لأداء الوظيفة الفرقية في مادة
نقد الأدب العربي
تحت المشرف
: سوتامان
أعضاء الفرقة :
همة الاستقامة 12310079
قسم اللغة العربية و أدبها
كلية العلوم الإنسانية
جامعة مولانا مالك إبراهيم
الإسلامية الحكومية مالانق
2014
KATA PENGANTAR
Lantunan bacaan hamdallah tiada hentinya kami sanjungkan
sebagai ungkapan syukur atas karunia yang Allah Swt sajikan untuk kita semua
selaku hamba-Nya. Shalawat salam semoga tak terjedakan mengalun untuk
Nabiyullah Muhammad Saw sebagai penerang alam bak cahaya.
Dalam makalah ini, kami menyuguhkan bahasan mengenai “دور
الذوق و القواعد عند النقد الأدبي” untuk memenuhi tugas akhir
semester lima mata kuliah “نقد
الأدب العربي” yang diampu oleh Ustadz Sutaman Rahimahullohu ta’ala.
Sebagaimana judul tersebut, kami akan membahas perihal peranan dzauq dan
kaidah kebahasaan dalam kritik sastra. Karena meskipun terdapat kaidah kebahasaan
tersendiri yang menjadi patokan dalam berbahasa, sastrawan juga tidak lepas dari
dzauq ketika menghasilkan sebuah karya sastra.
Tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula dalam
penyajian makalah ini, kurangnya pemahaman penulis perihal materi ini
menyebabkan beberapa kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk
itu segala kritik akan kami terima demi perbaikan penugasan selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Malang,
27 Oktober 2014
Penulis
|
الفهرس
صفحة العنوان........................................................................................................................................................
i
التمهيد................................................................................................................................................................... ii
صفحة الفهرس.....................................................................................................................................................
iii
الفصل الأول : المقدمة
1.
الخلفية................................................................................................................................................... 1
2.
مشكلات البحث..................................................................................................................................... 2
3.
أهداف البحث........................................................................................................................................ 2
الفصل الثاني : المباحث
1.
خلاصة النقد الأدبي............................................................................................................................... 3
2.
قواعد النقد الأدبي................................................................................................................................. 5
3.
دور الذوق و القواعد عند النقد
الأدبي..................................................................................................
8
الفصل الثالث : الخاتمة
1.
الخلاصة............................................................................................................................................... 13
المراجع
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam memahami permasalahan sastra tidak lepas
dari tiga komponen penting kesusastraan; teori sastra, sejarah sastra dan yang terakhir adalah
kritik sastra. Ketiganya saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan, baik
semua ataupun salah satunya. Teori dan kritik sastra tidak akan bisa berdiri tanpa
mengetahui sejarah sastra. Sebaliknya tanpa adanya kritik sastra, teori dan
sejarah sastra tidak akan pernah mengalami perkembangan.
Karya sastra dengan tema yang sama pun akan
memiliki gaya bahasa dan dzauq (rasa) yang berbeda jika dihasilkan oleh orang yang berbeda atau karena kondisi goekultural
serta psikososial yang berbeda. Untuk itulah seorang kritikus sastra dalam
menjalankan peranannya perlu memahami ketiga komponen tersebut terlebih dahulu,
agar dalam mengkritik, ia bisa memberikan inovasi sebagai kontribusi bagi
pengembangan dunia sastra.
Suatu karya sastra tidak pernah lepas dari
rasa[1]
sebagai salah satu unsur pembangunnya. Terkadang rasa itu sulit dibahasakan,[2]
sehingga tidak heran jika banyak ditemui karya sastra yang dalam penulisannya
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan pada umumnya. Karya sastra lebih
mengutamakan nilai estetis, sehingga dalam penggunaan diksi dan modifikasi pola
kalimatnya sering kali tidak logis secara lafdziyah[3].
Di sinilah peran utama rasa dalam memahami suatu karya sastra secara maknawiyah,[4]
lebih dari sekedar menilai sastra secara tekstual.
