MISTIK KEJAWEN
Himatul Istiqomah
Mistik kejawen bukanlah suatu kemusyrikan.
Karena jauh sebelum Islam masuk ke Jawa, Jawa sudah memiliki kebudayaan
tersendiri begitu pula perihal penyembahan terhadap Tuhan. Sangat keliru jika
sebagai muslim yang memahami hakikat keislaman masih mengkafirkan ajaran-ajaran
mistik kejawen. Karena setiap hamba berhak menyembah Tuhan sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
Islam secara runutan kata itu berarti selamat.
Sementara yang kita pahami tentang keislaman hanyalah setelah keberadaan Islam
itu sendiri. Sedangkan Masyarakat Jawa, sebelum Islam (agama) menyebar ke Jawa mereka
sudah memiliki ajaran-ajaran ketuhanan yang bertendensi pada keselamatan.
Mungkin secara tekstual yang terungkap sejarah Islam memasuki Jawa kurang lebih
pada abad ke 7 M. Namun hakikatnya ajaran-ajaran Islam sudah mendarah daging
jauh sebelum itu di kalangan masyarakat Jawa. Bagaimana mungkin kita yang baru
mengenal agama Islam bisa mengkafirkan orang-orang yang sejak dulu mengamalkan
ajaran-ajaran Islam?
Setiap dari kita memiliki keterbatasan dan
kemampuan dengan takarannya masing-masing. Dan kala itu masyarakat Jawa lebih
cenderung simbolis dalam mengimplementasikan kekuasaan Tuhan. Tapi justru hal
itu merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari berbagai asumsi-asumsi yang
berujung pada penghambaan kawula terhadap Tuhannya.
Sebelum Jawa mengenal Al Quran secara
tekstual, Jawa sudah memiliki beraneka ragam kitab yang menjelaskan perihal
tata kosmos kehidupan. Pengenalan Tuhan dan eksistensi ketuhanan bahkan
penyebutan terang-terangan misteri yang tersimpan di alam semesta. Misalnya
kitab Adam Makna, pada pembahasannya ada yang menerangkan isi dari Al
Quran yang teringkas dalam Surat Al Fatihah kemudian mengerucut dan
bermuara pada satu ayat yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Selain
itu dari kitab Adam Makna yang pernah penulis baca, di situ
bahkan dijelaskan mengenai manusia yang wujudnya merupakan simbol dari
eksistensi ketuhanan yang diwakili oleh para malaikatnya. Tidak hanya sepuluh
malaikat yang bersemayam dalam tubuh yang masih bernyawa ini melainkan lebih
dari itu. Jawa juga memiliki tata cara penghitungan kalender yang sebenarnya
sederhana. Tapi sering kali orang yang tidak tahu menganggapnya sebagai ramalan
belaka dan perbuatan syirik. Padahal di Jawa hal itu memang dipelajari untuk
meduga-duga kemungkinan yang akan terjadi guna kewaspadaan.
Kekeliruan yang amat fatal jika kita
mengkafirkan cara-cara yang orang Jawa lakukan dalam menyembah Tuhan. Padahal
mereka sangat menikmati penyatuannya dengan Tuhan melalui cara-cara seperti
itu. Sementara kita yang sudah ditunjuki jalan-jalan penyembahan Tuhan yang
lebih rasional, justru kita tidak merasakan nikmatnya bersanding di istanan
Tuhan dalam alam semesta ini. Lantas siapa yang terjebak dalam kegelapan
pemahaman?
Mungkin pemahaman kita tidak sampai pada
pemikiran masayarakat Jawa dengan paham Kejawennya. Tapi sejarah terungkap
dalam kitab-kitab yang mereka wariskan. Bahkan jika diselami isinya, ternyata
kita tidak lebih seperti orang yang mengetahui keindahan laut namun hanya
berada di pesisir saja. Sementara masyarakat Jawa dengan pemahamannya mereka
sudah mengarungi luasnya samudera dengan kedalaman yang mungkin tidak terukur
lagi.
“Aku bangga menjadi orang Jawa.”
03 Desember 2014
No comments:
Post a Comment