CINTA TAK MEMANDANG FISIK
Pengorbanan itu ada bermacam-macam
bentuknya. Berikut ini adalah salah satu bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh
seorang pemuda (sebut saja Michael). Michael telah menikahi seorang wanita
(sebut saja Curry) yang diamputasi kakinya, untuk menepis anggapan orang-orang yang
berkata tidak ada harapan dalam kelangsungan hidup Curry, setelah ia sekarat
akibat diabetes. Curry pun akhirnya mati setelah delapan bulan usia
pernikahannya. Peristiwa ini mengundang shock yang tak kunjung padam. Bahkan
sampai tiga tahun kematian Curry, Michael masih hidup dalam baying-bayangnya.
Tiga tahun tidak mengubah apapun di rumah mereka, bahkan tempat dimana Curry
menyisir rambutnya.
Cinta itu tiba-tiba datang menghampiri
hati Michael. ia masih usia remaja dan polos saat perasaannya terpikat pada
seorang putri tetangganya yang berusia sedikit lebih muda darinya. Seiring
berlalunya hari perasaan cinta antara dua hati pemuda ini (Michael dan Curry)
pun semakin kuat sehingga diketahui banyak tetangga, dan menjadikan keluarga
Curry menentang keras hubunagn mereka. Namun Michael tidak putus asa berjuang
untuk memiliki Curry. Berkali-kali dia
dating meminang Curry tanpa mengenal lelah. Setiap kali pinangannya ditolak,
dia berpikir suatu saat akan diterima. Setelah berbagai pertimbangan Curry
akhirnya menerima pinangannya. Upacara prewedding pun berjalan begitu cepat
sehingga pinangan pun sempurna ketika dibacakan akad nikah.
Tiba-tiba banyak peristiwa yang terjadi
tanpa perhitungan. Usai Curry difonis terkena diabetes stadium lanjut, pihak
dokter terpaksa mengamputasi salah satu kakinya. Setelah dua bulan lukanya tak
kunjung sembuh, malah menular pada kaki satunya. Untuk menyelamatkan hidupnya,
pihak dokter pun mengamputasi kakinya. Hal ini membuat Curry resah menanti hari
pernikahannya dengan kekasihnya (Michael), sementara kedua kakinya lumpuh.
Keluarga Curry menyarankan agar Michael mencari pengantin wanita lain, begitu
pula keluarga Michael. Namun Michael menolak hal itu dan bersikukuh dengan
perasaannya untuk menikahi Curry setelah dia sembuh, meskipun lumpuh.
Permulaan akhir kisah:
Untuk mengetahui lebih lanjut cerita
ini, aku (penulis) menemui seorang pemuda. Dia berusia dua puluh tahunan,
seorang pegawai sukses di salah satu perusahaan investasi, berroman tenang,
tabi’atnya ramah, dan suaranya yang lembut mampu mengudang perhatian. Dia
(Michael) memulai ceritanya secara flashback, sehingga ceritanya maju mundur, tuturnya:
Aku hidup bersama pemilik hatiku dan aku memenuhi kehidupanku di rumah ini
dengan keindahan. Masih terngiang di benakku, istri, ibu, kasih sayangnya dan
manisnya.
Terkadang aku dikatai “gila” karena aku senantiasa
menjaga keberadaan kekasihku hingga hari ini. Tidak terlintas sedikitpun dalam
benakku untuk menikah, berbagi hati dan perasaanku dengan wanita lain. Mungkin
mereka tidak mengetahui sebagimana yang aku tahu. Sehingga aku pun mengbaikan
penilaian mereka perihal pernikahanku dengan Curry. Tapi karena kondisi
kesehatan Curry melemah, kami merayakan pesta pernikahan kami dengan sederhana
di rumah ayahku.
Bulan madu:
Usai acara pernikahan, kami terbang ke
Malaysia untuk berbulan madu. Kami membantunya bergerak dengan kursi rodanya. Di
sana Curry tidak terlalu membatasi dirinya karena dia dalam keadaan lumpuh. Kami
bersendagurau dan rebahan bersama layaknya pasangan yang normal lainnya. Kami
juga membutuhkan campur tangan orang lain pada hal-hal yang sulit kami
hadapi,seperti pernikahan, khususnya di tempat-tempat umum. Kadang-kadang dia
juga malu dalam hubungannya dengan aku sebagai suaminya. Meskipun aku pedih
dengan sakitnya, aku mencoba memahaminya. Aku senang dengan keberadaannya di
sisiku dan sakitnya bukanlah sebuah penghalang untukku.