Zaman yang semakin berkembang memicu
perkembangan dunia keilmuan, tidak terkecuali ranah sastra. Jika dulunya sastra
bertumpu pada rasa tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan, sekarang keduanya
antara rasa dan kaidah kebahasaan bisa beriringan dalam menghasilkan karya
sastra yang berkualitas. Para sastrawan dalam menuangkan rasanya menggunakan
diksi dengan kaidah kebahasaan yang tepat, sehingga tidak ada lagi dikotomi
kritik perihal peranan rasa dan kaidah kebahasaan dalam membangun suatu karya
sastra, sekalipun rasa tetaplah memiliki porsi yang lebih banyak.
2. Rumusan Masalah
1) Apa itu kritik sastra?
2) Apa saja tolok ukur dalam kritik sastra?
3) Bagaimana peranan rasa dan kaidah kebahasaan dalam kritik sastra?
3. Tujuan Pembahasan
1) Memahami pengertian kritik sastra.
2) Memahami tolok ukur dalam kritik
sastra.
3) Memahami peranan rasa dan kaidah
kebahasaan dalam kritik sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Uraian An Naqdu Al Adabi
An Naqdu Al Adabi berasal dari dua kata: Al Adabi yang
dinisbahkan pada kata adab yang dapat diartikan sebagai gaya
pengungkapan perihal fenomena kehidupan menggunakan bahasa yang estetis, dan An
Naqdu yang berarti aib atau cacat yang kemudian berkembang artinya menjadi
penilaian terhadap baik buruknya sesuatu.[5]
Kritik sastra termasuk suatu cabang
Ilmu Sastra, meskipun dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan pendapat. Dalam pengertian umum sebagaimana
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. N.C. Kwant dalam bukunya Mensen, kritik ialah
menyederhanakan kenyataan secara penuh tanggung jawab dengan tujuan agar orang
yang bersangkutan mengadakan pemikiran kembali dan selanjutnya mengadakan
perbaikan diri atau self correction. Sehingga setiap kritik harus
berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan.[6]
Untuk definisi
kritik sastra sendiri dapat diperoleh dari beberapa kamus, ensiklopedi
atau dari beberapa buku tentang kritik. Perbedaan yang beraneka ragam
mengenai definisinya disebabkan pula oleh keahlian seseorang dalam
suatu bidang
pengetahuan tertentu. Misalya definisi yang dituturkan H.B.
Yassin, bahwa: Kritik kesusastraan ialah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil
kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi
dan bentuk hasil kesusastraan. Secara singkat oleh Yassin dikatakan bahwa: kritik
ialah penerangan dan penghakiman.[7]
Adapun kritik sastra menurut Dr. Manzur
dalam definisinya adalah seni kajian uslub (metode
penulis dalam mengekspresikan, memikirkan, dan merasakan karya sastra) dan perbedaanya dengan karya sastra yang telah ada. Dr. Ibrahim Nasr dalam bukunya mendefinisikan kritik sastra pada
masa Jahiliyah dan awal munculnya Islam sebagai cermin yang
jujur yang memantulkan aspek baik, buruk, dan indah dalam karya sastra
sebagaimana hal itu menjadikanmu mengerti fenomena kelemahan dan
keterbelakangannya.[8]
Dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan
secara ringkas, bahwa
kritik sastra ialah penilaian tentang suatu karya
sastra. Kata penilaian dapat mengandung pengertian pertimbangan tentang baik buruknya suatu karya
sastra atau
penghakiman (judgement). Untuk memberi penilaian terhadap karya sastra
seorang kritikus terlebih dahulu harus mengadakan pemahaman atau pendalaman
yang sepenuhnya terhadap karya sastra itu sendiri, kemudian melalui suatu analisa dan penafsiran barulah penilaian bisa dilaksanakan.[9] Mardjoko I. Dalam bukunya menambahkan kutipan
Najib Kailani (1969 M:162) bahwasannya dalam mengurai suatu karya sastra,
kritik sastra tidak melupakan faktor pencipta serta lingkungannya dan tidak
meninggalkan alam fikiran yang berkembang pada saat pembuatan karya sastra itu.[10]
Adapun tujuan kritik
menurut Shumaker ialah pemahaman yang penuh berisi penilaian terhadap suatu subyek
yang bersifat kritis (the full, evaluated apprehension of the critical subject matter).[11] Sedangkan kritik sastra
berfungsi untuk menciptakan teori-teori sastra sehingga dapat memberikan
kontribusi yang krusial untuk kepentingan ilmu sastra.[12]
Dan Tujuan mempelajari kritik sastra
adalah mengetahui kaidah yangmana kita mampu mengetahui atau memberikan
penilaian pada bagian sastra yang indah atau yang tidak indah.[13]
2.
