KETIKA RATU SEMUT JATUH CINTA
Aku tahu jikalau aku adalah seekor semut hitam yang terlahir dalam keluarga
kerajaan. Sudah sepatutnya kalau semua rakyat bapaku mengenalku. Aku pun bisa
dibilang pandai dalam bersahabat. Kawanku cukup banyak dan beragam. Karena aku
tak pernah membeda-bedakan strata siapapun.
Aku mengetahui semua gerak-gerik setiap jenis hewan yang bersua di
lingkungan kerajaan bapaku. Aku paham betul siapa yang baik dan buruk dari
gelagat yang mereka tampakkan di luar kesadaran mereka. Tapi hanya satu yang
tak kupaham. Manusia. Ya, bangsa manusia adalah hal yang aneh dalam logikaku.
Benarkah ia begitu suka menumpahkan darah segar hanya untuk duduk di atas kursi
besi yang tak lama lagi berkarat? Apakah semua jenis manusia seperti itu?
Aku terus bertanya dalam setiap renungku. Dan tanpa aku menyiapkan diriku
ketika suatu saat aku bertemu dengannya.
***
Suatu ketika aku sedang berburu madu di hutan mawar merah yang lebat di seberang
sungai dekat kerajaan bapaku. Semua warga di sana memberikan salam hormatnya
untukku. Maklum, bagi mereka aku adalah putri dari bapaku -Raja Semut- yang
terkenal sangat bijak dan memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya, bahkan
sampai yang berada di Sebrang.
Setelah kudapati madu yang cukup untuk mengisi perut kosongku, aku berbalik
arah. Pulang. Tapi, setelah langkahku yang keseribu, terdengar seperti suara
gaduh dari kejauhan hingga bumi yang kupijaki serasa bergoyang. Aku penasaran.
“Siapa itu? Aku belum pernah melihat sosok yang seperti ini sebelumnya.”
Aku bersembunyi di balik daun pohon damar yang terdekat. Aku mengintip dan
menguping pembicaraan mereka. Sama sekali aku tak tahu apa yang mereka
bincangkan.
“Ahhh... Sudahlah”.
Aku pun pulang. Masih tergambar jelas sosok yang melangkah tegap dengan
wajahnya yang bercahaya. “Senyumnya... Siapa sesungguhnya dia?”
Baru pertama kalinya aku memeluk rasa penasaran yang amat dalam. Aku pun
kembali ke Sebrang setelah hari berganti usia. Aku hanya bisa menunggu. Karena
aku tak bisa menanyakan siapa dia karena aku tak tahu namanya.
Tiba-tiba ada segerombolan semut merah melintas di hadapanku. Mereka
menghaturkan salam hormat untukku. Aku pun membalasnya. Aku akhirnya tak
sendiri lagi dalam penantianku. Aku mencoba mencari tahu tentang sosok itu
dengan berbincang bersama sesepuh semut merah.
Ternyata benar, sesepuh mengenalnya. Aku melompat kegirangan.
Aku pulang kembali ke kerajaan bapaku, setelah menelan semua cerita tentang
sosok yang kujumpai kemarin, yang tak lain adalah Raja Sulaiman.
***
Aku sudah berumur. Tiba waktunya aku belajar memimpin ekspedisi militer di
salah satu daerah kekuasaan bapaku, di Sebrang.
“latihanmu sudah cukup lama. Kau harus segera belajar terjun di lapangan.
Rakyatmu akan butuh keberanianmu, bukan sekadar perkataan janji-janjimu.”
“Baik, Ayah... besok aku akan ke sana bersama 1000 kawanku. Aku akan
menjaga stabilitas di Sebrang. Atas restumu, Ayah.”
***
Belum semua kawanku mendarat di tanah Sebrang, aku kembali merasakan hal
yang sebelumnya aku pernah rasakan. Terdengar suara gaduh dari kejauhan dan
seolah terjadi gempa. “Raja Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat”. (bisikku
dalam hati). Aku tersenyum sendiri.
Aku memastikan dugaanku dengan mengintai dari atas pohon bambu di dekatku.
Ternyata benar, Raja Sulaiman! Aku segera bergegas turun dari pohon untuk
memperingatkan kawan-kawanku, agar segera mencari tempat aman yang terdekat.
Karena bisa berbahaya jika mereka melintas di antara kawan-kawanku, pasti akan
mati konyol terinjak oleh telapak kaki bangsa manusia itu.
“Perhatian untuk kawanku sekalian, di belakang ada rombongan Raja Sulaiman
dan bala tentaranya yang akan melintas di sini. Kalian harus mengamankan diri
sebelum mereka sampai. Agar kalian tak terinjak oleh telapak kaki manusia.”