Setelah kepulangan kami dari perjalanan
itu, kami hidup menetap di apartemen yang kami siapkan sebelumnya. Kami tinggal
bersebelahan dengan keluarga Curry untuk mengantisipasi keadaan darurat yang
mungkin menimpanya. Hari pun berlalu begitu landai. Aku berangkat ke kampus karena
aku masih menjadi mahasiswa di tahun spesialisasi. Sementara istriku (Curry)
mengurus rumah dan menyiapkan makanan semampunya. Dia dibantu oleh seorang
pembantu untuk bergerak dengan kursi rodanya kemudian duduk menanti
kepulanganku.
Curry, dia sungguh wanita yang riang,
cerdas, dan pendengar yang baik pada perasaan dan mimipi-mimpiku. Dia juga
bangga kepadaku dan memotivasiku untuk menggapai masa depan yang cerah di
bidang spesialisasiku. Sehingga perhatian utamaku dalam hidup adalah tidak mengecewakan
harapannya di hari kelak. Sekalipun dia dalam keadaan sakit dia menghendaki
kepuasaanku sebagai suami. Dia tahu bagaimana berdandan dan melayaniku. Hal
seperti ini lah yang sayangnya tidak semua wanita memilikinya.
Setelah beberapa bulan pernikahan kami,
kondisi kesehatan Curry mulai memburuk. Dia tidak lagi berobat untuk
meringankan penyebaran penyakit di tubuhnya, sementara aku hanya bisa berharap
pada rahmat Allah. Semoga penyakitnya segera diangkat. Sedangkan dirinya
semakin rapuh, dan kondisi psikisnya juga memburuk sehingga dia menyerah pada
penyakitnya.
Pada suatu malam, Curry bercerita
kepadaku mengenai ketentuan dan takdir dan iman kepada Allah. Dan kepergiannya
kelak tak harus membekas berlebihan dalam hidupku juga masa depanku. Dia tetap
dalam keadaan tenang dan ramah seperti biasanya, hanya saja dia sedikit sedih
dan tidak mau ceritanya kupotong seakan dia sedang berpamitan (perpisahan) denganku.
Aku mencoba menenangkannya dan senantiasa ada di sisinya memeluknya. Malam itu
kami tidur bersama begitu pulas seolah kami tidak pernah menikmati tidur kami
di malam-malam sebelumnya. Tapi esok paginya aku bangun lebih awal dari Curry,
sedangkan dia masih terlelap dalam tidurnya dengan nyenyak. Dia mati setelah
mendadak pingsan dalam tidurnya, dan dia telah pergi dariku.
Anak perempuan tetangga:
Berdasarkan rincian awal kisah ini,
Michael mengingat memorinya yang penuh dengan perasaan dan konflik, seraya
berkata: kami hidup dan dibesarkan bersama-sama, aku dan kekasihku (Curry),
sampai-sampai tetangga-tetangga kita hanya di lingkungan sini-sini saja. Hubungan
keluarga kami memang sangat akrab laksana keluarga sendiri. Ketika kami masih
kecil, kami bermain dan bersenang-senang bersama di tempat yang sempit ini. Dan
ketika kami agak besar, Curry mulai tampak dewasa lebih dulu. Kami pun mulai
saling menjauh sbagaimana hukum agama, adat dan panutan yang saat itu kami
belum menahami maksudnya.
Namun suatu ketika bayangan sahabat
karibku (Curry) yang selama ini aku bermain dan tertawa bersamanya tak kunjung
hilang dari imajinasiku. Aku sering mengadu pada ibuku dengan pemikiran yang
masih polos perihal kerinduanku padanya dan kesenanganku akan bermain kembali bersamanya.
Tiba-tiba ibu berkata kalau aku ini sudah besar begitu pula Curry, dan kami tak
mungkin kembali menjadi kecil lagi untuk bermain-main. Karena ini aku selalu
mencari kesempatan untuk melihatnya dan bercakap-cakap dengannya sebagaimana
janji kita.
Aku berdiri di pintu sekolah menunggu
Curry keluar. Aku selalu bersedia menyampaikan apapun yang ibuku kirimkan ke
rumahnya. Aku selalu mengunjungi mereka (keluarga Curry) untuk menyerahkan
sesuatu pada saudara-saudaranya, atau menenyakan kebutuhan mereka, atau
menghabiskan hari-hariku di sekitar rumahnya berharap aku melihatnya. Aku
sungguh mencintainya seiring berlalunya hari. Dan semakin bertambah pula
perhatianku dengannya juga kerinduanku padanya, seakan dia menggantikan
perasaanku padahal tangannya tak melakukan apaun.