Tolok Ukur Kritik Sastra
Kritik sastra belum mencapai kesempurnaan
sebelum sampai pada tahap evaluasi atau penilaian. Misalnya hanya sampai pada
tahap analisis dan interpretasi, kritik sastra semacam ini baru sampai pada
tingkat apresiasi. Kritik sastra yang baik haruslah sampai pada tahap evaluasi.
Sebab, “kritik sastra adalah salah satu jenis esai mengenai pertimbangan
baik-buruknya suatu karya sastra dengan menyertakan alasan-alasan perihal
isi dan bentuknya.[14]
Dalam melakukan evaluasi atau penilaian itulah
seorang kritikus harus memperhatikan norma dan kriteria sebagai dasar mengukur
atau menilai karya sastra. Norma di sini diartikan sebagai aturan atau kaidah[15]
yang digunakan oleh seorang kritikus sebagai tolok ukur untuk menilai suatu
karya sastra ataupun membandingkannya dengan karya sastra lainnya. Sementara itu, kriteria digunakan oleh seorang kritikus sebagai
ukuran yang menjadi dasar penilaian dan penetapan apakah suatu
karya sastra itu bermutu atau tidak, baik atau buruk. Baik norma maupun kriteria, keduanya
ditentukan oleh kritikus, pengamat, ataupun penilai atas dasar karya sastra telah
yang ada. Penilaian dapat secara objektif dan dapat pula secara subjektif. Ini
sangat bergantung pada paham, pengetahuan, dan rasa yang dimiliki si
penilai.[16]
a.
Tolok Ukur Dasar[17]
Tolok
ukur dasar adalah tolok ukur pokok yang digunakan kritikus sebagai dasar dalam
menilai karya sastra, yaitu: tolok ukur formal dan tolok ukur moral.
Tolok
ukur formal adalah ukuran
dasar yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom dengan aturan, konvensi atau
norma-norma tersendiri. A.Teeuw (1983) berpendapat bahwa konvensi bahasa dan konvensi
sastra merupakan aspek formal sebuah bangunan karya sastra yang menggunakan
medium bahasa. Sementara itu, konvensi budaya merupakan latar sekaligus
subtansi pokok makna karya sastra.
Sebaliknya,
tolok ukur moral memandang karya sastra sebagai bagian dari aktivitas
kemanusian dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta menjelaskannya
dengan referensi yang bertumpu pada keseluruhan kode moral yang
mengandung unsur baik dan buruk. Jadi, secara umum tolok ukur moral ini
berbicara tentang isi, kandungan karya sastra dan aspek pragmatiknya bagi
kehidupan.
Dari kedua tolok ukur dasar di atas kemudian berkembang
menjadi tolok ukur estetis, epistemis, dan normatif. Tolok
ukur estetis adalah ukuran
karya sastra yang mencoba memperlihatkan nilai-nilai keindahan dalam karya
sastra. Thomas Aquino menyatakan bahwa ada tiga syarat untuk keindahan, yaitu:
(1) Keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan, cacat, tidak lengkap, dan ganjil
itu mengakibatkan keburukan atau kejelekan, sehingga tidak indah;
(2)
Keselarasan
atau keseimbangan bentuk, sesuatu yang
harmonis, serasi; dan
(3)
Sinar
kejelasan, yakni segala sesuatu yang
memancarkan nilai-nilai terang atau cemerlang, penuh pesona, cerah, segar, dan
brilian.
Tolok
ukur estetis memang bersifat relatif, sangat bergantung pada siapa yang
memandang dan siapa penilai. Ukuran estetis juga dapat
dikatakan sebagai ukuran kualitatif yang mengandalkan kemampuan si pengamat.
Tolok ukur epistemis adalah ukuran karya sastra yang
memperlihatkan nilai-nilai kebenaraan dan kegunaan praktis dari suatu karya
sastra. Nilai kebenaran dalam karya sastra ini bukan diukur dari kebenaran
faktual dan bukan pula berdasarkan pada sistem logika konvensional, melainkan
kebenaran imajinatif yang memiliki sistem logikanya sendiri. Artinya, setiap
karya sastra menunjukkan sistem permainan, urutan logis berdasarkan peristiwa
bersambung yang terjadi di dalamnya,
dan kebenarannya hanyalah sebuah refleksi atau cermin kehidupan.
