RAQIB ‘ATID BUKAN PENCATAT PIKIRAN TAPI
PERBUATAN*
By: HISTISHA NR.
Afalaa ta’qiluuna – Afalaa tatafakkaruna –
La’allakum ta’qiluuna – La’allakum tatafakkaruuna
(Apakah kita sekalian tidak berakal? –
Apakah kita sekalian tidak berpikir? – Supaya kita sekalian berakal! – Supaya kita
sekalian berpikir!)
***
Begitu halus dan lembut tutur yang digunakan dalam puzzle Al-Qur’an[1] di
atas. Sehingga sering kali banyak qari’ (pembaca Al-Qur’an)
terlena dan melewatkan esensi pesan ketika membaca ayat-ayat tersebut. Sebab,
mereka tak merasa bahwasannya ketika membaca Al-Qur’an sebenarnya mereka sedang
bercakap, bercanda, dan bertutur dengan Sang Mutakaalim, Tuhan pemilik alam
semesta. Sehingga, ketika Tuhan menuturi, menasehati mereka, mereka justru
tidak mampu menangkap pantulan cahaya Ilahi untuk menerangi kegelapan hatinya
dan memperindah akhlak dan tindak tuturnya. Alih-alih mereka malah membiaskan
cahaya itu, membelokkannya pada orang lain, sehingga ia menjadi kambing hitam
yang dipersalahkan di hadapan Tuhan. Padahal sesungguhnya Tuhan sedang bercakap
dengan mereka, bukan orang lain (yang tak membaca) yang ia jadikan kambing hitam.
(Jawa= akalmu gunakno tur mikiro!!!)
Jika boleh diungkapkan dengan bahasa Jawa (karena bahasa Arab dianggap
momok yang menakutkan, sehingga dihindari dan akhirnya menjadi sulit untuk
dipahami), maka kurang lebih tutur Tuhan yang sedemikian halusnya akan berubah
nada, intonasi, dan stressingnya. Meski terkesan lebih kasar tapi
memang begitulah kalimat yang sepadan dengan maksud dari ayat-ayat di atas.
Amat keliru seseorang yang berfatwa bahwa Al-Qur’an tidak bisa
dirasionalkan, tidak bisa dilogika, sementara Tuhan sendiri berkali-kali
mengeluarkan mandat dan titah agar hamba-hambaNya mau mendayagunakan akal
pikirannya, logikanya, dalam memahami kebesaran Tuhan.
Dan tak ada ketentuan yang pasti dalam berpikir. Siapapun bebas berpikir.
Siapapun bebas berperasangka. Sopo ae oleh mikir lan sopo ae oleh
waspodo. Selagi itu masih dalam bentuk pemikiran dan perasangka. Tapi,
ketika sudah berupa output dalam bentuk tindak tutur, di situlah hukum mulai
diberlakukan.
Siapapun boleh berperasangka, walaupun negatif. Karena itu akan
meningkatkan kewaspadaan, sehingga dalam melangkah seseorang akan lebih
berhati-hati, dan tidak mudah tersandung meski oleh serakan debu yang mematung.
Kewaspadaan akan lebih menjauhkan diri dari benih-benih kesombongan dan keangkuhan,
yang mendumehkan adanya kemurahan Tuhan.
Jika bertanya batas, sampai mana seseorang boleh berpikir negatif? Sedikit
bocoran JJJ “Raqib dan ‘Atid bukan pencatat pikiran
melainkan pencatat amal”. Dan amal itu bahasa Arab yang artinya perbuatan. Jadi,
sobat... selama negatif itu masih hanya berkecamuk dalam pikiran, dan tidak
berwujud dalam tindak tutur, jangan khawatir, saldo amalan kita masih aman.
‘Atid tak akan bisa menorehkan tinta merah dalam lembaran buku tabungan kita.
Tapi ketika kita terjebak dalam pikiran negatif sementara kita mampu memutuskan
untuk bertindak yang positif atau berpuasa (diam tidak melakukan tindakan
apapun), Tuhan akan memberikan apresiasiNya buat kita melalui Raqib, karena kita
sudah berani mengambil langkah yang berbeda dari yang menyorong pikiran kita.
