Tuesday, February 10, 2015

(BERFIKIR SASTRA) Lungguhe Syekh Abdul Qadir Al Jilani marang manungso:

(BERFIKIR SASTRA)


Utek/akal/angen-angen
Tuwo
شيخ
Kawulo
عبد
Kuoso
قدير
Negoro cilik
جيلان

Makhluk Alloh tertua, berkuasa dan kecil yang bertempat pada manusia yaitu otak. Sebagaimana yang beliau dawuhkan, "Barangsiapa yang membutuhkan sesuatu maka bisa melalui beliau sebagai perantaranya." Nah kan kita selalu menggunakan akal kita dalam menjalani kehidupan ini.

Assalam. Sobatku yang dirahmati Allah Swt. Sekedar berbagi di secarik kertas palsu ini mengenai keberadaan “berfikir sastra”.

Meski belum menemukan spesifikasi definisi keren untuk sebutan “berfikir sastra”, tapi saya sangat meyakini keberadaannya. Sebagaimana patokan awal saya mengenai cakupan sastra sebagai gaya berfikir yang bebas, tanpa terikat dengan jeruji benang apapun, dan tidak terbelenggu oleh sistem apapun. Namun sastra selalu memiliki trik unik dalam menjaga nilai-nilai khas dan menggelitik logika.

Sebagaimana pembelajaran dasar yang saya dapati, saya setuju dengan penyelarasan kata sastra dengan adab. Sehingga sebebas apapun pemikiran kita dalam bersastra tetap mengacu pada titik ke-etisan atau kesopanan dan asas manfaat, utamanya.
Berikut saya sajikan cuplikan tentang afirmasi saya terhadap keberadaan “berfikir sastra”:

Liburan semester ganjil kemarin, saya menyempatkan diri mengepakkan sayap-sayap yang saya rajut sebelumnya dengan beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya meninggalkan sarang “Pesantren Luhur” dan bersarang di salah satu pesantren di Banyuwangi, Asy Syafaah namanya. Petualangan itu berawal dari keinginan mempelajari Ilmu Balaghah, sebagai konsekuensi identitas saya “mahasiswa sastra Arab”. Tapi rencana Tuhan memang lebih indah. Meski saya tidak sepenuhnya mendapati pembelajaran tentang Balaghah, saya justru mendapatkan beberapa jawaban dari beberapa pertanyaan saya hampir satu dasawarsa silam. Di sana saya menemukan ringkasan isi titiknya ba’ pada lafadz basmallah. Saya mendengar langsung mengenai “lungguhe Al Fatihah” pada kehidupan (meski belum keseluruhan). Selain itu, rasa penasaran saya tentang tiga Manaqib Syeh Abdul Qadir Al Jilani yang dikemas dengan merk berbeda juga telah terjawab. Dan masih banyak lagi sejenisnya.

Kembali pada “berfikir sastra”. Setelah saya membaca ketiga Manaqib itu, saya bercerita kapada bapak saya tentang perbedaan yang saya temui di sana. Selain bapak menambahi kesimpulan saya, beliau juga membekaskan gurauan, setidaknya kalau ditulis seperti ini:

Bapak   : “Menurutmu, Syeh Abdul Qadir Al Jilani itu sudah wafat apa belum?”
Saya   : “Sudah lah...! Kan kemarin kita juga memperingati haul beliau bersama-sama.” (saya jawab dengan amat pede).
Bapak  : “Kalau saya bilang beliau belum wafat atau masih hidup, percaya ndak?” (dengan gaya meledek).
Saya    : “Kog bisa?!” (penuh tanda tanya besar dalam benak dan sedikit meragukan kata-kata bapak).
Bapak : “Sekarang, coba kamu artikan potongan-potongan nama beliau!” (saya mencoba berfikir lebih cepat, tapi ternyata keduluan pertanyaan bapak). “Syeh artinya apa?”
Saya     : “Tua!”
Bapak   : “Abdun?”
Saya     : “Hamba!”
Bapak   : “ Qadir?”
Saya     : “ Kuasa!”
Bapak   : “ Al Jilani???”
Saya     : “Kalau di Manaqibnya sih itu nisbatan pada daerah asal beliau yang kecil.”
Bapak   : “Iya, itu bentuk tasghir. Nah, sekarang coba kamu rangkai maksudnya apa!” “Hamba Allah yang tertua, kecil tapi punya kuasa penuh atas manusia.”
Saya     : “Akal.” (jawab saya spontan, karena di hari sebelumnya kita sudah berdiskusi mengenai penggunaan kata Ibnu Aqil, Ibnu Malik, Rawi dan Mushannif, ynag kesemuanya bermuara pada akal).
Bapak : “Ya, benar. Makanya dalam Manaqib tertulis “barang siapa yang punya kebutuhan dengan Allah atau punya hajat apapun, lewatlah aku, akan aku sampaikan hajatmu pada Allah.” “Coba kita berfikir logis! Setiap kali kita mendapati masalah, kita selalu memeras otak dan akal untuk mensiasatinya. Ya kan? Nah ya itu makanya selagi masih ada manusia yang mau menggunakan akalnya, selama itu pula Syeh Abdul Qadir Al Jilani hidup, dan belum wafat.
Saya   : “Wahhh... ya ya ya... benar benar benar.” (sambil bergumam dalam hati “ini saya yang kuliah sastra, tapi kenapa malah bapak yang pemikirannya seperti itu, berarti ini tantangan buat saya!”).

Dari itu saya setuju dengan keberadaan berfikir sastra. Dan sekarang, untuk kita seperjuangan sastra Arab khususnya, kira-kira apa yang bisa mengasah pola pikir kita agar selain terakui sebagai sarjana sastra di ijasah tapi juga benar-benar berkualitas sastra. Bermanfaat tentunya.



No comments:

Post a Comment