Secara espistemis karya sastra harus berguna atau
bermanfaat, misalnya karya sastra itu memiliki: (1) manfaat pendidikan,
(2) manfaat kepekaan batin atau sosial, (3) manfaat menambah wawasan, dan (4)
manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
Tolok ukur normatif adalah ukuran karya sastra yang
memperlihatkan norma-norma yang khas dalam karya sastra. Misalnya sistem strata norma Roman Ingarden, seorang filsuf
Polandia, yang menyatakan bahwa ada lima lapis dalam karya sastra, yaitu:
(1)
Lapis
suara (sound stratum).
(2)
Lapis
arti (units of meaning), rangkaian fonem, kata, frase, dan
kalimat dalam suara-suara itu dapat menimbulkan arti atau makna-makna
tersendiri.
(3)
Lapis
objek yang dikemukakan pengarang,
seperti latar, peristiwa, pelaku, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau
lukisan.
(4)
Lapis
“dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied),
misalnya suara derit pintu yang dibuka oleh seseorang, apabila pintu itu
berderit dengan perlahan dan halus, akan timbul sugesti bahwa yang membuka
pintu itu seorang wanita yang berwatak halus dan penuh kehati-hatian atau orang
yang sabar; sebaliknya apabila derit pintu itu bersuara keras, “jedor!”, akan
menimbulkan sugesti bahwa yang membuka pintu itu orang laki-laki yang berwatak
kasar atau sedang marah; dan
(5)
Lapis
metafisis, berupa sifat-sifat yang mampu
membimbulkan renungan yang sublim (mulia), yang tragis, mengerikan atau
menakutkan, dan yang suci.
3. Peranan Rasa dan Kaidah Kebahasaan Dalam Kritik Sastra
Rasa memiliki peranan penting dalam
aplikasi kritik sastra. Ia berlaku sebagai ukuran untuk menentukan
baik-buruknya suatu karya sastra, benar-salahnnya juga keindahannya.[19]
Bahkan pada masa Jahiliyah, rasa merupakan satu-satunya peraga kritik sastra
yang mayoritas diwujudkan dalam bentuk syair syafahiyah[20]
(seperti berbalas pantun). Karena pada masa jahiliyah para sastrawan dan
kritikusnya lebih banyak mengutarakan karyanya melalui bahasa lisan bukan
tulisan.[21]
Sehingga tanggapan terhadap karya sastra dilakukan melalui pengindraan yang
cermat dengan pertimbangan rasa.
Contoh : syair Umru’ul Qais
و ليل كموج البحر أرخى سدوله # عليّ بأنواع الهموم ليبتليْ
فقلت له لما تمطى بصلبه # وأرف أعجازا وناء بكلكلِ
ألا أيها الليلُ الطويل ألا انجل # بصُبح وما الإصباح منك
بأمثلِ
فيالك من ليل كأن نجومه # بكل مُغار الفتل شدت بيذبلِ[22]
Demi malam gelap ysng seperti gelombang laut
yang tengah meliputiku
Dengan berbagai dera keresahan untuk
menghantarku
Di waktu malam tengah memanjangkan waktunya
maka aku katakan padanya
Wahai malam yang panjang gerangan apakah yang
menghalangimu untuk bergantian dengan pagi hari?
Walaupun pagi hari itu tidak lebih baik dari
engkau
(Husein Al Hajj Hasan, 1990:44)[23]
Syair di atas menggunakan diksi yang tepat
dalam mendiskripsikan keraguan, kebimbangan serta kegalauan penyair aslinya.[24]
Sehingga tersirat ‘atifah yang mewakili dzauq sang penyair.
Kesamaan dalam rima setiap akhir satr ke dua memberikan kesan estetis
yang dapat ditangkap oleh penikmat sastra meskipun belum sampai pada pemahaman
artinya.
