Thursday, November 27, 2014

PERANAN RASA DAN KAIDAH KEBAHASAAN DALAM KRITIK SASTRA



دور الذوق و القواعد عند النقد الأدبي
لأداء الوظيفة الفرقية في مادة نقد الأدب العربي
تحت المشرف : سوتامان

 
أعضاء الفرقة :
همة الاستقامة                      12310079

قسم اللغة العربية و أدبها
كلية العلوم الإنسانية
جامعة مولانا مالك إبراهيم الإسلامية الحكومية مالانق
2014




KATA PENGANTAR
Lantunan bacaan hamdallah tiada hentinya kami sanjungkan sebagai ungkapan syukur atas karunia yang Allah Swt sajikan untuk kita semua selaku hamba-Nya. Shalawat salam semoga tak terjedakan mengalun untuk Nabiyullah Muhammad Saw sebagai penerang alam bak cahaya.
Dalam makalah ini, kami menyuguhkan bahasan mengenai  دور الذوق و القواعد عند النقد الأدبي” untuk memenuhi tugas akhir semester lima mata kuliah “نقد الأدب العربي” yang diampu oleh Ustadz Sutaman Rahimahullohu ta’ala. Sebagaimana judul tersebut, kami akan membahas perihal peranan dzauq dan kaidah kebahasaan dalam kritik sastra. Karena meskipun terdapat kaidah kebahasaan tersendiri yang menjadi patokan dalam berbahasa, sastrawan juga tidak lepas dari dzauq ketika menghasilkan sebuah karya sastra.
Tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula dalam penyajian makalah ini, kurangnya pemahaman penulis perihal materi ini menyebabkan beberapa kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk itu segala kritik akan kami terima demi perbaikan penugasan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 27 Oktober 2014

Penulis


الفهرس
صفحة العنوان........................................................................................................................................................ i
التمهيد...................................................................................................................................................................  ii
صفحة الفهرس..................................................................................................................................................... iii
الفصل الأول          : المقدمة
1.       الخلفية...................................................................................................................................................  1
2.       مشكلات البحث.....................................................................................................................................  2
3.       أهداف البحث........................................................................................................................................  2
الفصل الثاني         : المباحث
1.       خلاصة النقد الأدبي...............................................................................................................................  3
2.       قواعد النقد الأدبي.................................................................................................................................  5
3.       دور الذوق و القواعد عند النقد الأدبي.................................................................................................. 8
الفصل الثالث       : الخاتمة
1.       الخلاصة...............................................................................................................................................  13
المراجع







BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dalam memahami permasalahan sastra tidak lepas dari tiga komponen penting kesusastraan; teori sastra,  sejarah sastra dan yang terakhir adalah kritik sastra. Ketiganya saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan, baik semua ataupun salah satunya. Teori dan kritik sastra tidak akan bisa berdiri tanpa mengetahui sejarah sastra. Sebaliknya tanpa adanya kritik sastra, teori dan sejarah sastra tidak akan pernah mengalami perkembangan.
Karya sastra dengan tema yang sama pun akan memiliki gaya bahasa dan dzauq (rasa) yang berbeda jika dihasilkan oleh orang  yang berbeda atau karena kondisi goekultural serta psikososial yang berbeda. Untuk itulah seorang kritikus sastra dalam menjalankan peranannya perlu memahami ketiga komponen tersebut terlebih dahulu, agar dalam mengkritik, ia bisa memberikan inovasi sebagai kontribusi bagi pengembangan dunia sastra.
Suatu karya sastra tidak pernah lepas dari rasa[1] sebagai salah satu unsur pembangunnya. Terkadang rasa itu sulit dibahasakan,[2] sehingga tidak heran jika banyak ditemui karya sastra yang dalam penulisannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan pada umumnya. Karya sastra lebih mengutamakan nilai estetis, sehingga dalam penggunaan diksi dan modifikasi pola kalimatnya sering kali tidak logis secara lafdziyah[3]. Di sinilah peran utama rasa dalam memahami suatu karya sastra secara maknawiyah,[4] lebih dari sekedar menilai sastra secara tekstual.
Zaman yang semakin berkembang memicu perkembangan dunia keilmuan, tidak terkecuali ranah sastra. Jika dulunya sastra bertumpu pada rasa tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan, sekarang keduanya antara rasa dan kaidah kebahasaan bisa beriringan dalam menghasilkan karya sastra yang berkualitas. Para sastrawan dalam menuangkan rasanya menggunakan diksi dengan kaidah kebahasaan yang tepat, sehingga tidak ada lagi dikotomi kritik perihal peranan rasa dan kaidah kebahasaan dalam membangun suatu karya sastra, sekalipun rasa tetaplah memiliki porsi yang lebih banyak.
2.      Rumusan Masalah
1)      Apa itu kritik sastra?
2)      Apa saja tolok ukur dalam kritik sastra?
3)      Bagaimana peranan rasa dan kaidah kebahasaan dalam kritik sastra?
3.      Tujuan Pembahasan
1)      Memahami pengertian kritik sastra.
2)      Memahami tolok ukur  dalam kritik sastra.
3)      Memahami peranan  rasa dan kaidah kebahasaan dalam kritik sastra.





