Tuesday, January 26, 2016

RAQIB ‘ATID BUKAN PENCATAT PIKIRAN TAPI PERBUATAN

RAQIB ‘ATID BUKAN PENCATAT PIKIRAN TAPI PERBUATAN*

By: HISTISHA NR.

Afalaa ta’qiluuna – Afalaa tatafakkaruna – La’allakum ta’qiluuna – La’allakum tatafakkaruuna
(Apakah kita sekalian tidak berakal? – Apakah kita sekalian tidak berpikir? – Supaya kita sekalian berakal! – Supaya kita sekalian berpikir!)
***
Begitu halus dan lembut tutur yang digunakan dalam puzzle Al-Qur’an[1] di atas. Sehingga sering kali banyak qari’ (pembaca Al-Qur’an) terlena dan melewatkan esensi pesan ketika membaca ayat-ayat tersebut. Sebab, mereka tak merasa bahwasannya ketika membaca Al-Qur’an sebenarnya mereka sedang bercakap, bercanda, dan bertutur dengan Sang Mutakaalim, Tuhan pemilik alam semesta. Sehingga, ketika Tuhan menuturi, menasehati mereka, mereka justru tidak mampu menangkap pantulan cahaya Ilahi untuk menerangi kegelapan hatinya dan memperindah akhlak dan tindak tuturnya. Alih-alih mereka malah membiaskan cahaya itu, membelokkannya pada orang lain, sehingga ia menjadi kambing hitam yang dipersalahkan di hadapan Tuhan. Padahal sesungguhnya Tuhan sedang bercakap dengan mereka, bukan orang lain (yang tak membaca) yang ia jadikan kambing hitam.

(Jawa= akalmu gunakno tur mikiro!!!)

Jika boleh diungkapkan dengan bahasa Jawa (karena bahasa Arab dianggap momok yang menakutkan, sehingga dihindari dan akhirnya menjadi sulit untuk dipahami), maka kurang lebih tutur Tuhan yang sedemikian halusnya akan berubah nada, intonasi, dan stressingnya. Meski terkesan lebih kasar tapi memang begitulah kalimat yang sepadan dengan maksud dari ayat-ayat di atas.

Amat keliru seseorang yang berfatwa bahwa Al-Qur’an tidak bisa dirasionalkan, tidak bisa dilogika, sementara Tuhan sendiri berkali-kali mengeluarkan mandat dan titah agar hamba-hambaNya mau mendayagunakan akal pikirannya, logikanya, dalam memahami kebesaran Tuhan.

Dan tak ada ketentuan yang pasti dalam berpikir. Siapapun bebas berpikir. Siapapun bebas berperasangka. Sopo ae oleh mikir lan sopo ae oleh waspodo. Selagi itu masih dalam bentuk pemikiran dan perasangka. Tapi, ketika sudah berupa output dalam bentuk tindak tutur, di situlah hukum mulai diberlakukan.

Siapapun boleh berperasangka, walaupun negatif. Karena itu akan meningkatkan kewaspadaan, sehingga dalam melangkah seseorang akan lebih berhati-hati, dan tidak mudah tersandung meski oleh serakan debu yang mematung. Kewaspadaan akan lebih menjauhkan diri dari benih-benih kesombongan dan keangkuhan, yang mendumehkan adanya kemurahan Tuhan.

Jika bertanya batas, sampai mana seseorang boleh berpikir negatif? Sedikit bocoran  JJJ  “Raqib dan ‘Atid bukan pencatat pikiran melainkan pencatat amal”. Dan amal itu bahasa Arab yang artinya perbuatan. Jadi, sobat... selama negatif itu masih hanya berkecamuk dalam pikiran, dan tidak berwujud dalam tindak tutur, jangan khawatir, saldo amalan kita masih aman. ‘Atid tak akan bisa menorehkan tinta merah dalam lembaran buku tabungan kita. Tapi ketika kita terjebak dalam pikiran negatif sementara kita mampu memutuskan untuk bertindak yang positif atau berpuasa (diam tidak melakukan tindakan apapun), Tuhan akan memberikan apresiasiNya buat kita melalui Raqib, karena kita sudah berani mengambil langkah yang berbeda dari yang menyorong pikiran kita. Apalagi, jika kita mampu berpikir (berniat) positif kemudian mewujudkannya dalam perilaku positif pula, maka berbahagialah sobat, tak hanya apresiasi yang diberikan Tuhan tapi juga dorprez spesial buat kita yang dituliskan Raqib dalam saldo tabungan kita, karena kita tidak hanya menguntungkan diri kita tapi juga yang di sekitar kita (mutualis), atau tanpa merugikan yang lain (komensalis).