Mendengar itu, semua langsung berhamburan mengamankan dirinya.
“Ayo-ayo-ayo... ke sana... ke sana... ya kau ke sana....xxxxxxxxxxx”
“Berhenti!” Raja Sulaiman menghentikan langkah rombongannya.
Berbeda dengan sebelumnya. Aku semakin terkagum dengan sang raja ketika aku
dapat mendengar suaranya.
“Subhanallah... dia berbicara denganku”. Ujarku dalam hati.
Ternyata memang tak semua bangsa manusia angkuh. Terbukti Raja Sulaiman
bisa memahami bangsaku. Aku berbincang cukup lama dengannya.
***
Pertemuan yang singkat itu menambah subur kekagumanku padanya. Kurasa tak
sekadar kagum. Tapi cinta. Ya, aku telah jatuh cinta pada bangsa manusia.
Manusia yang dapat mengertikan dalam perbedaan. Ini adalah hal langka yang
pernah kutemui. Padahal, dalam bangsaku sendiri, tak semua sesama semut mau
saling mengerti.
***
Aku melaksanakan misiku di Sebrang dengan penuh tanggung jawab. Dan hampir
empat tahun sudah aku menjaga keamanan rakyat bapaku di sana.
Meski sudah jarang bertemu, wajah Sulaiman masih terbungkus rapi dalam
setiap patahan doaku.
Tapi, hampir sama seperti sebelumnya. Kesetiaanku diuji kembali oleh Tuhan.
Seekor semut merah seolah tiba-tiba tertarik oleh kutub magnet yang berbeda
sehingga ia berpindah di daerah penjagaanku.
Awalnya, selayaknya aku memperlakukan teman-temanku, aku pun akrab
dengannya. Ternyata, di balik sikapnya... Dia adalah seekor semut yang telah
lama mengagumiku dari sejak aku berpindah ke Sebrang.
Meski tanpa bahasa yang terucap dari mulutnya, sikapnya sudah mewakili
semuanya. Aku tak tahu pasti sejauh apa dia mengagumiku. Yang aku rasakan
adalah pantulan dari isi hatinya untukku.
Aku pun mulai resah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa semut
yang menghantar cintanya padaku, mereka satu persatu melupakan sajaknya.
Mungkin memang terlalu pahit bagi mereka, mencintai seekor semut sepertiku,
sementara aku telah lebih dulu jatuh cinta dengan yang lain. Sekalipun
perhatian mereka terkadang membuatku senang, tapi itu adalah ujian untukku.
Sampai di mana kesetiaanku mencintai Sulaiman.
Meski belum ada gelang mungil melingkar di jemariku dari Sulaiman, cintaku
telah dimiliki sepenuhnya olehnya. Meski aku selalu dalam penantian, senyumnya
yang manis telah menjawabku di setiap kali kami berjumpa.
Kini pun aku tak bisa pula membalas rasa si semut merah. Sebelum dia
menyalin bahasa cintanya dan merangkainya dengan sajak di mulutnya, sebelum ia
terlanjur kecewa, aku harus membuatnya paham. Meski dengan membuatnya
membenciku. Dengan begitu dia akan dengan sendirinya melupakan perasaannya
padaku.
Sakit memang, ketika ada noda dalam sebuah persahabatan. Aku pun terpaksa
diam. Meski diam ini melukaiku. Asal ia tak lebih sakit dariku.
“Pergilah! Mengagumiku hanya akan membuatmu sakit. Hatiku telah dimiliki
yang lain. Aku sama sekali tak bisa membalasmu. Ini adalah ujian kesetiaanku.
Meski sebenarnya, aku suka dengan perhatianmu, dan mungkin itu lama-kelamaan
akan membuatku jatuh cinta padamu. Tapi tidak. Aku tak boleh serakah. Aku tak
boleh menghianati kesetiaanku. Karena Sulaiman pun selalu mengajariku arti
sebuah kesetiaan. Biarlah kau tetap jadi sahabatku. Dan biarlah aku menapak di
atas rel-rel kesetiaanku.”
Selembar daun papirus telah sampai pada tangan semut merah. Semenjak
membaca tulisan itu, dia menjadi begitu diam padaku. Dia mulai menjauh. Kadang
aku bingung dengannya. Tapi, biarlah. Dia punya hak melakukan apa yang ia
hendaki. Mungkin dia kurang lebih sama dengan semut-semut yang bersajak dulu.
Ia pun akan menghapus sajaknya. Tapi bagiku dia tetaplah sahabat.
***
Dua tahun kemudian!