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Uraian An Naqdu Al Adabi
An Naqdu Al Adabi berasal dari dua kata: Al Adabi yang dinisbahkan pada kata adab yang dapat diartikan sebagai gaya pengungkapan perihal fenomena kehidupan menggunakan bahasa yang estetis, dan An Naqdu yang berarti aib atau cacat yang kemudian berkembang artinya menjadi penilaian terhadap baik buruknya sesuatu.[5]
Kritik sastra termasuk suatu cabang Ilmu Sastra, meskipun dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan pendapat. Dalam pengertian umum sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. N.C. Kwant dalam bukunya Mensen, kritik ialah menyederhanakan kenyataan secara penuh tanggung jawab dengan tujuan agar orang yang bersangkutan mengadakan pemikiran kembali dan selanjutnya mengadakan perbaikan diri atau self correction. Sehingga setiap kritik harus berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan.[6]
Untuk definisi kritik sastra sendiri dapat diperoleh dari beberapa kamus, ensiklopedi atau dari beberapa buku tentang kritik. Perbedaan yang beraneka ragam mengenai definisinya disebabkan pula oleh keahlian seseorang dalam suatu bidang pengetahuan tertentu. Misalya definisi yang dituturkan H.B. Yassin, bahwa: Kritik kesusastraan ialah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Secara singkat oleh Yassin dikatakan bahwa: kritik ialah penerangan dan penghakiman.[7]
Adapun kritik sastra menurut Dr. Manzur dalam definisinya  adalah seni kajian uslub (metode penulis dalam mengekspresikan, memikirkan, dan merasakan karya sastra) dan perbedaanya dengan karya sastra yang telah ada. Dr. Ibrahim Nasr dalam bukunya mendefinisikan kritik sastra pada masa Jahiliyah dan awal munculnya Islam sebagai cermin yang jujur yang memantulkan aspek baik, buruk, dan indah dalam karya sastra sebagaimana hal itu menjadikanmu mengerti fenomena kelemahan dan keterbelakangannya.[8]
Dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan secara ringkas, bahwa kritik sastra ialah penilaian tentang suatu karya sastra. Kata penilaian dapat mengandung pengertian pertimbangan tentang baik buruknya suatu karya sastra atau penghakiman (judgement). Untuk memberi penilaian terhadap karya sastra seorang kritikus terlebih dahulu harus mengadakan pemahaman atau pendalaman yang sepenuhnya terhadap karya sastra itu sendiri, kemudian melalui suatu analisa dan penafsiran barulah penilaian bisa dilaksanakan.[9] Mardjoko I. Dalam bukunya menambahkan kutipan Najib Kailani (1969 M:162) bahwasannya dalam mengurai suatu karya sastra, kritik sastra tidak melupakan faktor pencipta serta lingkungannya dan tidak meninggalkan alam fikiran yang berkembang pada saat pembuatan karya sastra itu.[10]
Adapun tujuan kritik menurut Shumaker ialah pemahaman yang penuh berisi penilaian terhadap suatu subyek yang bersifat kritis (the full, evaluated apprehension of the critical subject matter).[11] Sedangkan kritik sastra berfungsi untuk menciptakan teori-teori sastra sehingga dapat memberikan kontribusi yang krusial untuk kepentingan ilmu sastra.[12] Dan Tujuan mempelajari kritik sastra adalah mengetahui kaidah yangmana kita mampu mengetahui atau memberikan penilaian pada bagian sastra yang indah atau yang tidak indah.[13]

