IKATAN DAN KESETIMBANGAN KIMIA SEBUAH PERKAWINAN
By:
HISTISHA NR.
Mengingat kembali pada
salah satu pelajaran SMA disiplin Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu Kimia. Di sana
terdapat sebuah istilah dasar yang disebut dengan ikatan kimia. Sebuah ikatan
yang terjadi antara dua atau lebih unsur dengan muatan berbeda, sehingga membentuk
molekul. Misalnya:
2H+ + O2-
à H2O
(Air)
1/2H2 + 1/2O2
à HO (Hidrogen
Monoksida)
H2 + O2
à H2O2
(Hidrogen Peroksida)
Melihat contoh di
atas; meski pada dasarnya ketiga reaksi kimia tersebut berangkat dari
unsur-unsur yang sama, yakni atom hidrogen dan atom oksigen, tapi pada
kenyataan reaktan (hasil reaksi) yang terbentuk berbeda. Hal itu karena adanya koefisien
atau kadar atom yang berbeda guna menyesuaikan valensi agar diraih
kesetimbangan, antara jumlah valensi atom-atom yang direaksikan dengan reaktan.
H+ + I-
à HI (Asam
Iodida)
C4+ + N-3
à CN- (Sianida)
Pada contoh di atas,
kasus asam iodida dan ketiga reaksi sebelumnya mengalami kesetimbangan dengan
muatan nol (0) pada reaktan. Sedangkan pada sianida bermuatan min satu (-1).
Buah
jatuh tak jauh dari pohonnya
Air
cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga
Kacang
manut lanjaran
Atau masih banyak
pepatah yang sepadan lainnya. Yang jelas maksud dari kesemuanya itu hanya satu:
anak itu mewarisi sifat orang tua. Jika secara biologi, hal ini masuk kategori
pembahasan genetika Mendel, kali ini kita akan menelisik dari sudut pandang
yang berbeda melalui ikatan kimia dalam pelajaran Kimia.
Sebuah ikatan kimia
sebagaimana devinisinya, hanya akan terjadi jika antara unsur-unsur yang
direaksikan memiliki valensi (muatan) berbeda. Sama bukan dengan yang terjadi
pada perkawinan?? Khususnya manusia. Secara anatomi maupun fisiologi, terdapat
perbedaan yang mencolok antara kaum Adam dengan Hawa. Sehingga, secara normal dalam
sebuah perkawinan, pasangan Adam dan Hawa akan mengalami reaksi yang itu dapat
meleburkan bagian-bagian dari keduanya sehingga terbentuk reaktan yang mewakili
perpaduan parental (induk), sebut saja dengan filial (keturunan) atau anak.
Koefisien yang
disandang oleh atom, besar kecilnya akan berpengaruh pada reaktan. Artinya,
bibit parental yang memiliki kualitas dan kuantitas tinggi juga akan membuahkan
hasil (filial) yang tinggi pula kualitas dan kuantitsnya, dan sebaliknya. Karena,
dalam setiap reaksi kimia selalu mengalami kesetimbangan. Itulah kenapa muncul
ragam pepatah di atas, bahwa apa-apa yang berlaku pada orang tua suatu saat
akan ada repetisi oleh keturunannya. Sebabnya, diperlukan kematangan IQ, EQ,
dan SQ sebelum kita memutuskan untuk berjelajah dalam dunia perkawinan. Sehingga,
perkawinan bukan sekadar sebagai pelampiasan pemenuh kebutuhan cinta dan saling
memiliki atau pemuas kebutuhan seksual dalam arti kepuasan saja, melainkan ada
tanggung jawab di sana untuk mengupayakan pelestarian generasi penerus yang
berkualitas dan mampu mengemban amanah sebagai khalifatullah di bumi.
So, sobat... yang
belum terlanjur melangkah pada petualangan pernikahan yang penuh tantangan ini,
persiapkan diri kita sebaik mungkin. Karena meski Tuhan selalu memberikan jalan
pada setiap niatan, niat yang baik tetap butuh perencanaan yang baik dan matang.
Ibarat kita mendaki ondho (tangga), kita lebih dulu harus menyiapkan
gigi-giginya yang kuat dan menatanya serapi mungkin. Sehingga, selesai satu
gigi dipijaki, gigi bagian atas siap menyambut langkah kita, dan kita pun tak
akan terjatuh karena gigi-gigi kokoh tangga yang terpasang kuat tak akan mudah
patah.
Dan bagi yang sudah terlanjur
menikah, jangan khawatir sobat, better late than never. J J J Masih
ada ksempatan untuk mensiasati kesetimbangan kimia dalam perkawinan kita. Hukum
Kesetimbangan Kimia, masih ingat bukan? Di sana disediakan beberapa alternatif
untuk menggeser panah kesetimbangan. Bisa dengan memberikan tekanan, menambah
atau mengurangi koefisien, dan atau dengan menambah atom lain. Jadi, jika kita
merasa kurang baik, kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki keturunan
kita. Bukankah Tuhan amat baik hati, sobat! Asal ada kemauan dan usaha, pasti
jalan Tuhan akan segera tampak terang dengan cahayanya.
Jika disandingkan
dengan teori cinta seorang Filsuf Ibnu Miskawaih, perkawinan yang direncanakan
seperti inilah yang masuk kategori cinta keempat; lambat melekat dan lambat
pudar. Lambat melekat karena memerlukan perencanaan, pertimbangan, dan
persiapan yang matang; dan lambat pudar karena menyadari akan adanya tanggung
jawab dalam sebuah pernikahan, yang harus dipenuhi oleh pasangan Adam-Hawa. Sehingga,
ketika sudah terlanjur menikah, kita tidak terburu-buru memutuskan perceraian
sebagai jalan satu-satunya ketika menghadapi batu loncatan dalam rumah tangga. Hal
ini pula yang dapat membangun kedewasaan dalam sebuah hubungan, sehingga benar-benar
pasangan yang demikian mampu menjadi cerminan dari sifat Rahman, Rahim, Wadud,
dan yang serupa dari nama-nama agung Tuhan Pemilik semesta.
Wallahu a'lam bishshawab...
LTPLM, 04 Februari
2016
No comments:
Post a Comment