Sementara kaidah kebahasaan, ia mendapatkan
porsi yang sangat minim posisinya dalam kritik sastra, terlebih pada masa
Jahiliyah. Masyarakat Jahiliyah dalam bersastra tidak menggunakan kaidah
kebahasaan dan hanya ditekankan pada rasa.[25]
Salah satu faktornya yaitu, keberadaan kaidah kebahasaan baru dimulai pada masa
Islam yang dipelopori oleh Abul Aswad Ad Duali. Maka tidak heran jika dalam
kaidah-kaidah kebahasaan sering ditemukan pengecualian hukum dengan alasan dharuratus
syi’ir.
Contoh 1 : syair Al ‘Ajjaj (w. 90 H.)
وبلدة ليس بها
طوريٌّ # ولا خلا الجنَّ بها إنسيٌّ[26]
Syair di atas merupakan contoh syair yang
tidak mengikuti kaidah kebahasaan pada umumnya. Seharusnya mustatsna itu berada
sesudah mustatsna minhu “ولا بها إنسيٌّ خلا الجنَّ”, tetapi karena dharuratus
syi’ir sehingga hal itu tidaklah dipermasalahkan. Dan sering kali
yang seperti ini dijadikan dalil oleh Ahli Nahwu Kufah dalam hal perbedaan
pendapat dengan Ahli Nahwu Basrah.
Contoh 2 : nadham Alfiyah bab waqaf
تَنْوِيْنًا اثْرَ
فَتْح اجْعَلْ أَلِفَا # وَقْفًا وَتِلْوَ غَيْرِ فَتْح احْذَفَا[27]
Nadham di atas merupakan contoh nadham yang
tidak mengikuti kaidah kebahasaan dalam segi penataan pola kalimat SPOK. Hal
ini pun tidak dipermasalahkan oleh Ahli Bahasa dan tidak mengubah maksud nadham
tersebut.
Secara nalar dapat dimaksudkan bahwasannya kritik
sastra berdasarkan kaidah kebahasaan itu lahir setelah terlebih dulu dilakukan
pengamatan, penganalisisan dan peninjauan terhadap karya sastra yang sudah ada,
sekaligus pembelajaran terhadap kritik sastra secara dzauqi setelah datangnya
Islam.[28] Al
Qur’an memberikan kontribusi yang amat besar bagi dunia kebahasaan, yang itu
tidak diberikan oleh kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelumnya, baik dari
segi tujuan, makna, lafadz, dan gaya bahasanya.[29] Karena
penggunaan tata bahasa Al Qur’an yang sedemikian indah sehingga memicu para
ilmuwan untuk mengkaji kaidah-kaidah kebahasaan di dalamnya, yang kemudian
melahirkan beberapa disiplin Ilmu Kebahasaan[30]
yang membuming pada masa keemasan.[31]
Catatan sejarah ini menjadi dasar bahwasannya
kritik sastra setelah masa kejayaan Islam tidak lagi hanya bertumpu pada rasa
tetapi juga kaidah kebahasaan. Dan ini berlaku pula pada sastra itu sendiri.
Dapat dipastikan bahwasannya karya sastra yang dihasilkan pada masa kejayaan
Islam hingga saat ini merupakan perpaduan olah rasa yang memperhatikan kaidah
kebahasaan ketika menuangkan dalam bentuk tulisan.