2.      Tolok Ukur Kritik Sastra
Kritik sastra belum mencapai kesempurnaan sebelum sampai pada tahap evaluasi atau penilaian. Misalnya hanya sampai pada tahap analisis dan interpretasi, kritik sastra semacam ini baru sampai pada tingkat apresiasi. Kritik sastra yang baik haruslah sampai pada tahap evaluasi. Sebab, “kritik sastra adalah salah satu jenis esai mengenai pertim­bangan baik-bu­ruknya suatu karya sastra dengan menyertakan alasan-alasan perihal isi dan bentuknya.[14]
Dalam melakukan evaluasi atau penilaian itulah seorang kritikus harus memperhatikan norma dan kriteria sebagai dasar mengukur atau menilai karya sastra. Norma di sini diartikan sebagai aturan atau kaidah[15] yang digunakan oleh seorang kritikus sebagai tolok ukur untuk menilai suatu karya sastra ataupun memban­dingkannya dengan karya sastra lainnya. Sementara itu, kriteria digunakan oleh seorang kritikus sebagai ukuran yang menjadi dasar penilaian dan penetapan apakah suatu karya sastra itu bermutu atau tidak, baik atau buruk. Baik norma maupun kriteria, keduanya ditentukan oleh kritikus, pengamat, ataupun penilai atas dasar karya sastra telah yang ada. Penilaian dapat secara objektif dan dapat pula secara subjektif. Ini sangat bergantung pada paham, pengetahuan, dan rasa yang dimiliki si penilai.[16]
a.      Tolok Ukur Dasar[17]
Tolok ukur dasar adalah tolok ukur pokok yang digunakan kritikus sebagai dasar dalam menilai karya sastra, yaitu:  tolok ukur formal dan tolok ukur moral.
Tolok ukur formal adalah ukuran dasar yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom dengan aturan, konvensi atau norma-norma tersendiri. A.Teeuw (1983) berpendapat bahwa konvensi bahasa dan konvensi sastra merupakan aspek formal sebuah bangunan karya sastra yang menggunakan medium bahasa. Sementara itu, konvensi budaya merupakan latar sekaligus subtansi pokok makna karya sastra.
Sebaliknya, tolok ukur moral memandang karya sastra sebagai bagian dari aktivitas kemanusian dan nilai-nilai tertentu dalam kehi­dupan manusia, serta menjelaskannya dengan referensi yang bertumpu pada keseluruhan kode moral yang mengandung unsur baik dan buruk. Jadi, secara umum tolok ukur moral ini berbicara tentang isi, kandungan karya sastra dan aspek pragmatiknya bagi kehidupan.
b.      Tolok Ukur Estetis, Epistemis, dan Normatif[18]
Dari kedua tolok ukur dasar di atas kemudian berkembang menjadi tolok ukur estetis, epistemis, dan normatif. Tolok ukur estetis adalah ukuran karya sastra yang mencoba memperlihatkan nilai-nilai keindahan dalam karya sastra. Thomas Aquino menyatakan bahwa ada tiga syarat untuk keindahan, yaitu:
(1)   Keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan, cacat, tidak lengkap, dan ganjil itu mengakibatkan keburukan atau kejelekan, sehingga tidak indah;
(2)   Keselarasan atau keseimbangan bentuk, sesuatu yang harmonis, serasi; dan
(3)   Sinar kejelasan, yakni segala sesuatu yang memancarkan nilai-nilai terang atau cemerlang, penuh pesona, cerah, segar, dan brilian.
Tolok ukur estetis memang bersifat relatif, sangat bergantung pada siapa yang memandang dan siapa penilai. Ukuran estetis juga dapat dikatakan sebagai ukuran kualitatif yang mengandalkan kemampuan si pengamat.
Tolok ukur epistemis adalah ukuran karya sastra yang memperlihatkan nilai-nilai kebenaraan dan kegunaan praktis dari suatu karya sastra. Nilai kebenaran dalam karya sastra ini bukan diukur dari kebenaran faktual dan bukan pula berdasarkan pada sistem logika konvensional, melainkan kebenaran imajinatif yang memiliki sistem logika­nya sendiri. Artinya, setiap karya sastra menunjukkan sistem permainan, urutan lo­gis berdasarkan peristiwa bersambung yang terjadi di dalamnya, dan kebenarannya hanyalah sebuah refleksi atau cermin kehidupan.
Secara espistemis karya sastra harus berguna atau bermanfaat, misalnya karya sastra  itu memiliki: (1) manfaat pendidikan, (2) manfaat kepekaan batin atau sosial, (3) manfaat menambah wawasan, dan (4) manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
Tolok ukur normatif adalah ukuran karya sastra yang memperlihatkan norma-norma yang khas dalam karya sastra. Misalnya sistem strata norma Roman Ingar­den, seorang filsuf Polandia, yang menyatakan bahwa ada lima lapis dalam karya sastra, yaitu:
(1)   Lapis suara (sound stratum).
(2)   Lapis arti (units of meaning), rangkaian fonem, kata, frase, dan kalimat da­lam suara-suara itu dapat menimbulkan arti atau makna-makna tersendiri.
(3)   Lapis objek yang dikemukakan pengarang, seperti latar, peristiwa, pelaku, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
(4)   Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinya­takan, tetapi terkandung di dalamnya (implied), misalnya suara derit pintu yang dibuka oleh seseorang, apabila pintu itu berderit dengan perlahan dan halus, akan timbul sugesti bahwa yang membuka pintu itu seorang wanita yang berwatak halus dan penuh kehati-hatian atau orang yang sabar; sebaliknya apabila derit pintu itu bersuara keras, “jedor!”, akan menim­bulkan sugesti bahwa yang membuka pintu itu orang laki-laki yang berwatak kasar atau sedang marah; dan
(5)   Lapis metafisis, berupa sifat-sifat yang mampu membimbulkan renungan yang sublim (mulia), yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci.

