(BERFIKIR SASTRA)
Utek/akal/angen-angen
|
Tuwo
|
شيخ
|
Kawulo
|
عبد
|
|
Kuoso
|
قدير
|
|
Negoro cilik
|
جيلان
|
Makhluk Alloh tertua, berkuasa dan kecil
yang bertempat pada manusia yaitu otak. Sebagaimana yang beliau dawuhkan,
"Barangsiapa yang membutuhkan sesuatu maka bisa melalui beliau sebagai
perantaranya." Nah kan kita selalu menggunakan akal kita dalam menjalani
kehidupan ini.
Assalam. Sobatku yang dirahmati Allah Swt. Sekedar
berbagi di secarik kertas palsu ini mengenai keberadaan “berfikir sastra”.
Meski belum menemukan spesifikasi definisi keren untuk
sebutan “berfikir sastra”, tapi saya sangat meyakini keberadaannya. Sebagaimana
patokan awal saya mengenai cakupan sastra sebagai gaya berfikir yang bebas,
tanpa terikat dengan jeruji benang apapun, dan tidak terbelenggu oleh sistem
apapun. Namun sastra selalu memiliki trik unik dalam menjaga nilai-nilai khas
dan menggelitik logika.
Sebagaimana pembelajaran dasar yang saya dapati, saya
setuju dengan penyelarasan kata sastra dengan adab. Sehingga sebebas apapun
pemikiran kita dalam bersastra tetap mengacu pada titik ke-etisan atau
kesopanan dan asas manfaat, utamanya.
Berikut saya sajikan cuplikan tentang afirmasi saya
terhadap keberadaan “berfikir sastra”:
Liburan semester ganjil kemarin, saya menyempatkan diri
mengepakkan sayap-sayap yang saya rajut sebelumnya dengan beberapa pertanyaan
yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya
meninggalkan sarang “Pesantren Luhur” dan bersarang di salah satu pesantren di
Banyuwangi, Asy Syafaah namanya. Petualangan itu berawal dari keinginan
mempelajari Ilmu Balaghah, sebagai konsekuensi identitas saya “mahasiswa sastra
Arab”. Tapi rencana Tuhan memang lebih indah. Meski saya tidak sepenuhnya
mendapati pembelajaran tentang Balaghah, saya justru mendapatkan beberapa
jawaban dari beberapa pertanyaan saya hampir satu dasawarsa silam. Di sana saya
menemukan ringkasan isi titiknya ba’ pada lafadz basmallah. Saya
mendengar langsung mengenai “lungguhe Al Fatihah” pada kehidupan (meski belum
keseluruhan). Selain itu, rasa penasaran saya tentang tiga Manaqib Syeh Abdul
Qadir Al Jilani yang dikemas dengan merk berbeda juga telah terjawab. Dan masih
banyak lagi sejenisnya.
Kembali pada “berfikir sastra”. Setelah saya membaca
ketiga Manaqib itu, saya bercerita kapada bapak saya tentang perbedaan yang
saya temui di sana. Selain bapak menambahi kesimpulan saya, beliau juga
membekaskan gurauan, setidaknya kalau ditulis seperti ini:
Bapak : “Menurutmu, Syeh Abdul Qadir Al Jilani itu
sudah wafat apa belum?”
Saya : “Sudah lah...! Kan kemarin kita juga
memperingati haul beliau bersama-sama.” (saya jawab dengan amat pede).
Bapak : “Kalau saya bilang beliau belum wafat atau
masih hidup, percaya ndak?” (dengan gaya meledek).
Saya : “Kog bisa?!” (penuh tanda tanya besar
dalam benak dan sedikit meragukan kata-kata bapak).
Bapak : “Sekarang, coba kamu artikan
potongan-potongan nama beliau!” (saya mencoba berfikir lebih cepat, tapi
ternyata keduluan pertanyaan bapak). “Syeh artinya apa?”
Saya : “Tua!”
Bapak : “Abdun?”
Saya : “Hamba!”
Bapak : “ Qadir?”
Saya : “ Kuasa!”
Bapak : “ Al Jilani???”
Saya : “Kalau di Manaqibnya sih itu nisbatan
pada daerah asal beliau yang kecil.”
Bapak : “Iya, itu bentuk tasghir. Nah, sekarang
coba kamu rangkai maksudnya apa!” “Hamba Allah yang tertua, kecil tapi punya
kuasa penuh atas manusia.”
Saya : “Akal.” (jawab saya spontan, karena di
hari sebelumnya kita sudah berdiskusi mengenai penggunaan kata Ibnu Aqil, Ibnu
Malik, Rawi dan Mushannif, ynag kesemuanya bermuara pada akal).
Bapak : “Ya, benar. Makanya dalam Manaqib tertulis
“barang siapa yang punya kebutuhan dengan Allah atau punya hajat apapun,
lewatlah aku, akan aku sampaikan hajatmu pada Allah.” “Coba kita berfikir logis!
Setiap kali kita mendapati masalah, kita selalu memeras otak dan akal untuk
mensiasatinya. Ya kan? Nah ya itu makanya selagi masih ada manusia yang mau
menggunakan akalnya, selama itu pula Syeh Abdul Qadir Al Jilani hidup, dan
belum wafat.
Saya : “Wahhh... ya ya ya... benar benar benar.”
(sambil bergumam dalam hati “ini saya yang kuliah sastra, tapi kenapa malah
bapak yang pemikirannya seperti itu, berarti ini tantangan buat saya!”).
Dari itu saya setuju dengan keberadaan berfikir sastra.
Dan sekarang, untuk kita seperjuangan sastra Arab khususnya, kira-kira apa yang
bisa mengasah pola pikir kita agar selain terakui sebagai sarjana sastra di
ijasah tapi juga benar-benar berkualitas sastra. Bermanfaat tentunya.
No comments:
Post a Comment