AKUPUN BERHUTANG PADA SETIAP TETESAN KERINGAT BANGSAKU
By: HISTISHA NR.
Ketika kupikir, di Malang sini aku bisa berlalu
meninggalkan masalaluku. Justru masalaluku yang berlaku sebagai anak tangga
yang kupijaki, yang mengantarku hingga aku sampai di sini. Ketika kupikir, di Malang
sini adalah persinggahan untuk peristirahatanku. Justru kebisingannya membuatku
kesepian, sehingga aku tertuntun melakukan banyak hal yang semula aku tak tahu.
Aku memang sempat lupa dengan anak-anak tangga yang
meminjamkan bahunya untuk menyorongku, hingga aku berada di sini. Sebab, dalam
pemberangkatanku, aku hanya memikirkan diriku sendiri dan untuk kesenganku
pribadi. Aku hanya bersiap untuk menyambut sejuknya embun fajar di pagi hari.
Aku hanya bersiap menatap senyum rembulan yang menawan kala petang mulai
membayang. Aku hanya berbekal keegoisanku untuk berlari dari masalaluku.
Alhamdulillah... Wa Innalillah...
Alarmku masih setia bersenandung membangunkanku dari
lelap tidurku. Alarmku masih bersabar membisik menyadarkanku dari pingsan
panjangku.
Ternyata, aku di sini tidak sendiri. Aku tidak hanya
untuk diriku sendiri. Aku di sini, di Malang ini bukan sekadar untuk rekreasi.
Atau, sekadar berpindah ranjang tidur dari bumi Banyuwangi. Aku tak boleh
terhanyut oleh imajinasi dan fantasi konyolku. Karena, di atas punggung kurusku
masih tertumpuk tanggungjawab dan amanat orangtuaku juga bangsaku.
Dalam kejujuranku, bahkan ada banyak catatan hutang,
hutang, dan hutang yang belum terlunaskan. Ada banyak pinjaman, pinjaman,
pinjaman modal yang belum aku investasikan. Ternyata yang mengalir dalam
darahku, bukan hanya hasil tetesan keringat orangtuaku, dalam setiap jerih
payahnya. Dalam seutuh khusyu’ doanya. Dalam setulus baris harapannya. Yang
senantiasa merajuk memohon kasih Yang Maha Kuasa. Bahkan, yang mendenyutkan
setiap nadi-nadiku, ternyata masih mengalir hasil tetesan keringat bangsaku.
Bagaimana tidak? Tiga tahun silam, uang yang kugunakan
mendaftar SNMPTN tulis di UIN Malang ini, adalah sisa beasiswaku di MAN
Pesanggaran. Dengan koin-koin yang tersisa itu, aku bahkan bisa bertahan sampai
sekarang, di bumi Malang. Beasiswa itu, yaa... itu kudapat memang sebagai
hadiah karena dianggap berprestasi. Aku tak berbanga diri. Aku hanya berusaha
mengingatkan diriku atas tanggungjawabku. Jika dulu investasiku di MAN sudah
diteruskan oleh yang berkuasa di sana sekarang. Ternyata, tak cukup hanya berhenti
di situ. Beasiswa yang notabene berasal dari gunungan kepingan rupiah hasil
perasan keringat seluruh bangsaku, disediakan untuk generasi penerus bangsa
untuk terus melakukan pembangunan, baik mental, moral, akhlak, martabat, dan
segalanya. Dan harusnya itu diperuntukkan bagi yang benar-benar bisa
bertanggungjawab atasnya. Tapi kenapa aku waktu itu yang terpilih menerimanya? Bahkan
aku tanpa meminta. Sehingga aku pun bertanya-tanya. Karena aku tak menemukan
jawaban tepatnya, aku hanya bisa mengupayakan agar aku tak mengecewakan
bangsaku atas amanat yang telah dipercayakannya. Dan karena sisa rupiah itu
kugunakan untuk meneruskan pembelajaranku di Malang ini, artinya sampai saat
ini pun aku masih mengemban amanat bangsaku.
Aku tak boleh hanya bermain-main dengan sisa waktuku. Aku
tak boleh sekadar menikmati pinjaman modal yang diberikan orangtuaku. Aku harus
bangkit dari keegoisanku. Aku harus bangun dari lelap pejamnya mata hatiku.
Masih ada sisa-sisa tetesan keringat bangsaku yang turut mengalir dalam
darahku, bersama guyuran keringat orangtuaku. Masih ada banyak hutang yang
belum terlunaskan. Jangan hanya aku bisa sejenak singgah dalam dunia yang singkat
ini, tanpa memberikan manfaat apapun. Aku tak boleh membiarkan tetesan keringat
bangsaku yang sudah mengalir dalam darahku, hanya gugur sia-sia.
"DUNYO IKI SEDELO, EMAN LAK DILIWATNO TANPO OLEH OPO2, TANPO NGERTI
OPO2, TANPO AWEH MANFAAT OPO2."
Humaniora, 01 Desember 2015
Meski di tengah beku Kota Malang, asaku harus
senantiasa tercairkan.