3.      Peranan Rasa dan Kaidah Kebahasaan Dalam Kritik Sastra
Rasa memiliki peranan penting dalam aplikasi kritik sastra. Ia berlaku sebagai ukuran untuk menentukan baik-buruknya suatu karya sastra, benar-salahnnya juga keindahannya.[19] Bahkan pada masa Jahiliyah, rasa merupakan satu-satunya peraga kritik sastra yang mayoritas diwujudkan dalam bentuk syair syafahiyah[20] (seperti berbalas pantun). Karena pada masa jahiliyah para sastrawan dan kritikusnya lebih banyak mengutarakan karyanya melalui bahasa lisan bukan tulisan.[21] Sehingga tanggapan terhadap karya sastra dilakukan melalui pengindraan yang cermat dengan pertimbangan rasa.
Contoh : syair Umru’ul Qais
و ليل كموج البحر أرخى سدوله # عليّ بأنواع الهموم ليبتليْ
فقلت له لما تمطى بصلبه # وأرف أعجازا وناء بكلكلِ
ألا أيها الليلُ الطويل ألا انجل # بصُبح وما الإصباح منك بأمثلِ
فيالك من ليل كأن نجومه # بكل مُغار الفتل شدت بيذبلِ[22]
Demi malam gelap ysng seperti gelombang laut yang tengah meliputiku
Dengan berbagai dera keresahan untuk menghantarku
Di waktu malam tengah memanjangkan waktunya maka aku katakan padanya
Wahai malam yang panjang gerangan apakah yang menghalangimu untuk bergantian dengan pagi hari?
Walaupun pagi hari itu tidak lebih baik dari engkau
(Husein Al Hajj Hasan, 1990:44)[23]
Syair di atas menggunakan diksi yang tepat dalam mendiskripsikan keraguan, kebimbangan serta kegalauan penyair aslinya.[24] Sehingga tersirat ‘atifah yang mewakili dzauq sang penyair. Kesamaan dalam rima setiap akhir satr ke dua memberikan kesan estetis yang dapat ditangkap oleh penikmat sastra meskipun belum sampai pada pemahaman artinya.
Sementara kaidah kebahasaan, ia mendapatkan porsi yang sangat minim posisinya dalam kritik sastra, terlebih pada masa Jahiliyah. Masyarakat Jahiliyah dalam bersastra tidak menggunakan kaidah kebahasaan dan hanya ditekankan pada rasa.[25] Salah satu faktornya yaitu, keberadaan kaidah kebahasaan baru dimulai pada masa Islam yang dipelopori oleh Abul Aswad Ad Duali. Maka tidak heran jika dalam kaidah-kaidah kebahasaan sering ditemukan pengecualian hukum dengan alasan dharuratus syi’ir.
Contoh 1 : syair Al ‘Ajjaj (w. 90 H.)
وبلدة ليس بها طوريٌّ # ولا خلا الجنَّ بها إنسيٌّ[26]
Syair di atas merupakan contoh syair yang tidak mengikuti kaidah kebahasaan pada umumnya. Seharusnya mustatsna itu berada sesudah mustatsna minhu “ولا بها إنسيٌّ خلا الجنَّ”, tetapi karena dharuratus syi’ir sehingga hal itu tidaklah dipermasalahkan. Dan sering kali yang seperti ini dijadikan dalil oleh Ahli Nahwu Kufah dalam hal perbedaan pendapat dengan Ahli Nahwu Basrah.
Contoh 2 : nadham Alfiyah bab waqaf
تَنْوِيْنًا اثْرَ فَتْح اجْعَلْ أَلِفَا # وَقْفًا وَتِلْوَ غَيْرِ فَتْح احْذَفَا[27]
Nadham di atas merupakan contoh nadham yang tidak mengikuti kaidah kebahasaan dalam segi penataan pola kalimat SPOK. Hal ini pun tidak dipermasalahkan oleh Ahli Bahasa dan tidak mengubah maksud nadham tersebut.
Secara nalar dapat dimaksudkan bahwasannya kritik sastra berdasarkan kaidah kebahasaan itu lahir setelah terlebih dulu dilakukan pengamatan, penganalisisan dan peninjauan terhadap karya sastra yang sudah ada, sekaligus pembelajaran terhadap kritik sastra secara dzauqi setelah datangnya Islam.[28] Al Qur’an memberikan kontribusi yang amat besar bagi dunia kebahasaan, yang itu tidak diberikan oleh kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelumnya, baik dari segi tujuan, makna, lafadz, dan gaya bahasanya.[29] Karena penggunaan tata bahasa Al Qur’an yang sedemikian indah sehingga memicu para ilmuwan untuk mengkaji kaidah-kaidah kebahasaan di dalamnya, yang kemudian melahirkan beberapa disiplin Ilmu Kebahasaan[30] yang membuming pada masa keemasan.[31]