Tuhan Maha Pemurah bukan? Tanpa pengakuan kita pun Tuhan masih tetap saja Maha Pemurah. Dan bahkan kita sanjung-sanjung pun itu tak akan menggerogoti ataupun mempertebal kemurahanNya. Coba menengok pada janji Tuhan, ada pemberian 10 kali lipat balasan kebaikan pada setiap kebaikan yang datang dari hambaNya dan tidak ada balasan apapun dari Tuhan pada setiap keburukan (kejahatan) yang datang dari hambanya, melainkan yang setimpal.[2] Karena manusia itu, kita diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya, maka ketika dilahirkan kita dibekali nilai +1 (dikaruniai akal pikiran) oleh Tuhan. Selanjutnya, ketika kita berperasangka negatif tapi tidak melakukan action apapun, maka kita masih tetap dalam posisi +1. Ketika pikiran negatif itu kita munculkan dalam bentuk action yang negatif satu kali, maka kita mau tidak mau harus bergeser selangkah ke kiri sehingga nilai kita menjadi 0. Yang jika kemudian action negatif itu terus kita munculkan, secara tidak langsung kita menggeserkan posisi kita lebih ke kiri lagi sebanyak actionnya. Dan ketika ditengah geliat negative thinking kita mampu menentukan action positif atau setidaknya diam menahan diri dari action negatif, maka nilai kita akan bertambah menjadi +2. Sedangkan jika kita sudah berada pada pikiran positif kemudian mampu memilih action yang positif pula, maka 10 nilai plus untuk kita, sehingga nilai kta menjadi +11. Dan begitulah perjalanan seterusnya sampai akhirnya semua poin nilai itu terkumpul sebagai modal untuk menuju Yang Maha Segalanya.

Yaa ayyuhal ladziina aamanuu ijtanibuu kasiiran minadh dhanni, fainna ba’dladh dhanni itsmun[3]
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah dari kebanyakan berperasangka, karena sesungguhnya sebagian dari berperasangka itu adalah dosa.

Tuhan pun telah memberikan isyarat bahwasannya tidak ada larangan keras dalam berperasangka, sekalipun negative thinking. Tuhan sekadar mengingatkan untuk menjauhi dari banyak perasangka. Dalam artian overdosis. Karena memang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak disukai Tuhan dan hasilnya akan merugikan. Menjauh di sini mengarah pada takut, yang mana dalam ketakutan itu seharusnya dimunculkan sedikit keberanian dan dalam keberanian itu seyogyanya dimunculkan kehati-hatian (waspada). Kemudian, kata yang bergaris bawah menunjukkan bahwasannya tidak semua perasangka itu harus dilarang atau bahkan diharamkan. Hanya saja sekali lagi, keberlimapahan rahmat Tuhan memeberikan alarm; ada sebagian perasangka yang itu mengarahkan pada dosa, dan itu yang harus kita jauhi dan hindari. Artinya, selama dalam bentuk perasangka itu sah-sah saja, sementara dosa itu akan dipanen jika tak hanya perasangkanya yang buruk tapi juga actionnya, karena itu akan menimbulkan kerugian, baik secara individual maupun sosial.

* Reportase Maiyah Relegi, Edisi 26 Januari 2016 “Negative Tihnking Positive Action




[1] Al-Qur’an, naqli maupun kauni. Segala sesuatu yang dapat dibaca dan mengandung informasi di sana. Termasuk alam semesta dan seisinya. Tidak hanya yang tertulis saja dalam mushaf.
[2] Surat Al-An’am: 160
[3] Surat Al-Hujurat: 12



No comments:

Post a Comment