Thursday, October 16, 2014

ترجمة العربية إلى الأندونيسية


CINTA TAK MEMANDANG FISIK
Pengorbanan itu ada bermacam-macam bentuknya. Berikut ini adalah salah satu bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh seorang pemuda (sebut saja Michael). Michael telah menikahi seorang wanita (sebut saja Curry) yang diamputasi kakinya, untuk menepis anggapan orang-orang yang berkata tidak ada harapan dalam kelangsungan hidup Curry, setelah ia sekarat akibat diabetes. Curry pun akhirnya mati setelah delapan bulan usia pernikahannya. Peristiwa ini mengundang shock yang tak kunjung padam. Bahkan sampai tiga tahun kematian Curry, Michael masih hidup dalam baying-bayangnya. Tiga tahun tidak mengubah apapun di rumah mereka, bahkan tempat dimana Curry menyisir rambutnya.
Cinta itu tiba-tiba datang menghampiri hati Michael. ia masih usia remaja dan polos saat perasaannya terpikat pada seorang putri tetangganya yang berusia sedikit lebih muda darinya. Seiring berlalunya hari perasaan cinta antara dua hati pemuda ini (Michael dan Curry) pun semakin kuat sehingga diketahui banyak tetangga, dan menjadikan keluarga Curry menentang keras hubunagn mereka. Namun Michael tidak putus asa berjuang untuk memiliki Curry.  Berkali-kali dia dating meminang Curry tanpa mengenal lelah. Setiap kali pinangannya ditolak, dia berpikir suatu saat akan diterima. Setelah berbagai pertimbangan Curry akhirnya menerima pinangannya. Upacara prewedding pun berjalan begitu cepat sehingga pinangan pun sempurna ketika dibacakan akad nikah.
Tiba-tiba banyak peristiwa yang terjadi tanpa perhitungan. Usai Curry difonis terkena diabetes stadium lanjut, pihak dokter terpaksa mengamputasi salah satu kakinya. Setelah dua bulan lukanya tak kunjung sembuh, malah menular pada kaki satunya. Untuk menyelamatkan hidupnya, pihak dokter pun mengamputasi kakinya. Hal ini membuat Curry resah menanti hari pernikahannya dengan kekasihnya (Michael), sementara kedua kakinya lumpuh. Keluarga Curry menyarankan agar Michael mencari pengantin wanita lain, begitu pula keluarga Michael. Namun Michael menolak hal itu dan bersikukuh dengan perasaannya untuk menikahi Curry setelah dia sembuh, meskipun lumpuh.
Permulaan akhir kisah:
Untuk mengetahui lebih lanjut cerita ini, aku (penulis) menemui seorang pemuda. Dia berusia dua puluh tahunan, seorang pegawai sukses di salah satu perusahaan investasi, berroman tenang, tabi’atnya ramah, dan suaranya yang lembut mampu mengudang perhatian. Dia (Michael) memulai ceritanya secara flashback, sehingga ceritanya maju mundur, tuturnya: Aku hidup bersama pemilik hatiku dan aku memenuhi kehidupanku di rumah ini dengan keindahan. Masih terngiang di benakku, istri, ibu, kasih sayangnya dan manisnya.
Terkadang aku dikatai “gila” karena aku senantiasa menjaga keberadaan kekasihku hingga hari ini. Tidak terlintas sedikitpun dalam benakku untuk menikah, berbagi hati dan perasaanku dengan wanita lain. Mungkin mereka tidak mengetahui sebagimana yang aku tahu. Sehingga aku pun mengbaikan penilaian mereka perihal pernikahanku dengan Curry. Tapi karena kondisi kesehatan Curry melemah, kami merayakan pesta pernikahan kami dengan sederhana di rumah ayahku.
Bulan madu:
Usai acara pernikahan, kami terbang ke Malaysia untuk berbulan madu. Kami membantunya bergerak dengan kursi rodanya. Di sana Curry tidak terlalu membatasi dirinya karena dia dalam keadaan lumpuh. Kami bersendagurau dan rebahan bersama layaknya pasangan yang normal lainnya. Kami juga membutuhkan campur tangan orang lain pada hal-hal yang sulit kami hadapi,seperti pernikahan, khususnya di tempat-tempat umum. Kadang-kadang dia juga malu dalam hubungannya dengan aku sebagai suaminya. Meskipun aku pedih dengan sakitnya, aku mencoba memahaminya. Aku senang dengan keberadaannya di sisiku dan sakitnya bukanlah sebuah penghalang untukku.