Catatan sejarah ini menjadi dasar bahwasannya kritik sastra setelah masa kejayaan Islam tidak lagi hanya bertumpu pada rasa tetapi juga kaidah kebahasaan. Dan ini berlaku pula pada sastra itu sendiri. Dapat dipastikan bahwasannya karya sastra yang dihasilkan pada masa kejayaan Islam hingga saat ini merupakan perpaduan olah rasa yang memperhatikan kaidah kebahasaan ketika menuangkan dalam bentuk tulisan.
Contoh 1  : Syair Al Buhturi
أتاك الربيعُ الطلق يختال ضاحكا # من الحسن حتى كاد أن يتكلما
وقد نبه النيروز في غسق الدجى # أوائل ورد كنّ بالأمس نوّما
فمن شجر ردّ الربيع لباسه # عليه كما نشرت وشيا منمنما
أحل فأبدى للعيون بشاشة # وكان قذى للعين إذ كان محرما
ورق نسيم الريح حتى حسبته # يجيء بأنفاس الأحبة نعّما [32]
Contoh 2 : Syair Ahmad Maisur Sindi At Tursidi[33]
الحمد لله جلّ ذكره وصلا # ته السلام على كنز العلا كملا
محمد أله وصحبه النجم # هذا كتاب حوى آدبك الفضلا
لطالب العلم ينبغي إذا حضر # مجلس علم تطهر كما فعلا
لبس ثياب نظيفة فقط طهرت # تطيب واستياق جا وقد جمُلا
يعدما هو محتاج إليه لدى # تعلم كي يكون حاضرا كملا[34]
Contoh 3 : Syair KH. Ahmad Mudlor[35]
صَلَوَاتُ العِرفان
Menempuh Jalan Kema’rifatan
عَلىَ مَن خُلقه القرءان
صَلاَةُ اللهِ وَ السّلاَم
Atas seorang yang berbudi Al-Qur’an
Penghormatan dan salam Alloh senantiasa tercurahkan
بِقَصدِ رحمةِ العالم
محمّد مبلغ البيان
Dengan maksud sebagai rahmat bagi seluruh alam
Yaitu Muhammad sang penyampai penjelasan
و صحبه نعم الكرم
و أله ذوى الحكم
Dan para sahabatnya yang terbaik
Beserta keluarga pemilik kebajikan
نور الصّلاة و السّلام
من سلك نحو العرفان
Sebagai cahaya penghormatan dan keselamatan
Yaitu orang-orang yang menempuh jalan kema’rifatan
فنجّنا كلّ الأثام
الهى يا منتقماً
Selamatkan kami dari segala dosa
Wahai Tuhan Sang Penolak kerusakan
لنيل أفضل النّعم
لله كن لنا عوناً
Untuk mendapatkan kenikmatan yang paling utama
Wahai Tuhan kiranya Engkau sudi melimpahkan pertolongan kepada kami
واختم باحسن الختام
الهى سلّم الأمم
Dan limpahkanlah akhir yang baik
Wahai Tuhan selamatkan bangsa kami
فأدخلنا دار السّلام
يا ربّنا و يا رحمن
Masukkan kami ke surga (kampung perdamaian)
Wahai Tuhan kami yang Maha Pengasih
Ketiga syair di atas menggunakan diksi yang sesuai dengan rasa penyair dalam mendiskripsikan *musim semi, *pujian terhadap Nabi Muhammad, dan *nasehat untuk para pencari ilmu, tanpa menyimpang dari kaidah kebahasaan.
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
·         An Naqdu Al Adabi berasal dari dua kata: An Naqdu (aib atau cacat) dan Al Adabi (sastra). kritik sastra ialah cabang ilmu sastra yang meliputi penilaian tentang suatu karya sastra.
Dan Tujuan mempelajari kritik sastra adalah mengetahui kaidah yangmana kita mampu mengetahui atau memberikan penilaian pada bagian sastra yang indah atau yang tidak indah.
·         Kritik sastra belum mencapai kesempurnaan sebelum sampai pada tahap evaluasi atau penilaian. Dan untuk mencapai hal ini dibutuhkan pemahaman seorang kritikus terhadap tolok ukur kritik sastra. Diantaranya:
o   Tolok Ukur Dasar : formal dan moral
o   Tolok Ukur Estetis, Epistemis, dan Normatif
·         Untuk menghasilkan kritik yang bermutu, seorang kritikus tidak hanya bersandar pada kaidah-kaidah kebahasaan yang baku akan tetapi juga harus berusaha mempelajari dan memahami melalui emosi dan perasaan seni yang melekat dalam jiwa, kemudian memperhatikan pengaruh-pengaruh yang ditinggalkan naskah itu di dalam dirinya.