Sudah waktunya aku kembali ke kerajaan bapaku. Aku harus meninggalkan Sebrang
dan juga semua kenangan di sini.
Si semut merah itu sudah menghilang bak tertelan gelombang. Ternyata dia
tak bisa menerima keputusanku. Dia tak paham kalau aku sedang belajar arti
setia. Dia masih menginginkanku menjadi miliknya. Padahal jika aku berhianat
dengan perasaanku terhadap Sulaiman dan beralih ke dia, harusnya dia paham
kalau keesokan waktu aku akan meninggalkannya pula untuk cinta yang baru. Tapi
dia tak menghargaiku. Dia tak mengerti maksudku. Sudahlah, mungkin menemuinya
membuatnya semakin terluka, sehingga aku pun memilih diam. Percuma, kalaupun
aku mampu menjelaskan maksudku, aku tetap tak akan bisa membalas cintanya.
Mungkin, tak lama lagi ia akan menemukan tambatan hatinya.
Aku harus segera kembali. Ayah menungguku.
***
“Dung... Dung... Dung... xxxxxxxxxxxxxxx”
Suara gendang dari kerajaan bapaku sudah terdengar dari kejauhan. Aku
bersama dengan kawan-kawanku tak sabar ingin segera sampai menginjakkan kaki di
sana.
“Kreeeeeeeeeek....”
Suara pintu gerbang kerajaan dibukakan untuk kami.
Salam hormat dari prajurit dan warga kerajaan bersahutan menyambut
kehadiranku. Aku serasa terlahir kembali dalam dunia baru. Aku menjawabi salam
sembari melukis senyum di raut mukaku. Aku bahagia dengan anugrah Tuhan yang
tiada pernah surut menyertaiku.
“Alhamdulillah...” terajut selalu dalam hatiku.
Hendakku melangkah membuka pintu istana, ternyata penjaga membukakannya
dari dalam. Aku bergegas menghampiri ayahku, memberi salam dan mengahturkan
pelukan cinta layaknya anak pada bapanya. Kebahagiaanku tak dapat kulukiskan
kala itu. Ayah begitu lama memelukku. Setelah hampir enam tahun lamanya aku
hidup terpisah di Sebrang, kini dapat berkumpul lagi.
Sebelum ayah melepas pelukannya, aku mendengar bisiknya sampai di telinga
kiriku. Karena memang sejak kecil aku memiliki cacat di pendengaranku bagian
kanan. Dan itu hanya keluargaku dan Sulaiman yang tahu.
“Segeralah istirahat, tuan putriku. Nanti malam kau akan memiliki tamu
spesial.”
Ayah tak meneruskan katanya, aku pun seperti biasa tak banyak tanya. Aku
segera menuju bilikku dan beristirahat.
***
“Teng... Teng... Teng...”
Bunyi jarum jam yang menandakan pukul delapan malam. Aku masih sama dengan
sebelumnya, aku masih Isha, seekor semut hitam yang memegang teguh kesetiaanku.
Pikirku, aku akan dijodohkan, aku pun sudah menyiapkan jawaban, bahwa aku sudah
jatuh cinta dengan yang lain. Pikiran itu terus bersemayam dalam benakku
sembari memanjatkan doa yang biasa kupanjatkan pada Tuhan. Pun pengakuan
cintaku pada Sulaiman yang selama ini terahasiakan antara aku, Tuhan, dan
Sulaiman sendiri.
Aku pergi ke istana, aku duduk di singgasanaku. Aku masih berdoa memohon
perlindungan tuhan. Tiba-tiba.....xxxx
“Assalamualaikum...” rombongan semut hitam dari negeri sebelah menghaturkan
salamnya.
“Waalaikumsalam Warahmatullah”. Mari silahkan menempati tempat yang telah
disediakan”.
Ayah mulai bercakap dengan sang raja dari negeri tetangga itu tentang
banyak hal.
Setelah beberapa menit berlalu. .
“Assalamualaikum...” tampak dari singgasanaku seekor semut hitam yang
sepertinya aku tak asing dengan suara salamnya.
“Waalaikumsalam Warahmatullah”. Kami semua menjawab sembari menegok ke
arahnya.
Dia, mukanya tampak berseri. Satu persatu semua sesepuh termasuk ayahku
disalaminya. Dia begitu sopan dan tampak lembut. Aku masih bertanya-tanya,
“Siapa dia? Sepertinya tak asing bagiku.”
Dia duduk diantara tamu-tamu ayahku. Dan aku kemudian tahu kalau ia adalah
bagian dari tamu itu. Dia mulai bercakap....
“Sebelumnya saya menghaturkan salam hormat pada tuan raja sekeluarga.
