AL BARUDIY
Untuk memenuhi tugas “paper” mata kuliah Tarikh
Adab Al Arabiy III
Pengampu :
Ahmad Kholil, M. Fil.
Oleh :
Himatul Istiqomah 12310079
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Lantunan bacaan hamdallah tiada hentinya kami
sanjungkan sebagai ungkapan syukur atas karunia yang Allah Swt sajikan untuk
kita semua selaku hamba-Nya. Shalawat salam semoga tak terjedakan mengalun
untuk Nabiyullah Muhammad Saw sebagai penerang alam bak cahaya.
Dalam paper ini, kami menyuguhkan bahasan
mengenai “Al Barudiy,” profil dan
karyanya, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tarikh Adab Al Arabiy III” yang
diampu oleh Ustadz Kholil Rahimahullohu ta’ala.
Tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula
dalam penyajian paper ini, kurangnya pemahaman penulis perihal materi ini
menyebabkan beberapa kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk
itu, segala kritik akan kami terima demi perbaikan penugasan selanjutnya. Semoga paper ini bermanfaat bagi kita semua.
Malang, 29 Maret 2015
|
BAB II
PEMBAHASAN
AL BARUDIY DAN SYAIRNYA
1. Profil Al Barudiy
Nama aslinya adalah Jarkasiy.[1]
Sedangkan nama panjangnya Mahmud Sami Ibnu Husni Al Barudiy.[2]
Dia merupakan salah satu tokoh revolusi Arab dan penyair tersohor di Mesir serta
pelopor
berdirinya aliran neoklasik (الكلاسيكيون الجدد) dalam dunia kesusastraan Arab.[3]
Dia memiliki beragam sebutan, di antaranya: “رب السيف والقلم” (Si
Raja Pedang dan Pena), “أمير الشعراء”
(rajanya penyair) dan “شاعر الأمراء” (penyairnya
para raja).[4]
Di sini penulis mengartikan ketiga sebutan di atas sebagai julukan atau gelar
yang dia dapati akibat kepiawaiannya di bidang militer dan kepenulisan serta
mahir dalam bersyair.
Dia dilahirkan pada tahun 1255 H[5]/1839[6] M
di kawasan Bakhirah tepatnya di desa
Itay Al-Barud, Sudan.[7]
Namun dalam literatur lain[8]
disebutkan bahwasannya Al Barudiy dilahirkan di bumi Kairo. Dari namanya yang
panjang, dia hanya dipanggil Al Barudiy, yang dinisbahkan pada tempat
kelahirannya. Dalam bahasa kamus,[9]
kata Al Barudiy dinisbatkan pada “bedil” yang menjadi salah satu senjata di
kancah pertempuran. Dia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya “Hasan Husni
Bik”[10]
sampai usia 7 tahun. Karena ayahnya wafat, dia diasuh oleh keluarganya, sampai
usia 11 tahun,[11]
kemudian pada usia 12 tahun dimasukkan ke Akademi Militer Mesir.[12]
Dia berhasil menjadi salah seorang perwira militer pada tahun 1855 M.[13]
Dia kemudian mempelajari bahasa Turki dan Persi di Qustantiniah,[14]
ketika diutus membantu Turki melawan Rusia.[15]
Pangkatnya terus menanjak dengan menjadi pemimpin pasukan Mesir yang
diperbantukan kepada Daulah Usmaniyah, ketika terjadi pemberontakan Balqan dan
Iqrithis.[16]
Dia cukup ternama di berbagai kancah pertempuran karena strategi penyerangannya
selalu membawa pulang kemenangan.
Sekembalinya ke Kairo-Mesir, dia menduduki banyak
jabatan kemiliteran, kemudian diangkat oleh Taufiq Pasya[17]
sebagai pengawas urusan peperangan dan waqaf pada usianya yang ke 26 tahun. Dia
mengundurkan diri dari kedua jabatan itu, namun diangkat kembali sebagai kepala
pengawas, menjelang revolusi Arab.[18]
Dia pun berhasil menumpas kobaran api revolusi tersebut. Namun, usai revolusi,
dia tertangkap dan dibuang ke pulau Sarandib (Seilon)[19]
selama 17 tahun. Di tempat pengasingannya itu, dia mempelajari bahasa Inggris.[20] Dia banyak merenung dan mereflesikan diri tentang kehidupannya sehingga tertumpahkan dalam bait-bait syair.