Contoh 1
: Syair Al Buhturi
أتاك الربيعُ
الطلق يختال ضاحكا # من الحسن حتى كاد أن يتكلما
وقد نبه النيروز
في غسق الدجى # أوائل ورد كنّ بالأمس نوّما
فمن شجر ردّ
الربيع لباسه # عليه كما نشرت وشيا منمنما
أحل فأبدى
للعيون بشاشة # وكان قذى للعين إذ كان محرما
ورق نسيم الريح
حتى حسبته # يجيء بأنفاس الأحبة نعّما [32]
Contoh 2 : Syair Ahmad Maisur Sindi At Tursidi[33]
الحمد لله جلّ
ذكره وصلا # ته السلام على كنز العلا كملا
محمد أله وصحبه
النجم # هذا كتاب حوى آدبك الفضلا
لطالب العلم
ينبغي إذا حضر # مجلس علم تطهر كما فعلا
لبس ثياب نظيفة
فقط طهرت # تطيب واستياق جا وقد جمُلا
يعدما هو محتاج
إليه لدى # تعلم كي يكون حاضرا كملا[34]
Contoh 3 : Syair KH. Ahmad Mudlor[35]
صَلَوَاتُ
العِرفان
Menempuh Jalan Kema’rifatan
عَلىَ مَن خُلقه القرءان
|
صَلاَةُ اللهِ وَ السّلاَم
|
Atas
seorang yang berbudi Al-Qur’an
|
Penghormatan
dan salam Alloh senantiasa tercurahkan
|
بِقَصدِ رحمةِ العالم
|
محمّد مبلغ البيان
|
Dengan
maksud sebagai rahmat bagi seluruh alam
|
Yaitu
Muhammad sang penyampai penjelasan
|
و صحبه نعم الكرم
|
و أله ذوى الحكم
|
Dan
para sahabatnya yang terbaik
|
Beserta
keluarga pemilik kebajikan
|
نور الصّلاة و السّلام
|
من سلك نحو العرفان
|
Sebagai
cahaya penghormatan dan keselamatan
|
Yaitu
orang-orang yang menempuh jalan kema’rifatan
|
فنجّنا كلّ الأثام
|
الهى يا منتقماً
|
Selamatkan
kami dari segala dosa
|
Wahai
Tuhan Sang Penolak kerusakan
|
لنيل أفضل النّعم
|
لله كن لنا عوناً
|
Untuk
mendapatkan kenikmatan yang paling utama
|
Wahai
Tuhan kiranya Engkau sudi melimpahkan pertolongan kepada kami
|
واختم باحسن الختام
|
الهى سلّم الأمم
|
Dan
limpahkanlah akhir yang baik
|
Wahai
Tuhan selamatkan bangsa kami
|
فأدخلنا دار السّلام
|
يا ربّنا و يا رحمن
|
Masukkan
kami ke surga (kampung perdamaian)
|
Wahai
Tuhan kami yang Maha Pengasih
|
Ketiga syair di atas menggunakan diksi yang
sesuai dengan rasa penyair dalam mendiskripsikan *musim semi, *pujian terhadap
Nabi Muhammad, dan *nasehat untuk para pencari ilmu, tanpa menyimpang dari
kaidah kebahasaan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
·
An Naqdu Al Adabi berasal dari dua kata: An Naqdu (aib
atau cacat) dan Al Adabi (sastra). kritik
sastra ialah cabang ilmu sastra yang meliputi penilaian
tentang suatu karya sastra.
Dan Tujuan
mempelajari kritik sastra adalah mengetahui kaidah yangmana kita mampu
mengetahui atau memberikan penilaian pada bagian sastra yang indah atau yang
tidak indah.
·
Kritik sastra belum mencapai kesempurnaan
sebelum sampai pada tahap evaluasi atau penilaian. Dan untuk mencapai hal ini
dibutuhkan pemahaman seorang kritikus terhadap tolok ukur kritik sastra.
Diantaranya:
o
Tolok
Ukur Dasar : formal dan moral
o
Tolok
Ukur Estetis, Epistemis, dan Normatif
·
Untuk menghasilkan kritik yang bermutu,
seorang kritikus tidak hanya bersandar pada kaidah-kaidah kebahasaan yang baku akan
tetapi juga harus berusaha mempelajari dan memahami melalui emosi dan perasaan
seni yang melekat dalam jiwa, kemudian memperhatikan pengaruh-pengaruh yang
ditinggalkan naskah itu di dalam dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Iskandari, Ahmad. dan Mustofa Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه. Mesir: Dar Al Ma’arif. Hlm. 65
Ali Abu Khasybi, Ibrahim. Tanpa tahun. في محيط النقد الأدبي . Hlm. 27
Amin, Ahmad. 1967 M. النقد الأدبي . Birut-Libanon: Darul Kitab Al Arabi.
Dahlan, Ah. Zaini. 2008. دحلان ألفية شرح متن الألفية الملقب بالأزهر
الزينية. Indonesia : Al Haramain. Hlm. 185
dan Jalaluddin As Suyuti. Tanpa tahun. شرح ابن عقيل على الألفية لجمال الدين محمد بن
عبد الله بن مالك. Surabaya : Darul Ilmi. Hlm. 185
Idris, Mardjoko. 2009. Kritik Sastra Arab Pengertian,
Sejarah dan Aplikasinya. Yogyakarta: Sukses Ofsett.
Jassin.
