pada konsep humanisme Ali Syari’ati, melalui konsep eksistensi manusia peneliti menemukan banyak pesan yang disampaikan oleh Lena Maria dalam tulisannya. Footnotes tersebut mengandung nilai-nilai religius, nilai optimis (semangat), nilai kreatif, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Selain itu, terdapat pula nilai moral, nilai kesadaran, nilai kebebasan, dan nilai sosial yang turut mendukung sisi humanis Lena yang tertulis dalam Footnotes.
Lena Maria menyampaikan tulisannya dengan gaya bahasa yang lugas dan tidak metafora. Semua yang ditulisnya berangkat dari kisah nyata yang dialaminya sendiri. Sebagai seorang yang multitalenta, tulisannya sarat akan nilai religius, optimis, dan kreatif, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi pembacanya, bahwa cacat fisik bukanlah alasan yang menghalangi seseorang untuk menjadi sosok yang humanis. Satu lagi pelajaran yang peneliti dapati di sini, bahwasannya agama adalah sebuah jalan, dan satu-satunya jalan menuju Tuhan disebut kebenaran. Melalui jalur manapun dan dengan transportasi apapun, ketika seseorang sudah berhasil menemukan Tuhan dalam dirinya, kebenaran sudah erat dalam peluknya.
Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk turut berpartisipasi dalam terselenggaranya agenda ISS Conference.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Husni, Faidullah. Tt. Fathu ar-Rahman li Thalibi Ayati al-Qur’an. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
Fakhrudin, Asep Umar. “Mencari titik Temu Antara Sastra dan Agama.” Melayu Online. Diakses pada tanggal 02 juni 2015. http://melayuonline.com.
Kisno dan Himmah. 2015. “Nilai Humanisme Perspektif Ali Syari’ati dalam Diwan Sayyid Quthb”. Penelitian Kompetitif Mahasiswa. Tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Humaniora-UIN Maliki Malang.
Kurnianingsih, Ima. 2003. Pandangan Ali Syari’ati tentang Humanisme. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Jakarta: Rajawali Press
Maria, Lena. 2009. Footnotes. Endang Sulistiyowati (Terj.). Jakarta: Dastan Books.
Muslim, Imam. 2011. Shahih Muslim. Kairo: Al-Maktabah al-Islamiah.
Sugiharto, Bambang. 1997. “Humanisme, Dulu, Kini dan Esok.” Dalam Jurnal Basis No. 9-10, th. 46, September-Oktober, 1997.
Syari’ati, Ali. 1992. Humanisme antara Islam dan Madzhab Barat. Bandung: Pustaka Hidayah..
Titscher, Stefan dkk. 2000. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Disampaikan dalam International Social Science COnference di Universitas MAtaram, Lombok. November 2015