Dia kemudian terkena penyakit yang berujung pada kebutaan, sehingga diizinkan
untuk kembali ke Mesir, pada tahun 1900 M.[21]
Dia kembali ke kediamannya dalam kedaan buta. Dia mengisi waktunya dengan
menulis karya sastra, hingga akhirnya wafat pada tahun 1322 H/1904 M dalam usia
kurang lebih 67 tahun (karena perbedaan tahun di beberapa referensi).
2. Syair Al Barudiy dan Analisisnya
Selain Al Barudiy terkenal sebagai raja pedang
di bidang kemiliteran, dia juga tersohor di bidang sastra, sebagai raja pena pelopor
aliran neoklasik.[22]
Wafatnya Sang ayah di masa kecilnya tidak sekedar membekaskan kepedihan,
melainkan juga terdapat banyak hikmah di sana. Di tengah kesunyiannya, dia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca
banyak buku. Saat itu Al Barudiy sangat gemar menelaah buku-buku sastra klasik
terutama yang berkaitan dengan tema peperangan, patriotisme dan kepahlawanan.[23]
Dia menulis syair sejak kecil tanpa guru dan
tanpa belajar Ilmu Al ‘Arudh Wa Al Qawafi, Nahwu, Sharf dan Balaghah. Dia
belajar mengenai syair-syair secara otodidak, dengan menirukan dan mengritik
syair-syair milik penyair terdahulu. Dia banyak menghafalkan syair-syair itu
kemudian mringkasnya, sehingga tampak keterpengaruhan Al
Barudiy oleh para penyair pujaannya seperti Umrul Qais dan Ibnu Mutaz. Karenanya, tidak heran jika syair-syairnya
yang awal senada dan senilai dengan milik penyair-penyair abad -3 dan -4 M. Bahasanya mengalun begitu indah dengan
kata-kata manis dan makna yang agung serta gaya bahasa yang kuat.[24]
Disebutkan bahwasannya syair-syair Al Barudiy
terkenal karena syairnya yang hidup dan kritis (في إحيائهِ وتجديدهِ). Beberapa keistimewaan
syair-syairnya, yaitu: bagus diksi dan maknanya (حُسْنُ اللفظ والمعنى), dan strukturnya murni (قُحُّ المبنى).
Dia mengikuti syair-syair karya Ibnu Mu’taz, Abi Faras, Ar Radli dan At
Taghraiy, dengan luapan emosi yang penuh (شُعُوْرًا فَيَاضًا سَلِيْمًا), gaya bahasanya jernih dan beragam
(الراَّئِقُ
والفَخْم),
sehingga mengundang para pembacanya untuk bisa berlayar menjiwai setiap isi
bait syairnya.[25]
Karya-karyanya yang terbaik, adalah yang ditulis ketika masa mudanya dan selama
pengasingannya. Karena menjelang wafatnya, dia semakin melemah dan payah.[26]
Pada masa Turki Ustmani, model puisinya sangat dangkal dan artifisial.
Mungkin dikarenakan bahasa Arab bercampur dengan dialek Ustmani yang sempit. Ditambah lagi pada masa itu, pemerintah
disibukkan dengan mengawasi hegemoni daerah taklukan Turki yang sangat luas.
Apalagi pada masa Al Barudiy, banyak daerah Arab yang diduduki Turki
memberontak, sehingga perhatian penguasa sangat kurang dalam memajukan
keilmuaan dan peradaban khususnya sastra dan syair Arab.[27]
Melihat realitas kejumudan dan
kerusakan bahasa itulah Al Barudiy menggagas suatu pembaharuan dalam dunia sastra Arab. Pembaharuan Al Barudiy bisa dilihat dari perluasan tema-tema lama dalam pembuatan syair, sehingga
khazanah keilmuaannya menjadi beragam, terutama tema-tema lama yang meluas
seperti ghazal (puisi cinta) yang di tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin
(kerinduan yang mendalam) dan fakhr (berbangga-bangga) serta mengusung
tema-tema baru sebagai hasil transformasi dengan keilmuan barat, seperti
tema nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan tema sosial ke dalam sastra
arab.[28] Demikianlah bukti Al Barudiy sebagai penggagas aliran neoklasik dalam
karya sastra Arab.