DAFTAR PUSTAKA
Al Iskandari, Ahmad. dan Mustofa Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه. Mesir: Dar Al Ma’arif. Hlm. 65
Ali Abu Khasybi, Ibrahim. Tanpa tahun. في محيط النقد الأدبي . Hlm. 27
Amin, Ahmad. 1967 M. النقد الأدبي . Birut-Libanon: Darul Kitab Al Arabi.
Dahlan, Ah. Zaini. 2008. دحلان ألفية شرح متن الألفية الملقب بالأزهر الزينية. Indonesia : Al Haramain. Hlm. 185 dan Jalaluddin As Suyuti. Tanpa tahun. شرح ابن عقيل على الألفية لجمال الدين محمد بن عبد الله بن مالك. Surabaya : Darul Ilmi. Hlm. 185
Idris, Mardjoko. 2009. Kritik Sastra Arab Pengertian, Sejarah dan Aplikasinya. Yogyakarta: Sukses Ofsett.
Jassin. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya Cetakan Ke Enam. Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 95
Maisur Sindi At Tursidi, Ahmad. Tanpa tahun. تنبيه المتعلم. Semarang : Griya Toha Putra. Hlm. 3-4
Muzakki, Ahmad. 2011. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN-Press. Hlm. 19
Mudhor, Ahmad. (Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang). Halaqah Ilmiah 10 Maret 2013. Malang: LTPLM
Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو ومدارسه. Malang : Dream Litera Buana. Hlm. 40
Kundhara, Adiel. Apresiasi vs Kritik (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014). http://adiel87.blogspot.com/2009/11/apresiasi-vs-kritik.html
Kritik Sastra dalam Sastra Arab. (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014). http://bahasa.kompasiana.com/2013/01/23/kritik-sastra-dalam-sastra-arab-528030.html