Kerinduan:
Tak berselang lama semua orang di
lingkungan mengetahui kisah kami. Ada dari mereka yang mengolok-olok kerinduanku
ini, sampai cerita ini terdengar oleh keluarga Curry sehingga keluarga dan
saudara-saudaranya mencerca kejadian ini. Mereka mengadu kepada ayahku perihal
tindakanku yang menyeleweng. Mereka (orang tua Curry) melarangnya bersekolah
dalam waktu yang lama. Aku merasa sangat kehilangan dan selalu berusaha
menemuinya. Tapi aku tidak bisa melupakannya
atau mengosongkan pikiranku tentangnya. Aku yakin dia juga merasakan hal
yang sama sepertiku sehingga kesehatanku menurun. Aku sangat menderita dan aku
abaikan studiku. Aku tak mau keluar untuk bertemu teman-temanku ataupun
memenuhi kebutuhan keluargaku. Selama waktu itu ibuku kasihan kepadaku dan
menyarankan untuk aku meminang Curry. Seketika itu aku merasa hidup lagi dan
aku kembali berharap untuk menemuinya dengan kehadiranku yang baru.
Aku pun menemui keluarga Curry untuk
meminangnya tetapi mereka menolakku dan pinanganku seraya berkata bagaimana
mungkin aku menikah sedangkan aku adalah seorang playboy, bahkan mereka
mengancamku jika aku mengulangi hal ini atau mencoba menemuinya. Aku tak pernah
putus asa, dan kembali berkali-kali untuk meminangnya sehingga keluarga besar
dan teman-temannya menyetujui pernikahan kami. Aku nyaris gila sebab terlalu
bahagia, akhirnya aku akan bersatu dengan kekasihku.
Di rumah sakit:
Suatu hari aku dikejutkan dengan kabar
kalau kekasihku sakit. Dia pingsan kemudian dibawa ke rumah sakit. Pikiranku
menjadi lumpuh dan jantungku hampir berhenti berdetak. Ketika aku sampai di
sana aku dilarang menemuinya karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk
ditemui. Aku menanyai semua yang ada di sana mengenai apa yang menimpanya, tapi
aku tak menemukan jawaban yang memuaskan. Berkali-kali aku mengunjunginya untuk
menemuinya, sampai ayah Curry sendiri yang melarangku menemuinya dan memintaku
mengakhiri hubungan kami, karena dia tidak lagi mampu dalam pernikahan. Aku
ragu dengan perkataan itu. Aku pun memaksa untuk menemui Curry apapun yang
terjadi. Aku masuk untuk menemuinya, aku sedih melihatnya sakit tak berdaya.
Aku semakin resah dan galau. Air mataku pun tumpah ketika pernyataan itu diucap
berulang-ulang.
Aku bergegas ke ruang dokter untuk mendengar
langsung perihal kekasihku (Curry). Dokter memberitahuku bahwa Curry terkena
diabetes stadium lanjut, dan terpaksa kakinya diamputasi. Sementara kaki
sebelahnya terinfeksi pula sehingga harus diamputasi juga. Dia tak mungkin
menikah kecuali jika sudah sehat. Dia juga membutuhkan perhatian yang lebih,
karena kondisi psikisnya yang juga tidak mudah menerima kenyataan ini. Aku
tidak putus asa atas kekasihku dan apa yang telah dikatakan tentangnya. Aku
tidak peduli, dan tekadku untuk menikahinya tetap bertahan. Aku tidak
mencintainya karena fisik sehingga aku meninggalkannya ketika cacat. Aku tetap
bertekad menikahinya ketika dia sembuh. Semuanya pun menganggap aku gila
karenanya.
Aku hidup bersama Curry selama delapan
bulan, kami habiskan hari-hari kami di rumah sakit. Tetapi kehendak Allah tiga
tahun lalu, dia berakhir akibat terkena diabetes. Dia pun mati di atas
ranjangnya dan meninggalkanku. Ketika aku bangun di pagi hari, aku temukan
tubuhnya sudah terpisah dengan rohnya yang melayang kembali ke Ilahi. Karena
ini aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk menghormatinya. Sekalipun sudah
tiga tahun dia mati, aku tetap merasa dia masih bersamaku. Aku melarang
keluargaku merubah apapun yang ada di rumahku agar aku senantiasa melihat Curry
di tempat manapun. Betapa aku berharap dia akan melahirkan seorang anak
untukku, tapi takdirnya tak memenuhi keinginanku. Kisah sedih dan menyakitkan
tetapi mengungkap makna cinta sejati.
وظيفة الاختبار النصفي تحت الموضوع الأصلي " قصة الشاب يتزوج حبيبته بعد بتر ساقها
No comments:
Post a Comment