Dia mengumpulkan syair-syairnya menjadi sebuah
Diwan (antologi). Di antara syairnya adalah sebagai berikut:
من وحي منفي البارودي في جزيرة سرنديب
للبارودي[29]
ولكن لأمرٍ
أوجبتهُ المفاخرُ
|
وَما حملَ
السَّيْفَ الْكَمِيُّ لِزِينَة ٍ
|
Tidaklah ksatria membawa pedang hanya untuk
perhiasan, melainkan tujuan mulialah yang mewajibkannya.
|
|
فكلُّ
زهيدٍ يَمسكُ النَّفسَ جابِرُ
|
إذا لَم
يكُنْ إلاَّ المعيشة َ مَطلبٌ
|
Jika yang di cari hanyalah kehidupan dunia,
maka ia harus bersiap dengan bagian yang sedikit saja.
|
|
ولا شهرَ
السيفَ اليمانى َّ شاهرُ
|
فَلَوْلاَ
الْعُلاَ ما أَرْسَلَ السَّهْم نَازِعٌ
|
Jika bukan karena tujuan yang luhur, panah
takkan kubentangkan dan pedang orang Yaman takkan terkenal
|
|
ويَقبلَ
مَكذوبَ المُنى وهوَ صاغرُ
|
منَ العارِ
أن يرضى الدنيَّة َ ماجدٌ
|
Aku termasuk orang yang hina jika rela dengan
cela, dan menerima kebohongan juga angan-angan palsu yang hina
|
|
ولا ذَنبَ
لى إن عارَضتنى المقادِرُ
|
على َّ
طلابُ العزِّ من مُستقرِّهِ
|
Bagiku yang
terpenting adalah niat yang mulia, dan aku tak merasa berdosa jika nasib baik
tak berpihak
|
|
على َّ،
وعِرضى ناصِحُ الجيبِ وافِرُ ؟
|
فماذا عَسى
الأعداءُ أن يتقوَّلوا
|
Apa gunanya musuh menebar fitnah atas diriku,
sedangkan kemuliaanku bersih dan terjaga?
|
|
تُعابُ
بِهَا، والدَّهْرُ فِيهِ الْمعَايرُ
|
ولكِنْ
أَبَتْ نَفْسِي الْكَرِيمَة ُ سَوْأَة ً
|
Akan tetapi jiwa muliaku menolak keburukan
penyebab aib sampai kapanpun.
|
|
نَعِيمٌ،
ولاَ تَعْدُو عَلَيْهِ الْمفَاقِرُ
|
أنا المرءُ
لا يثنيهِ عن دركِ العُلا
|
Aku adalah seorang manusia yang memiliki
tujuan mulia, kenikmatan dan kefakiran tak menghalangiku untuk mencapainya
|
|
صَئُولٌ
وأَفْوَاهُ الْمَنَايَ فَوَاغِرُ
|
قَئُولٌ
وَأَحْلاَمُ الرِّجالِ عَوَازِبٌ
|
Lisan yang fasih, remaja yang mengigau juga
pemberani, semuanya sama menghadapi mulut kematian yang selalu menganga
|
|
وَلاَ
أَنَا إِنْ أَقْصَانِيَ الْعُدْمُ بَاسِرُ
|
فَلاَ أَنا
إِنْ أَدْنَانِيَ الْوَجْدُ بَاسِمٌ
|
Aku bukanlah orang yang tersenyum
jika dekat dengan cahaya, dan aku bukanlah orang yang cemberut jika ketiadaan
membawaku jauh
|
|
وَلاَ
الْمَالُ إِنْ لَمْ يَشْرُفِ الْمَرْءُ ساتِرُ
|
فَمَا
الْفَقْرإِنْ لَمْ يَدْنَسِ الْعِرْضُ فَاضِحٌ
|
Tidaklah fakir menjadi aib jika berbuat mulia
dan tidaklah harta akan menutupi aib jika tidak berbuat mulia
|
|
وكَمْ
سَيِّدٍ دارتْ علَيْهِ الدَّوائِرُ
|
فكَم بطلٍ
فَلَّ الزَّمانُ شباتَهُ
|
Banyak pahlawan yang habis kakuatannya
termakan zaman, dan banyak para sayid yang tertimpa bencana
|
|
وأى ُّ
جوادٍ لم تَخنهُ الحوافِرُ ؟
|
وأى ُّ
حسامٍ لم تُصبهُ كلالَة ٌ ؟
|
Pedang mana yang tidak akan tumpul? dan kuda
mana yang tidak pernah tergelincir?