Pertama, saya bermaksud silaturrahim. Kedua,
...................xxxxxxxxxxxxxxxx
Aku semakin penasaran. Kenapa si semut tampan itu menggunakan bahasa yang
begitu halus. Aku masih belum mengenali milik siapa suara itu.
“Saya, Sulaiman telah lama mengenali putri tuan raja, Tuan Putri Isha. Saya
ke sini hendak menyampaikan maksud saya untuk meminang Tuan Putri Isha”. Tutur
si semut hitam menghadap sang raja ayahku.
Aku tersentak terkejut keheranan.
“Sulaiman? Sulaiman? Mungkinkah dia Raja Sulaiman yang selama ini bercakap
denganku di Sebrang? Isha... Hanya dia selain keluargaku yang tahu namaku itu.”
Karena kedua keluarga ini sudah pernah saling mengenal sebelumnya, mereka
pun tampak begitu rukun ketika bersama.
Kemudian kami, aku dan semut yang mengaku bernama Sulaiman itu
dipersilahkan untuk berbincang menentukan keputusan kami.
“Maaf, Tuan Putri Isha, aku tak memberitahumu lebih dulu. Aku kira ini akan
menjadi kejutan istimewa sebagai kado menyambut hari ulang tahunmu.”
“Aku memang tak asing dengan suara ini. Ini benarkah Raja Sulaiman yang aku
temui di sebrang?” (bisikku dalam hati).
“Tuan putri benar, aku Sulaiman, kekasihmu. Aku yang selalu tersenandungkan
dalam doamu. Dan begitupun namamu selalu terangkai dalam bait doa pujianku tiap
kali aku bercakap dengan Tuhan.”
Aku semakin tekejut
“Bukankah kau yang kulihat waktu itu adalah bangsa manusia?”
“Tuan putri benar, selama ini kau melihatku tampak sebagai manusia karena
aku tak ingin membekaskan kesan buruk tentang manusia di benakmu. Tak semua
manusia itu seburuk dalam dongeng. Masih banyak manusia yang baik. Dan dalam
perbedaan penampakanku, aku menemukan kesetiaan yang kau mampu memegangnya. Aku
tahu kau telah melewati begitu banyak ujian untuk tetap mencintaiku. Untuk tetap
menjaga kesetianmu di tengah perbedaan yang kau temui antara kita. Banyak
semut-semut yang memujamu tapi kau tak membalasnya. Kau malah berlapang dada
menerimanya sebagai sahabatmu. Aku tahu kau pun terluka begitu banyak
menghadapi semut-semut yang menginginkan dirimu. Tapi kau masih tetap bisa
menggenggam kesetiaanmu untukku. Itulah yang membuatku yakin, kau adalah
bidadari surga yang dikirimkan Tuhan untukku agar kita bersama merajut
kehidupan yang sejahtera. Menyulam kebahagiaan dan mengentaskan krisis-krisis
yang menimpa rakyat dan bangsa kita. Dengan kesetiaanmu aku yakin Tuhan telah
memberikan penjagaanNya yang sangat ruah berlimpah melapangkan hatimu, bersabar
menanti kedatanganku. Dan yakinku kau akan mampu bersabar mendampingiku
mengemban tugas Tuhan membangun kesejahteraan di jagat ini. Hari ini aku,
Sulaiman, seekor semut hitam telah datang utnukmu. Untuk kita menuai kerelaan
Tuhan dan membangun surgaNya di bumi agar dinikamati banyak golongan.”
Aku tak dapat berkata apapun. Air mata bahagia mengguyur pipiku. Betapa
Tuhan tak pernah meninggalkanku sedikitpun.
“Alhamdulillah...”
Hanya kalimat itu yang kuucap berulang. Aku bersyukur telah dipersatukan
dengan Sulaiman. Dan aku menemukan setiap pertanyaan yang dulu sempat kususun
dalam penantianku. Jawabannya begitu indah. Sulaiman, ya Raja Sulaiman yang
dikirimkan Tuhan untukku. Dia ada di hadapanku. Dia meminangku.
Akhirnya seminggu kemudian, aku Ratu Isha dan Raja Sulaiman resmi menjadi
pasangan suami istri. Kami dinobatkan sebagai raja dan ratu memimpin kerajaan semut
baru di Sebrang.
Dalam jamuan upacara kami, aku melihat beberapa semut yang dulu sempat
mengutarakan cintanya padaku turut hadir memberikan restunya. Meski beberapa
telah kandas, karena sakit hatinya. Karena kecewanya.
***
17 Januari 2016
Inspirasi HISTISHA NR.
No comments:
Post a Comment