1983. Tifa Penyair dan Daerahnya Cetakan Ke Enam. Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 95
Maisur Sindi At Tursidi, Ahmad. Tanpa tahun. تنبيه المتعلم. Semarang : Griya Toha
Putra. Hlm. 3-4
Muzakki, Ahmad. 2011. Pengantar Teori Sastra Arab.
Malang: UIN-Press. Hlm. 19
Mudhor, Ahmad. (Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur
Malang). Halaqah Ilmiah 10 Maret 2013. Malang: LTPLM
Tamim Mulloh. 2014. البسيط في أصول النحو ومدارسه. Malang : Dream Litera Buana. Hlm. 40
Kundhara, Adiel. Apresiasi vs Kritik (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014). http://adiel87.blogspot.com/2009/11/apresiasi-vs-kritik.html
Santosa, Puji. Tolok Ukur Dalam Kritik
Sastra. (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014) http://pujagita.blogspot.com/2011/03/tolok-ukur-dalam-kritik-sastra.html.
Kritik Sastra dalam Sastra Arab. (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014). http://bahasa.kompasiana.com/2013/01/23/kritik-sastra-dalam-sastra-arab-528030.html
[2] “Banyak bahasa yang sulit dimengerti. Banyak pengertian yang sulit dibahasakan. Banyak bahasa yang tidak ada
pengertiannya. Banyak pengertian yang tidak ada bahasanya. Banyak bahasa yang
pengertiannya banyak. Banyak pengertian yang bahasanya banyak.” K.H. A. Mudhor
(Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Halaqah Ilmiah 10 Maret
2013. Malang: LTPLM)
[6] Adiel Kundhara. Apresiasi vs Kritik. http://adiel87.blogspot.com/2009/11/apresiasi-vs-kritik.html (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014)
[8] Kritik
Sastra dalam Sastra Arab. http://bahasa.kompasiana.com/2013/01/23/kritik-sastra-dalam-sastra-arab-528030.html (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014).
[10] Drs. Mardjoko Idris, M. Ag. 2009. Kritik Sastra Arab Pengertian, Sejarah
dan Aplikasinya. Yogyakarta: Sukses Ofsett. Hlm. 6
[15] Kaidah-kaidah ataupun ukuran-ukuran sastra tersebut dihasilkan oleh kritikus dari contoh-contoh sukses yang terkenal dari karya-karya sastra pada masa keemasan. Puji Santosa. Tolok Ukur Dalam Kritik Sastra. http://pujagita.blogspot.com/2011/03/tolok-ukur-dalam-kritik-sastra.html. (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014)
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Dr. Ibrahim Ali Abu Khasybi. Tanpa tahun. في محيط النقد الأدبي . Hlm. 27
[20] Mouth to mouth.
[21] Ibid. Hlm.13
[22] Ah. Al Iskandari dan Mustofa Anani. 1916. الوسيط في الأدب العربي و تاريخه. Mesir: Dar Al Ma’arif. Hlm. 65
[24] Pada satr pertama diksi tersebut mewakili ungkapan; كموج البحر في توحشه ونكارة أمره. Adapun makna السدول adalah الظلمات الشبيهة بالسطور. Pada satr ke dua; تمطى digunakan untuk mewakili
kata مد ظهره. Dan seterusnya... Ibid.
[25] Dr. Ibrahim Ali Abu Khasybi. Opcit. Hlm. 37
[27] Ah. Zaini Dahlan. 2008. دحلان ألفية شرح متن الألفية الملقب بالأزهر الزينية. Indonesia : Al Haramain. Hlm. 185 dan Jalaluddin As
Suyuti. Tanpa tahun. شرح ابن عقيل
على الألفية لجمال الدين محمد بن عبد الله بن مالك. Surabaya : Darul Ilmi. Hlm. 185
[28] Setelah diturunkannya Al Qur’an.
[30] Ilmu Nahwu, Shorf, Isytiqaq, Ma’ani, Badi’, Bayan, Adab, Rasm, Qira’ah,
Tafsir, Ushul, Tauhid dan Fiqh. Ibid. Hlm. 99-100
[31] Masa Khilafah Abbasiyyah.
[34] Ahmad Maisur Sindi At Tursidi. Tanpa tahun. تنبيه المتعلم. Semarang : Griya Toha Putra. Hlm. 3-4
No comments:
Post a Comment