|
|
غيابتُها ،
واللهُ من شاءَ ناصِرُ
|
وَمَا هِيَ
إِلاَّ غَمْرَة ٌ، ثُمَّ تَنْجلِي
|
Itu hanyalah kegelapan yang sementara dan
akan segera lenyap, dan Allah akan menolong siapapun yang dikehendaki-Nya
|
|
إِلَى
غَايَة ٍ تَنْفَتُّ فيهَا الْمَرائرُ
|
فَمَهْلاً
بَنِي الدُّنْيَا عَلَيْنَا، فَإِنَّنَا
|
Kita sebagai penghuni dunia harus bersabar,
karena ia akan segera berakhir dan hancur berkeping-keping
|
|
على فَلكة
ِ السَّاقينِ فيها المآزِرُ
|
تطولُ بِها
الأنفاسُ بُهراً ، وتلتوِى
|
Ketika nafas nafas tersengal-sengal dan
terasa sesak, jelas terdengar erangan pada tenggorokan yang sekarat
|
|
فَما
أَوَّلٌ إِلاَّ وَيَتْلُوهُ آخِرُ
|
وَعَمَّا
قَلِيلٍ يَنْتَهِي الأَمْرُ كُلُّهُ
|
Dalam sekejap berakhirlah segalanya, tidak
ada permulaan kecuali aka nada akhirnya
|
Syair di atas adalah karya Al Barudiy ketika
di pengasingan, Sarandib. Dalam renungannya, dia masih memiliki semangat juang
yang tinggi dan terus berkobar di dadanya. Dia tidak menyesali pengasingannya,
karena baginya membela negara adalah sebuah kewajiban. Peristiwa ini semakin membuatnya bersabar dan mengerti arti kehidupan yang
fana ini.
وَإِنَّمَا
صَفُوْهُ بَيْنَ الْوَرَى لُمَع
|
وَالدَّهْرِ
كَالْبَحْرِ لَا ينفك ذَا كَدِر
|
Tapi beningnya menyilaukan manusia
|
Demi masa, laksana lautan yang tak lepas
dari kekeruhan
|
مَا شَانَ
أَخْلَاقَهُ حِرْصٌ وَلَا طَمَع
|
لَوْ كَانَ
لِلْمَرْءِ فِكْرٌ فِيْ عَوَاقِبِهِ
|
Tentu rakus dan tamak takkan menodai
akhlaknya
|
Manakala orang berfikir akan kesudahannya
|
مَنْ لَمْ
يَزَلْ بِغُرُوْرِ الْعَيْشِ يَنْخَدِع
|
وَكَيْفَ
يُدْرِكُ مَا فِيْ الْغَيْبِ مِنْ حدث
|
Siapapun yang masih terpedaya tipuan-tipuan
dunia
|
Bagaimana akan tahu perihal yang tak kasat
mata
|
وَأَعْمَارٌ تَمُرُّ وَأَيَّامٌ لَهَا خُدَع
|
دَهْرٌ يَغُرُّ وَآثَارٌ تَسُرُّ
|
Umur berlalu dan hari-hari pun dusta
|
Zaman menipu dan angan-angan pun menggoda
|
وَ لَيْسَ
يَعْلَمُ مَا يَأْتِيْ وَمَا يَدْع
|
يَسْعَى
الْفَتَى لِأُمُوْرِ قَدْ تَضَرَّبُه
|
Tanpa tahu yang akan datang dan sirna
|
Seorang pemuda menapaki urusan-urusan dunia
|
مَهْلًا
فَإِنَّكَ بِالْأَيَّامِ مُنْخَدِع
|
يَآيُّهَأ السَّادِرُ
الْمُزَوِّرُ مَنْ صَلِف
|
Perlahan hari-harimu sekedar tipuan belaka
|
Wahai pengurai kepalsuan makhluk yang
congkak
|
لَعَلَّ
قَلْبَكَ بِالْإِيْمَأنِ يَنْتَفِع
|
دَعْ مَا
يَرِيْبُ وَخُذْ فِيْمَا خَلَقْتَ لَه
|
Kelak Engkau bermanfaat dengan hati beralaskan
Iman
|
Tinggalkanlah keraguan dan raihlah yang
Engkau impikan
|
وَكُلُّ ثَوْبٍ
إِذَا مَا رَثَّ يَنْخَلِع
|
إِنَّ
الْحَيَأةَ لَثَوْبٌ سَوْفَ تَخْلَعَه
|
Semua pakaian akan ditanggalkan ketika usang
|
Kehidupan ini laksana pakaian yang akan Kau
tanggalkan
|
Syair itu[30]
berisi sindiran dan nasehat agar selalu memperhatikan betapa waktu sangat
berharga. Ia tak akan pernah kembali ketika sudah berpacu dan tidak pula
bersedia sejenak menunggu, hingga orang-orang tersadar dari sandiwara dunia.
