Monday, May 9, 2016

TANGGA MENUJU HARAMAIN

TANGGA MENUJU HARAMAIN

HISTISHA NR.

Mungkin saat ini bisa dikatakan “Aku” sedang menitih tangga keenam puluh enam dari sembilan puluh sembilan anak tangga menuju Haramain. Siapa sangka, gadis desa dari tepian pulau terujung Jawa itu masih sanggup berdiri di atas kedua kakinya, hingga detik ini.

Malam nyaris menepi, dan pagi lekas menghampiri. Tinggal hitungan sekian detik “Aku” kembali berada di ambang perbatasan. “Aku” tidak tahu harus sedih atau senang. “Aku” masih terus bertanya-tanya dengan Aku yang bersemayam dalam dirinya. Sudahkah proposal susulannya di Acc olehNya, ataukah masih tetap dengan proposal yang lama?

Malang, bukanlah tujuan akhir bagi “Aku”. Ia hanya sebuah alasan untuk bernafas lebih lama. Ia hanyalah alasan untuk mengembalikan goresan senyum penuh cinta. Ternyata tak semudah itu. Aku terjebak di sini. Aku terjatuh di sini. Seorang diri.., sunyi.., sepi.

“Tidak, aku tak boleh terus terpuruk dalam gelap yang kubuat karena sesalku. Aku harus bangkit, menyalakan cahaya untuk mengubah kegelapan ini menjadi terang.” Sepotong kata yang menjadi tekat seorang “Aku”  melawan patah hatinya.

Tuhan tak pernah tidur dan senantiasa terjaga. Dia selalu menyimak setiap air mata dan detak nadi dalam doa “Aku”  tanpa jeda. Hingga suatu hari, Tuhan pun mengirimkan pelita untuknya. Seseorang yang akhirnya membawa “Aku”  memahami apa yang telah banyak ia dengar dari ayahnya, di waktu sebelumnya. Seseorang yang mengantarnya dapat bercakap dengan sang ayah, layaknya saudara-saudara lainnya. Hadiah Tuhan mengguyur tak ada hentinya. Setelah empat tahun perjalanannya, “Aku” akhirnya dipertemukan dengan seseorang yang menurutnya, bersamanya adalah bagian dari anak tangga itu. Ya... seorang penjaga bahasa Arab sedunia, akhirnya Tuhan menjadikan “Aku” sebagai bagian dari pelaksana misi beliau merintis Kampoeng Arab. “Bisa jadi demikian,” ujarnya. Tak mungkin Tuhan tak bermaksud apa-apa dengan mengirimkan Israfil membisiknya tentang perencanaan itu.

Bukan perkara sulap karena jika memang Tuhan berkehendak semuanya akan terwujud. Bukan pula perkara takdir yang dari sananya sudah digariskan detil. Sampai-sampai “Aku” tersipu menyaksikan betapa Tuhan pun piawai dalam melucu. Tuhan tak sekadar gurauan dengan “Aku”, bahkan Dia amat menghibur dalam setiap tangisnya di kesunyian malam. Di tengah kabut ketakutan akan sakit dan gigil dingin kematian, Tuhan menyapa “Aku” begitu lembut dengan menyelimutkan cita-cita dan harapan. “Aku” pun berpikir, mungkin ini tanda jika oksigen di dunia ini masih bersedia hatiuntukia hirup semampunya.

Bagi “Aku”, kadang Tuhan itu aneh. Dia memberitahu kebodohannya dengan menyandingkannya bersama orang-orang berilmu. Bagaimana tidak! “Aku”, sekuntum mawar merah yang masih menguncup, dititipkan dalam sebuah kerajaan beasr milik seorang penjaga bahasa Arab sedunia, di antara kawanan melati putih yang sudah bermahkota. Ia pun mengadu pada sang ayah, kenapa Tuhan menyengaja semua ini? “Melalui beliau, Tuhan ingin tahu sejauh mana kesabaranmu, kejujuranmu, juga penerimaanmu.” Mendengar jawaban ayah, “Aku” semakin optimis dengan Acc Tuhan akan proposal susulannya. “Aku” si kuncup itu harus terus memandikan kelopaknya dengan manisnya ilmu pengetahuan yang beragam. Agar ia lekas mekar menebar keharuman. Tidak hanya itu, bukan sekadar nafas yang kini tersambung, melainkan senyuman cinta itu pun kian mengharum.

Itu semua masih hanya anak tangga dalam sebuah perjalanan menuju Haramain. Dan Haramain pun hanyalah celah alasan untuk “Aku” selanjutnya dapat tersenyum bersama dalam peluk kasih Tuhan, nan penuh kesejatian.


No comments:

Post a Comment