Setelah kepulangan kami dari perjalanan itu, kami hidup menetap di apartemen yang kami siapkan sebelumnya. Kami tinggal bersebelahan dengan keluarga Curry untuk mengantisipasi keadaan darurat yang mungkin menimpanya. Hari pun berlalu begitu landai. Aku berangkat ke kampus karena aku masih menjadi mahasiswa di tahun spesialisasi. Sementara istriku (Curry) mengurus rumah dan menyiapkan makanan semampunya. Dia dibantu oleh seorang pembantu untuk bergerak dengan kursi rodanya kemudian duduk menanti kepulanganku.
Curry, dia sungguh wanita yang riang, cerdas, dan pendengar yang baik pada perasaan dan mimipi-mimpiku. Dia juga bangga kepadaku dan memotivasiku untuk menggapai masa depan yang cerah di bidang spesialisasiku. Sehingga perhatian utamaku dalam hidup adalah tidak mengecewakan harapannya di hari kelak. Sekalipun dia dalam keadaan sakit dia menghendaki kepuasaanku sebagai suami. Dia tahu bagaimana berdandan dan melayaniku. Hal seperti ini lah yang sayangnya tidak semua wanita memilikinya.
Setelah beberapa bulan pernikahan kami, kondisi kesehatan Curry mulai memburuk. Dia tidak lagi berobat untuk meringankan penyebaran penyakit di tubuhnya, sementara aku hanya bisa berharap pada rahmat Allah. Semoga penyakitnya segera diangkat. Sedangkan dirinya semakin rapuh, dan kondisi psikisnya juga memburuk sehingga dia menyerah pada penyakitnya.
Pada suatu malam, Curry bercerita kepadaku mengenai ketentuan dan takdir dan iman kepada Allah. Dan kepergiannya kelak tak harus membekas berlebihan dalam hidupku juga masa depanku. Dia tetap dalam keadaan tenang dan ramah seperti biasanya, hanya saja dia sedikit sedih dan tidak mau ceritanya kupotong seakan dia sedang berpamitan (perpisahan) denganku. Aku mencoba menenangkannya dan senantiasa ada di sisinya memeluknya. Malam itu kami tidur bersama begitu pulas seolah kami tidak pernah menikmati tidur kami di malam-malam sebelumnya. Tapi esok paginya aku bangun lebih awal dari Curry, sedangkan dia masih terlelap dalam tidurnya dengan nyenyak. Dia mati setelah mendadak pingsan dalam tidurnya, dan dia telah pergi dariku.
Anak perempuan tetangga:
Berdasarkan rincian awal kisah ini, Michael mengingat memorinya yang penuh dengan perasaan dan konflik, seraya berkata: kami hidup dan dibesarkan bersama-sama, aku dan kekasihku (Curry), sampai-sampai tetangga-tetangga kita hanya di lingkungan sini-sini saja. Hubungan keluarga kami memang sangat akrab laksana keluarga sendiri. Ketika kami masih kecil, kami bermain dan bersenang-senang bersama di tempat yang sempit ini. Dan ketika kami agak besar, Curry mulai tampak dewasa lebih dulu. Kami pun mulai saling menjauh sbagaimana hukum agama, adat dan panutan yang saat itu kami belum menahami maksudnya.
Namun suatu ketika bayangan sahabat karibku (Curry) yang selama ini aku bermain dan tertawa bersamanya tak kunjung hilang dari imajinasiku. Aku sering mengadu pada ibuku dengan pemikiran yang masih polos perihal kerinduanku padanya dan kesenanganku akan bermain kembali bersamanya. Tiba-tiba ibu berkata kalau aku ini sudah besar begitu pula Curry, dan kami tak mungkin kembali menjadi kecil lagi untuk bermain-main. Karena ini aku selalu mencari kesempatan untuk melihatnya dan bercakap-cakap dengannya sebagaimana janji kita.
Aku berdiri di pintu sekolah menunggu Curry keluar. Aku selalu bersedia menyampaikan apapun yang ibuku kirimkan ke rumahnya. Aku selalu mengunjungi mereka (keluarga Curry) untuk menyerahkan sesuatu pada saudara-saudaranya, atau menenyakan kebutuhan mereka, atau menghabiskan hari-hariku di sekitar rumahnya berharap aku melihatnya. Aku sungguh mencintainya seiring berlalunya hari. Dan semakin bertambah pula perhatianku dengannya juga kerinduanku padanya, seakan dia menggantikan perasaanku padahal tangannya tak melakukan apaun.
Kerinduan:
