AL-QUR’AN
Al- Qur’an, seperti asal katanya adalah
sebuah bacaan. Selama ini yang ada dan terkodifikasikan adalah mushaf
Al-Qur’an. Sementara keberadaan Al-Qur’an yang sesungguhnya terletak dalam al-lauh
al- mahfudh (papan yang terjaga), kalbu bagian nurani (NR, 2013). Akan
tetapi, ada yang mengatakan Al-Qur’an terletak pada ruh (hendratno, 2015).
Intinya, Al-Qur’an itu terletak pada substansi immateri.
Di sisi lain, sebagai bacaan, ia tak hanya
terangkai dalam deretan huruf hijaiyah yang kasat mata. Tapi, ia bahkan
terhampar dan tersebar di seluruh alam semesta, esensinya. Ada yang bilang
namanya ayat kauniyah. Tak semua dapat dicerna secara langsung. Ada yang
harus dikunyah hingga lembut terlebih dahulu. Tapi pun tak semua orang mampu
mencernanya meski sudah terkunyahkan oleh generasi sebelumnya. Karena kapasitas
penerimaan seseorang berbeda-beda. Dan tidak salah bagi yang tidak tahu itu.
Tapi masalah bagi yang tidak mau tahu.
Isyarat Tuhan sangat jelas. Berbeda
pendapat itu boleh. So, membaca ayat yang ditemui sesuai kadar kemampuannya,
itu sudah lebih dari cukup. Apa yang yang kita tahu adalah yang kita dapat. Apa
yang kita dapat adalah yang akan kita lakukan. Mencemooh sesama hanya karena
perbedaan itu sudah tak dibutuhkan. Karena sesungguhnya, jalan kebaikan dan
kebenaran hanya berujung pada satu tujuan, menggapai ridha Tuhan. Entah dengan
cara apapun dan bagaimanapun. Karena penilaian makhluk tak selalu sama dengan
penilaian khalik.
Terlalu sempit jika mengungkit kaidah
hukum “di Al- Qur’an itu ayat berapa surat apa atau mana haditsnya, shahih atau
tidak.” Itu memang penting. Tapi, semua tahu kaidah hukum Islam tak hanya pada
kedua itu. Masih ada Ijma’dan qiyas. Yang mana keempatnya tak selalu harus
berbahasa Arab. Karena memang tak semua mampu memahami bahasa Arab secara
langsung. Sebenarnya semua tahu, kalau seluruh petunjuk jalan kebaikan dan
kebenaran adalah berporos pada Al-Qur’an. Karena memang pedoman hidup sudah
terpetakan di sana. Tapi perlu diingat pula bahwa untuk membaca sebuah peta
dibutuhkan kompas dan pemahaman ilmu perpetaan. So, apapun bentuk dan wujudnya,
jika itu menunjukkan jalan menuju Tuhan, itulah representasi Al-Qur’an. Karena
tak dapat dipungkiri bahwa Al- Qur’an sesungguhnya masih bersifat mujmal.
Jadi sangat musykil dapat dipahami tanpa perantara. Sekalipun itu
hadits, ia juga perantara memahami Al- Qur’an.
Penggunaan kata bid’ah sering kali
disalahgunakan. Padahal bid’ah itu artinya adalah inovasi. Suatu bentuk
kreatifitas manusia yang mendayagunakan akal yang dianugerahkan padanya. Ada
tiga cara untuk menunaikan petunjuk Tuhan, kreatif, adaptatif, dan adoptif. Kreatif disetarakan
dengan kata ijtihad, adaptatif dengan ittiba’, dan adoptif dengan taqlid
(Najib, 2011). Keseluruhannya tetaplah berporos pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran
yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an. Al-Qur'an tetaplah Al-Qur'an. tapi isi yang disampaikannya bisa berbentuk apapun.
Malang, 05 Okt 2015
No comments:
Post a Comment