Apalagi, jika kita mampu berpikir (berniat) positif kemudian mewujudkannya
dalam perilaku positif pula, maka berbahagialah sobat, tak hanya apresiasi yang
diberikan Tuhan tapi juga dorprez spesial buat kita yang dituliskan Raqib dalam
saldo tabungan kita, karena kita tidak hanya menguntungkan diri kita tapi juga
yang di sekitar kita (mutualis), atau tanpa merugikan yang lain (komensalis).
Tuhan Maha Pemurah bukan? Tanpa pengakuan kita pun Tuhan masih tetap saja
Maha Pemurah. Dan bahkan kita sanjung-sanjung pun itu tak akan menggerogoti
ataupun mempertebal kemurahanNya. Coba menengok pada janji Tuhan, ada pemberian
10 kali lipat balasan kebaikan pada setiap kebaikan yang datang dari hambaNya
dan tidak ada balasan apapun dari Tuhan pada setiap keburukan (kejahatan) yang
datang dari hambanya, melainkan yang setimpal.[2] Karena manusia itu, kita diciptakan
dalam bentuk sebaik-baiknya, maka ketika dilahirkan kita dibekali nilai +1
(dikaruniai akal pikiran) oleh Tuhan. Selanjutnya, ketika kita berperasangka
negatif tapi tidak melakukan action apapun, maka kita masih
tetap dalam posisi +1. Ketika pikiran negatif itu kita munculkan dalam
bentuk action yang negatif satu kali, maka kita mau tidak mau
harus bergeser selangkah ke kiri sehingga nilai kita menjadi 0. Yang jika
kemudian action negatif itu terus kita munculkan, secara tidak
langsung kita menggeserkan posisi kita lebih ke kiri lagi sebanyak actionnya.
Dan ketika ditengah geliat negative thinking kita mampu
menentukan action positif atau setidaknya diam menahan diri
dari action negatif, maka nilai kita akan bertambah menjadi
+2. Sedangkan jika kita sudah berada pada pikiran positif kemudian mampu
memilih action yang positif pula, maka 10 nilai plus untuk
kita, sehingga nilai kta menjadi +11. Dan begitulah perjalanan seterusnya
sampai akhirnya semua poin nilai itu terkumpul sebagai modal untuk menuju Yang
Maha Segalanya.
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu ijtanibuu
kasiiran minadh dhanni, fainna ba’dladh dhanni itsmun[3]
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah
dari kebanyakan berperasangka, karena sesungguhnya sebagian dari
berperasangka itu adalah dosa.
Tuhan pun telah memberikan isyarat bahwasannya tidak ada larangan keras
dalam berperasangka, sekalipun negative thinking. Tuhan sekadar
mengingatkan untuk menjauhi dari banyak perasangka. Dalam artian overdosis.
Karena memang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak disukai Tuhan dan
hasilnya akan merugikan. Menjauh di sini mengarah pada takut, yang mana dalam
ketakutan itu seharusnya dimunculkan sedikit keberanian dan dalam keberanian
itu seyogyanya dimunculkan kehati-hatian (waspada). Kemudian, kata yang bergaris
bawah menunjukkan bahwasannya tidak semua perasangka itu harus dilarang atau
bahkan diharamkan. Hanya saja sekali lagi, keberlimapahan rahmat Tuhan
memeberikan alarm; ada sebagian perasangka yang itu mengarahkan pada dosa, dan
itu yang harus kita jauhi dan hindari. Artinya, selama dalam bentuk perasangka
itu sah-sah saja, sementara dosa itu akan dipanen jika tak hanya perasangkanya
yang buruk tapi juga actionnya, karena itu akan menimbulkan
kerugian, baik secara individual maupun sosial.
* Reportase Maiyah Relegi, Edisi 26 Januari 2016 “Negative Tihnking
Positive Action”
[1] Al-Qur’an, naqli
maupun kauni. Segala sesuatu yang dapat dibaca dan mengandung informasi di
sana. Termasuk alam semesta dan seisinya. Tidak hanya yang tertulis saja dalam
mushaf.