Tak berselang lama semua orang di lingkungan mengetahui kisah kami. Ada dari mereka yang mengolok-olok kerinduanku ini, sampai cerita ini terdengar oleh keluarga Curry sehingga keluarga dan saudara-saudaranya mencerca kejadian ini. Mereka mengadu kepada ayahku perihal tindakanku yang menyeleweng. Mereka (orang tua Curry) melarangnya bersekolah dalam waktu yang lama. Aku merasa sangat kehilangan dan selalu berusaha menemuinya. Tapi aku tidak bisa melupakannya  atau mengosongkan pikiranku tentangnya. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama sepertiku sehingga kesehatanku menurun. Aku sangat menderita dan aku abaikan studiku. Aku tak mau keluar untuk bertemu teman-temanku ataupun memenuhi kebutuhan keluargaku. Selama waktu itu ibuku kasihan kepadaku dan menyarankan untuk aku meminang Curry. Seketika itu aku merasa hidup lagi dan aku kembali berharap untuk menemuinya dengan kehadiranku yang baru.
Aku pun menemui keluarga Curry untuk meminangnya tetapi mereka menolakku dan pinanganku seraya berkata bagaimana mungkin aku menikah sedangkan aku adalah seorang playboy, bahkan mereka mengancamku jika aku mengulangi hal ini atau mencoba menemuinya. Aku tak pernah putus asa, dan kembali berkali-kali untuk meminangnya sehingga keluarga besar dan teman-temannya menyetujui pernikahan kami. Aku nyaris gila sebab terlalu bahagia, akhirnya aku akan bersatu dengan kekasihku.
Di rumah sakit:
Suatu hari aku dikejutkan dengan kabar kalau kekasihku sakit. Dia pingsan kemudian dibawa ke rumah sakit. Pikiranku menjadi lumpuh dan jantungku hampir berhenti berdetak. Ketika aku sampai di sana aku dilarang menemuinya karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk ditemui. Aku menanyai semua yang ada di sana mengenai apa yang menimpanya, tapi aku tak menemukan jawaban yang memuaskan. Berkali-kali aku mengunjunginya untuk menemuinya, sampai ayah Curry sendiri yang melarangku menemuinya dan memintaku mengakhiri hubungan kami, karena dia tidak lagi mampu dalam pernikahan. Aku ragu dengan perkataan itu. Aku pun memaksa untuk menemui Curry apapun yang terjadi. Aku masuk untuk menemuinya, aku sedih melihatnya sakit tak berdaya. Aku semakin resah dan galau. Air mataku pun tumpah ketika pernyataan itu diucap berulang-ulang.
Aku bergegas ke ruang dokter untuk mendengar langsung perihal kekasihku (Curry). Dokter memberitahuku bahwa Curry terkena diabetes stadium lanjut, dan terpaksa kakinya diamputasi. Sementara kaki sebelahnya terinfeksi pula sehingga harus diamputasi juga. Dia tak mungkin menikah kecuali jika sudah sehat. Dia juga membutuhkan perhatian yang lebih, karena kondisi psikisnya yang juga tidak mudah menerima kenyataan ini. Aku tidak putus asa atas kekasihku dan apa yang telah dikatakan tentangnya. Aku tidak peduli, dan tekadku untuk menikahinya tetap bertahan. Aku tidak mencintainya karena fisik sehingga aku meninggalkannya ketika cacat. Aku tetap bertekad menikahinya ketika dia sembuh. Semuanya pun menganggap aku gila karenanya.
Aku hidup bersama Curry selama delapan bulan, kami habiskan hari-hari kami di rumah sakit. Tetapi kehendak Allah tiga tahun lalu, dia berakhir akibat terkena diabetes. Dia pun mati di atas ranjangnya dan meninggalkanku. Ketika aku bangun di pagi hari, aku temukan tubuhnya sudah terpisah dengan rohnya yang melayang kembali ke Ilahi. Karena ini aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk menghormatinya. Sekalipun sudah tiga tahun dia mati, aku tetap merasa dia masih bersamaku. Aku melarang keluargaku merubah apapun yang ada di rumahku agar aku senantiasa melihat Curry di tempat manapun. Betapa aku berharap dia akan melahirkan seorang anak untukku, tapi takdirnya tak memenuhi keinginanku. Kisah sedih dan menyakitkan tetapi mengungkap makna cinta sejati.

وظيفة الاختبار النصفي تحت الموضوع الأصلي " قصة الشاب يتزوج حبيبته بعد بتر ساقها

No comments:

Post a Comment