Kehidupan yang fana ini bagaikan pakaian, yang apabila telah usang, segera
ditanggalkan. Karena itu, langkah untuk menggapai impian jangan dibiarkan
tersedak oleh ketidak-percayadirian dan keputus-asaan. Agar kelak menjadi insan
yang bermanfaat dan senantiasa diselimuti keimanan.
Dan ini adalah karya syairnya yang terakhir:[31]
بَيْنَ
الْمُحَاضِر وَالْنَوَادِي
|
أَنَا مَصْدَرُ
الْكَلِم الْبَوَادِيْ
|
Aku, sumber perkataan yang dalam antara pembicara dan
audiens
|
|
فِيْ كُلِّ
مَلْحَمَة وَنَادى
|
أَنَا فَارسٌ
أَنَا شَاعِرٌ
|
Aku, penunggang kuda dan penyair setiap epos[32]
dan jeritan
|
|
زَيْدُ
الْفَوَارِسِ فِيْ الْجِلَاد
|
فَإِذَا
رَكِبْتُ فَإِنَّنِيْ
|
Manakala aku menunggang, sesungguhnya aku selalu
mencambuki tungganganku
|
|
قسُّ بْنُ
سَاعِدَةِ الْإِيَّادِيَ
|
وَإِذَا
نَطَقْتُ فَإِنَّنِيْ
|
Manakala aku berucap, sesungguhnya aku adalah dorongan
Qass Ibnu Sa’idah
|
Syair itu berisi fakhr terhadap dirinya sendiri
sebagai seorang panglima perang yang piawai menunggangi kuda. Dia pun penyair
yang kritis terhadap syair-syair terdahulu. Sehingga cambukan-cambukan pada
kuda yang ditungganginya sangat cocok untuk menggambarkan betapa kritisnya Al
Barudiy terhadap syair-syair terdahulu yang dijumpainya, dan dia pun mampu
mencetuskan aliran neoklasik dalam kesusastraan Arab.
Adapun Qass Ibnu Sa’idah adalah seorang penyair pada masa
awal kerasulan Nabi Muhammad Saw yang selalu dikenang oleh beliau dengan
lantunan katanya yang terekam dalam penggalan kisah berikut:[33]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama aslinya adalah Jarkasiy. Sedangkan nama panjangnya
Mahmud Sami Ibnu Husni Al Barudiy. Dia merupakan salah satu tokoh revolusi Arab
dan penyair tersohor di Mesir dan pelopor berdirinya aliran neoklasik (الكلاسيكيون الجدد) dalam dunia
kesusastraan Arab. Dia mendapat julukan Si Raja Pena karena kepiawaiannya dalam bersyair,
dan Si Raja Pedang karena kemahirannya di bidang militer.
Di antara kelebihannya adalah kemampuannya
bersyair tanpa sebelumnya mempelajari ilmu nahwu-shorf, balaghah maupun ‘arudh dan
tanpa guru. Dia menekuni ilmu-ilmu itu secara otodidak dengan membaca,
menghafal dan mengkritisi syair-syair milik penyair terdahulu.
Sebagai bapak
neoklasik di bidang sastra, pembaharuan Al Barudiy bisa dilihat dari perluasan
tema-tema lama dalam pembuatan syair. Di antaranya: ghazal (puisi cinta)
yang di tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin (kerinduan yang
mendalam) dan fakhr (berbangga-bangga) serta mengusung tema-tema baru
sebagai hasil transformasi dengan keilmuan barat, seperti tema nasionalisme,
patriotisme, humanisme, dan tema sosial ke dalam sastra arab.[34]
[3] Mustofa Badui. Op.Cit.
[15] http://www.cangcut.net/2013/02/biografi-al-barudi-dan-syairnya.html (Diakses pada: Jumat, 27 Maret 2015)
[22] A. Al Iskandi dan Mustofa Anani. Op. Cit