TANGGA MENUJU HARAMAIN
HISTISHA NR.
Mungkin saat ini bisa dikatakan “Aku” sedang menitih
tangga keenam puluh enam dari sembilan puluh sembilan anak tangga menuju
Haramain. Siapa sangka, gadis desa dari tepian pulau terujung Jawa itu masih
sanggup berdiri di atas kedua kakinya, hingga detik ini.
Malam nyaris menepi, dan pagi lekas menghampiri. Tinggal hitungan
sekian detik “Aku” kembali berada di ambang perbatasan. “Aku” tidak tahu harus
sedih atau senang. “Aku” masih terus bertanya-tanya dengan Aku yang bersemayam
dalam dirinya. Sudahkah proposal susulannya di Acc olehNya, ataukah masih tetap
dengan proposal yang lama?
Malang, bukanlah tujuan akhir bagi “Aku”. Ia hanya sebuah
alasan untuk bernafas lebih lama. Ia hanyalah alasan untuk mengembalikan goresan
senyum penuh cinta. Ternyata tak semudah itu. Aku terjebak di sini. Aku
terjatuh di sini. Seorang diri.., sunyi.., sepi.
“Tidak, aku tak boleh terus terpuruk dalam gelap yang
kubuat karena sesalku. Aku harus bangkit, menyalakan cahaya untuk mengubah
kegelapan ini menjadi terang.” Sepotong kata yang menjadi tekat seorang “Aku” melawan patah hatinya.
Tuhan tak pernah tidur dan senantiasa terjaga. Dia selalu menyimak setiap air mata dan detak nadi dalam doa “Aku” tanpa jeda. Hingga suatu hari, Tuhan pun mengirimkan pelita untuknya. Seseorang yang akhirnya membawa “Aku” memahami apa yang telah banyak ia dengar dari ayahnya, di waktu sebelumnya. Seseorang yang mengantarnya dapat bercakap dengan sang ayah, layaknya saudara-saudara lainnya. Hadiah Tuhan mengguyur tak ada hentinya. Setelah empat tahun perjalanannya, “Aku” akhirnya dipertemukan dengan seseorang yang menurutnya, bersamanya adalah bagian dari anak tangga itu. Ya... seorang penjaga bahasa Arab sedunia, akhirnya Tuhan menjadikan “Aku” sebagai bagian dari pelaksana misi beliau merintis Kampoeng Arab. “Bisa jadi demikian,” ujarnya. Tak mungkin Tuhan tak bermaksud apa-apa dengan mengirimkan Israfil membisiknya tentang perencanaan itu.
Bukan perkara sulap karena jika memang Tuhan berkehendak
semuanya akan terwujud. Bukan pula perkara takdir yang dari sananya sudah
digariskan detil. Sampai-sampai “Aku” tersipu menyaksikan betapa Tuhan pun
piawai dalam melucu. Tuhan tak sekadar gurauan dengan “Aku”, bahkan Dia amat
menghibur dalam setiap tangisnya di kesunyian malam. Di tengah kabut ketakutan
akan sakit dan gigil dingin kematian, Tuhan menyapa “Aku” begitu lembut dengan
menyelimutkan cita-cita dan harapan. “Aku” pun berpikir, mungkin ini tanda jika
oksigen di dunia ini masih bersedia hatiuntukia hirup semampunya.
Bagi “Aku”, kadang Tuhan itu aneh. Dia memberitahu
kebodohannya dengan menyandingkannya bersama orang-orang berilmu. Bagaimana tidak!
“Aku”, sekuntum mawar merah yang masih menguncup, dititipkan dalam sebuah
kerajaan beasr milik seorang penjaga bahasa Arab sedunia, di antara kawanan melati
putih yang sudah bermahkota. Ia pun mengadu pada sang ayah, kenapa Tuhan
menyengaja semua ini? “Melalui beliau, Tuhan ingin tahu sejauh mana kesabaranmu,
kejujuranmu, juga penerimaanmu.” Mendengar jawaban ayah, “Aku” semakin optimis
dengan Acc Tuhan akan proposal susulannya. “Aku” si kuncup itu harus terus
memandikan kelopaknya dengan manisnya ilmu pengetahuan yang beragam. Agar ia
lekas mekar menebar keharuman. Tidak hanya itu, bukan sekadar nafas yang kini
tersambung, melainkan senyuman cinta itu pun kian mengharum.
Itu semua masih hanya anak tangga dalam sebuah perjalanan
menuju Haramain. Dan Haramain pun hanyalah celah alasan untuk “Aku” selanjutnya
dapat tersenyum bersama dalam peluk kasih Tuhan, nan penuh kesejatian.
No comments:
Post a Comment