[1] Dzauq seorang sastrawan yang kemudian dituangkan dalam karyanya sehingga menjadi ‘athifah.
[2] “Banyak bahasa yang sulit dimengerti. Banyak pengertian yang sulit dibahasakan. Banyak bahasa yang tidak ada pengertiannya. Banyak pengertian yang tidak ada bahasanya. Banyak bahasa yang pengertiannya banyak. Banyak pengertian yang bahasanya banyak.” K.H. A. Mudhor (Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Halaqah Ilmiah 10 Maret 2013. Malang: LTPLM)
[3] Tersurat atau tertulis dalam suatu susunan kalimat yang berpola SPOK atau SPO atau SP saja.
[4] Tersirat atau tersimpan. Biasanya terdapat dalam penggunaan majas.
[5] Ahmad Amin. 1967 M. النقد الأدبي . Birut-Libanon: Darul Kitab Al Arabi. Hlm. 17

[6] Adiel Kundhara. Apresiasi vs Kritik.  http://adiel87.blogspot.com/2009/11/apresiasi-vs-kritik.html (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014)

[7] Ibid.
[8] Kritik Sastra dalam Sastra Arab. http://bahasa.kompasiana.com/2013/01/23/kritik-sastra-dalam-sastra-arab-528030.html (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014).
[10] Drs. Mardjoko Idris, M. Ag. 2009. Kritik Sastra Arab Pengertian, Sejarah dan Aplikasinya. Yogyakarta: Sukses Ofsett. Hlm. 6
[12] Dr. H. A. Muzakki. 2011. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN-Press. Hlm. 19
[14] H.B. Jassin. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya Cetakan Ke Enam. Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 95

[15] Kaidah-kaidah ataupun ukuran-ukuran sastra tersebut dihasilkan oleh kritikus dari contoh-contoh sukses yang terkenal dari karya-karya sastra pada masa keemasan. Puji Santosa. Tolok Ukur Dalam Kritik Sastra. http://pujagita.blogspot.com/2011/03/tolok-ukur-dalam-kritik-sastra.html. (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014)

[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Dr. Ibrahim Ali Abu Khasybi. Tanpa tahun. في محيط النقد الأدبي . Hlm. 27
[20] Mouth to mouth.
[21] Ibid. Hlm.13
[22] Ah. Al Iskandari dan Mustofa Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه. Mesir: Dar Al Ma’arif. Hlm. 65
[23] Dr. H. A. Muzakki. M.A. Opcit. Hlm. 51
[24] Pada satr pertama diksi tersebut mewakili ungkapan; كموج البحر في توحشه ونكارة أمره. Adapun makna السدول adalah الظلمات الشبيهة بالسطور. Pada satr ke dua; تمطى digunakan untuk mewakili kata مد ظهره. Dan seterusnya... Ibid.
[25] Dr. Ibrahim Ali Abu Khasybi. Opcit. Hlm. 37
[26] Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو ومدارسه. Malang : Dream Litera Buana. Hlm. 40
[27] Ah. Zaini Dahlan. 2008. دحلان ألفية شرح متن الألفية الملقب بالأزهر الزينية. Indonesia : Al Haramain. Hlm. 185 dan Jalaluddin As Suyuti. Tanpa tahun. شرح ابن عقيل على الألفية لجمال الدين محمد بن عبد الله بن مالك. Surabaya : Darul Ilmi. Hlm. 185
[28] Setelah diturunkannya Al Qur’an.
[29] Ah. Al Iskandari dan Mustofa Anani. Opcit. Hlm. 99
[30] Ilmu Nahwu, Shorf, Isytiqaq, Ma’ani, Badi’, Bayan, Adab, Rasm, Qira’ah, Tafsir, Ushul, Tauhid dan Fiqh. Ibid. Hlm. 99-100
[31] Masa Khilafah Abbasiyyah.
[32] Ibid. Hlm. 268
[33] Pengarang kitab Tanbihul Muta’allim
[34] Ahmad Maisur Sindi At Tursidi. Tanpa tahun. تنبيه المتعلم. Semarang : Griya Toha Putra. Hlm. 3-4
[35] Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, Almarhum.

No comments:

Post a Comment